• November 28, 2025

Penerapan hukuman mati di Indonesia masih bersifat diam-diam

JAKARTA, Indonesia – KontraS dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merilis data penerapan hukuman mati di Indonesia dalam rangka peringatan 14 tahun Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober. Baik dari segi keadilan proses hukum, hingga pemberitaan media.

“Harus ada evaluasi terhadap pelaksanaan eksekusi mati karena aparat penegak hukum diam-diam menikmati (eksekusi mati) sambil memberikan layanan perlindungan kepada sindikat kejahatan,” kata Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia di Jakarta pada Sabtu, 8 Oktober.

Selain itu, terdapat juga fakta bahwa beberapa terpidana mati dijatuhi hukuman tanpa mengetahui kesalahannya atau diadili tanpa melalui proses hukum.

Anak di bawah umur

Sejak Februari 2015, KontraS mendampingi terpidana mati asal Nias, Yusman Telaumbanua. Ia merupakan korban kasus rekayasa dan penyiksaan Polri yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Gunungsitoli pada tahun 2013.

Dari advokasi tersebut ditemukan bukti baru (novum) yang menunjukkan Yusman masih di bawah umur, 16 tahun, kata Putri.

Permasalahan usia ini baru terungkap setelah Yusman mengikuti pemeriksaan radiologi forensik oleh tim Dokter Gigi Universitas Padjadjaran Bandung pada November 2015.

Saat itu, Yusman diperkirakan baru berusia 18,4-18,5 tahun; yang berarti mereka hanya dianggap dewasa. Saat ditangkap, Yusman tidak mengetahui apa yang menimpa dirinya.

Ia dan adik iparnya Rusula Hia ditangkap atas kasus pembunuhan 3 orang. Padahal, Yusman dan saudaranya menjadi saksi pembunuhan tersebut.

Namun polisi menangkap dan menganiaya keduanya, sehingga Yusman terpaksa mengakui bahwa dirinya sudah cukup umur dengan janji pengurangan hukuman. Ia pun menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa mengetahui isinya, karena tidak mempunyai bantuan hukum dan tidak bisa membaca.

Pada tanggal 23 Juni 2016, KontraS mengajukan Peninjauan Kembali (JRC) ke Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan setelah dinyatakan lengkap maka dilimpahkan ke Mahkamah Agung.

Yusman masih menunggu hasilnya, kata Putri.

Keanehan

Tidak perlu melihat kasus-kasus lama. Dalam eksekusi jilid III yang berlangsung akhir Juli lalu, beberapa terpidana rupanya mengajukan grasi kepada presiden.

“Tahanan yang divonis hukuman mati yang mengajukan permohonan ampun dan belum mendapat keputusan presiden yang menolak permohonan ampunnya, tidak dapat dieksekusi,” kata Putri seraya menyebutkan h.Hal ini tertuang dalam Pasal 13 Mercy Act.

Mereka adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, dan Humphrey Jefferson. Pengacara ketiganya belum mendengar apakah klien mereka diampuni atau tidak, meski banyak nyawa melayang akibat peluru tajam.

Pihak keluarga juga sangat sulit menemui terpidana mati.

“Mereka dibatasi hanya satu kali dalam sehari, bahkan hanya keluarga dekat dan satu kuasa hukum yang bisa menemui terpidana mati,” kata Putri.

Kondisi sel yang menjadi tempat terakhir terpidana mati di Nusakambangan ini tidak layak huni. KontraS mengetahui, lokasi sel isolasi saat pelaksanaan terendam banjir hingga setinggi paha orang dewasa akibat hujan deras. Hal ini melanggar Pasal 7 ICCPR dan Pasal 1 CAT.

Pemerasan

Pada 7 Oktober, KontraS menemukan surat aneh dari terpidana mati Teja Harsoyo. Seseorang yang mengaku sebagai jaksa penuntut umum bernama Amril memaksa Teja menandatangani surat pernyataan.

“Suratnya tidak ada judulnya, isinya kalau Teja tidak mengajukan langkah hukum peninjauan kembali (PK) atau peninjauan kembali, berarti putusan sebelumnya sudah tidak ada lagi. kekuatan (masih),” kata Putri.

Ia pun diminta membayar Rp 130 juta.

KontraS menyebut surat itu aneh karena salah menyebutkan tempat penahanan Teja dan tidak pernah ada undang-undang yang memuat batas waktu pengajuan PK dan ampunan. Kejanggalan tersebut akan dilaporkan ke Komisi Kejaksaan.

“Yang perlu didalami apakah ada terpidana mati lain yang menerima surat serupa,” kata Putri yang menyebut tindakan tersebut ilegal dan sewenang-wenang.

Media tidak kritis

Berdasarkan keanehan yang dipaparkan KontraS, AJI Jakarta justru mengaku terkejut dengan minimnya pemberitaan media.

Apapun sikap mereka terhadap hukuman mati, media harus tetap skeptis, kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim.

Koordinator Riset AJI Jakarta Ikhsan Raharjo mengatakan, ada 4 media yang menentang hukuman mati dan hanya 1 yang mendukung. Namun, suara oposisi menjadi lebih pelan sebelum eksekusi dilakukan.

“Dari yang dulu mengkritisi, malah jadi seperti corong pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, isu ini kembali memanas ketika ada tanda-tanda Kejaksaan Agung akan menembak para terpidana.

Sebenarnya banyak hal yang bisa ditonjolkan. Seperti bagaimana keadilan diterima oleh terpidana sebelum, pada saat dan setelah menerima putusan; juga seberapa efektif hukuman ini dalam mencapai tujuannya.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan hukuman mati bagi penjahat narkoba karena ingin memerangi meningkatnya kejahatan ini di Indonesia. Namun beberapa laporan menyebutkan tidak pernah ada dampak signifikan.

NEGARA ASAL KEMATIAN DIBERIKAN.  Data dari KontraS.

“Harus dilihat, hukuman mati ini untuk meningkatkan popularitas untuk menutupi kegagalan di bidang lain. “Banyak juga jaksa yang ditangkap karena kasus pidana,” kata Hasim.

Eksekusi tidak lagi menyangkut persoalan hukum atau kepentingan politik dari pemerintah yang berkuasa hingga jaksa. Terlepas dari sikap media terhadap hukuman mati, mereka tetap harus bersikap kritis dan skeptis. Bukan seperti kerbau yang ditindik hidungnya.

Ia juga menekankan betapa diamnya media terhadap sikap diam pemerintah terhadap eksekusi. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, seperti status permohonan grasi dan mengapa ada terpidana mati yang tertembak dan lolos dari eksekusi di menit-menit terakhir.

“Sampai saat ini Jaksa Agung belum menjelaskan kenapa kemarin melepas 10 orang jilid III itu?” kata Hasyim.

Bahkan, kaburnya salah satu terpidana mati, Zulfikar Ali, baru diberitahu pihak kedutaan Pakistan kepada keluarganya.

AJI Jakarta merekomendasikan agar media memberikan ruang pemberitaan yang lebih luas, khususnya terhadap hukuman mati yang bermasalah dalam proses hukum. Pemerintah juga diminta mengakhiri keheningan informasi dan lebih transparan.

Pertimbangan apakah hukuman mati harus dilanjutkan atau dihapuskan merupakan hal yang penting, mengingat hingga Oktober 2016 terdapat 104 negara yang telah menghapuskan hukuman mati. Indonesia merupakan salah satu dari 25 negara yang masih menerapkannya dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. -Rappler.com

Result Sydney