Pentingnya menjaga kewarasan jelang Pilkada 2017
- keren989
- 0
Tanpa adanya kasus dugaan penodaan agama melalui pernyataan Ahok di Surat Al-Maidah 51, maka akan terjadi tindakan masif yang menyinggung SARA.
JAKARTA, Indonesia – Eksploitasi isu suku, agama, dan ras (SARA) selalu mewarnai momen-momen penting dalam politik Indonesia. Seperti saat ini, menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) 2017 mendatang, warga Jakarta sudah dilanda berbagai keberatan dan hasutan berbasis SARA.
Oleh karena itu, sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai lembaga dan kalangan membuat petisi untuk mencegah penyebarannya lebih jauh. “Diskriminasi berbasis SARA itu merupakan bentuk kejahatan tertua dalam sejarah umat manusia. “Itulah sebabnya negara-negara di dunia sangat menentang segala bentuk diskriminasi,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Hendardi, Selasa 1 November 2016 di kantornya.
Pernyataan ini diunggah dalam formulir Petisi Change.org, ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Kapolri Tito Karnavian. Sejumlah nama yang turut ambil bagian antara lain Alissa Wahid, Franz Magnis-Suseno, Usman Hamid, dan Savic Alieha. Masyarakat harus waspada dan tidak terjerumus pada diskriminasi berbasis SARA karena dapat menimbulkan konflik antar ras dan kelompok.
Penggunaan edisi ini menggambarkan buruknya kualitas demokrasi Indonesia, dan merosotnya praktik penyelenggaraan pemerintahan berbangsa dan bernegara. Memanfaatkan isu SARA, lanjut Hendardi, melumpuhkan akal sehat masyarakat untuk berpikir logis.
Selalu ada
Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute, mengatakan isu SARA selalu diangkat sebelum peristiwa politik apa pun. “Sejak kita menjalani empat kali pemilihan presiden, isu ini selalu diwarnai oleh hal itu,” ujarnya.
Jakarta sebagai ibu kota yang lebih modern dan maju juga tidak lepas dari permasalahan tersebut. Misalnya saja pernyataan bahwa pemimpin Jakarta harus orang Indonesia asli dan juga beragama Islam.
Jauh sebelum pilkada, FPI dan ormas lainnya sudah gencar menyerukan pelengseran Ahok sejak ia menjabat wakil gubernur pada 2012 hingga dilantik menjadi gubernur pada 2014. Alasannya beragam, mulai dari tidak beragama Islam hingga mendesaknya memeluk atau mengundurkan diri dari agama tersebut.
Tujuan penggunaan isu ini adalah untuk menundukkan lawan politik. Atau membuatnya mundur dengan banyaknya perlawanan, atau menurunkan elektabilitas orang tersebut.
Ismail menjelaskan, isu SARA bisa berjalan efektif jika dilakukan di daerah yang antropologi masyarakatnya kuat religius, seperti di Padang, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Mataram.
Namun Jakarta, sebagai kota metropolitan dengan jumlah penduduk yang lebih terdidik, membuat permasalahan ini tidak memberikan dampak yang diharapkan. “Seperti hasil survei pilkada, isu SARA memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap pemilih dibandingkan faktor lain seperti kinerja atau program,” ujarnya.
Namun banyak faktor yang membuat eksploitasi SARA begitu marak saat ini. Pertama tentu saja karena ada calon dari kalangan minoritas seperti Ahok.
Menurut Ismail, tanpa ada contoh dugaan penodaan agama melalui pernyataan Ahok di Al-Maidah 51, akan terjadi tindakan masif yang menyinggung SARA. Selain itu, kata dia, ada juga ormas Islam yang berafiliasi dengan tokoh politik tertentu.
Jakarta, kata dia, merupakan barometer nasional dalam urusan politik. Berbagai kekuatan akan bersaing di sini. Akses dari kalangan manapun, tidak hanya warga Jakarta, sebagai media kampanye, ujarnya.
Prioritaskan kewarasan
Benny Soesetyo, salah satu tokoh keberagaman, mengatakan masyarakat harus mengedepankan akal sehat dalam menghadapi persoalan ini. “Kita harus bisa mengelola keberagaman, bukan menjadikannya sumber masalah,” ujarnya.
Untuk itu, kata dia, masyarakat tidak boleh terprovokasi dengan tindakan terkait SARA yang dilakukan siapapun. “Masyarakat beraktivitas seperti biasa, jangan berlebihan,” kata pria yang akrab disapa Romo Benny itu.
Menurutnya, tindakan FPI merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang tentunya tidak bisa dilarang selama tidak melanggar hukum. Jika dilihat, aksi serupa yang digelar pada 14 Oktober lalu juga berakhir damai meski sarat dengan ujaran kebencian.
Lalu bagaimana dampak protes ini terhadap pemilu daerah di masa depan? Benny bilang, tidak ada yang serius. “Paling macet, itu saja,” ujarnya sambil tertawa.
Selebihnya tetap berada di tangan masyarakat, agar tidak terprovokasi dan pilkada bisa berjalan damai.-Rappler.com