• July 11, 2025
Penyandang disabilitas meminta peningkatan kesejahteraan dan jaminan hak

Penyandang disabilitas meminta peningkatan kesejahteraan dan jaminan hak

YOGYAKARTA, Indonesia – Acara diskusi Pertemuan Inklusi tahun 2016 menghasilkan 10 rekomendasi untuk peningkatan hak dan kesejahteraan penyandang disabilitas di masa depan. Joni Yulianto, Direktur Sasana Integrasi Advokasi Penyandang Disabilitas (SIGAB), selaku penyelenggara, mengatakan ada dua kategori rekomendasi yaitu umum dan khusus.

“Ini adalah hasil dari ide tersebut bengkel dan diskusi yang berlangsung seharian,” ujarnya pada acara puncak malam seni budaya, Jumat 26 Agustus 2016.

Rekomendasi yang dihasilkan mencakup domain yang sangat luas, mulai dari pendidikan, kesehatan, hak hukum, hingga pencegahan dini. Hak-hak politik juga terdampak dengan melibatkan perwakilan penyandang disabilitas pada musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang); hingga penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja kota (RAPBDes).

Sementara itu, rekomendasi khusus memuat rincian lebih lanjut mengenai bidang-bidang tersebut. Seperti penambahan tenaga kesehatan khusus untuk menangani penyandang disabilitas di puskesmas, pemanfaatan teknologi untuk pemenuhan pendidikan anak penyandang disabilitas.

Rekomendasi ini akan disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait seperti pemerintah kota dan pusat. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDT) Eko Putro Sandjojo yang hadir dalam acara tersebut memberikan sambutan positif.

“Dukung praktik desa inklusif, nantinya juga akan didorong oleh Kementerian Desa,” kata Eko.

Ubah pola pikir Anda

Hal lain yang dibahas adalah perubahan persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Diharapkan pejabat kota dapat berperan lebih besar dalam mendorong warganya untuk menerima penyandang disabilitas.

“Dukungan keluarga dan orang tua diperlukan untuk memotivasi penyandang disabilitas dengan hal-hal positif,” kata Joni.

Imam Aziz, Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU), mengatakan stigma seperti ini kerap menghambat tumbuh kembang anak penyandang disabilitas. Keluarga cenderung menahan mereka karena ada rasa malu karena dianggap sebagai ‘beban’.

“Untuk mengubahnya, harus ada diskusi yang komprehensif,” ujarnya. Organisasi keagamaan dapat membantu melalui pendekatan spiritual seperti studi agama atau tempat tinggal Islam.

Selain itu, juga harus ada pemerataan pemahaman antar pejabat publik mulai dari pusat hingga daerah terpencil. Ketua DPC Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Situbondo Lulu Ariyantiny menyatakan keberatannya dengan istilah ‘penyandang disabilitas’ dan ‘orang kurang beruntung’ yang masih sering digunakan pejabat.

Sebelumnya, Camat Lendah, Sumiran menyebut penyandang disabilitas sebagai ‘orang yang kurang beruntung’. Faktanya, dia telah mengawasi 6 kota penahanan sejak tahun 2015.

“Kami selalu menyebut diri kami cacat,” kata Lulu. Ia bersama rekan-rekannya di PPDI Situbondo menggunakan istilah tersebut secara konsisten hingga masyarakat terbiasa.

Selama ini penggunaan istilah difabel atau kurang mampu dinilai meremehkan dan mengandung makna diskriminatif. Paradigma ini, lanjut Lulu, harus mulai diubah.

Ia melihat Kementerian Sosial sudah mulai menggunakan istilah disabilitas. Namun, distribusinya tidak merata di daerah terpencil. “Harus ada sosialisasi dan pemerataan pemahaman,” ujarnya.

Pendidikan dan pekerjaan

Kesetaraan juga harus diperhatikan dalam aspek pendidikan dan ketenagakerjaan. Harta Nining Wijaya dari Komunitas Perspektif Yogyakarta mencoba merevolusi mentalitas penyandang disabilitas melalui seni.

Didirikan pada Mei 2014, komunitas ini bertujuan untuk merevolusi mentalitas penyandang disabilitas melalui seni. “Kami ingin menghilangkan istilah berbakat atau tidak, pintar atau bodoh. “Setiap penyandang disabilitas membutuhkan kesempatan dan akses,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia mendorong setiap anggotanya untuk membuat karya seni dengan coretan. Bentuk ini, kata dia, tidak rumit dan siapa pun bisa membuatnya.

Saat ini terdapat 7 anggota masyarakat dengan berbagai jenis disabilitas: mulai dari tunarungu, penglihatan yang burukke disabilitas ganda. Hal ini tidak menghalangi mereka untuk bekerja. Bahkan pada tahun 2015, Perspective mengadakan pameran seni rupa di Australia.

“Kami ingin menghilangkan stigma dan membangun kepercayaan mereka,” kata Ning.

Ada juga komunitas Braille yang membantu penyandang tunanetra mengikuti Tes Kemahiran Bahasa Inggris (TOEFL). “Sering ditolak dengan alasan tidak bisa dilakukan, padahal resmi penyelenggara TOEFL (ETS) ada tes khusus untuk tunanetra,” kata Ninda Arum Rizky Ratnasari, salah satu penggagas.

Untuk mengikuti tes, Anda hanya memerlukan soal dalam bentuk Braille, serta sukarelawan untuk mengisi lembar jawaban. Waktunya juga lebih lama dibandingkan tes untuk non-disabilitas; bisa lebih dari 4 jam. Ada juga persyaratan yang dilonggarkan seperti pengulangan dalam tes kemampuan mendengarkan.

Hal ini penting untuk diingat karena banyak juga mahasiswa penyandang disabilitas yang ingin mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sementara di tempat kerja, Direktur Difa City Tour and Transport, Triyono, menceritakan kisahnya. Ia membangun bisnis transportasi yang 100 persen dijalankan oleh penyandang disabilitas setelah ditolak menjadi pengemudi Go-Jek. Saat itu dia disebut ‘tidak memenuhi standar tukang ojek’.

Faktanya, di Yogyakarta banyak penyandang disabilitas yang ingin memulai usaha sebagai ojek. Karena itulah ia mendirikan Difa Ojek yang mengakomodir keinginan tersebut. Para pengendara difabel ini memodifikasi sepeda motornya menjadi sepeda roda tiga agar aman digunakan.

“Kami berharap dengan terciptanya Difa ini dapat menginspirasi para penyandang disabilitas di kota-kota lain untuk melakukan hal serupa, sehingga para penyandang disabilitas dapat memperoleh penghasilan lebih dari sebelumnya,” ujarnya.

Triyono mengatakan sudah ada permintaan ojek difa untuk merambah ke daerah lain, salah satunya datang dari kalangan penyandang disabilitas di Bandung. Namun hal itu tetap bergantung pada peraturan yang diberlakukan oleh Pemda Bandung.

Keamanan

Salah satu pentingnya perubahan persepsi juga adalah mengurangi kekerasan terhadap penyandang disabilitas, khususnya perempuan dan anak. “Ada yang suka menganggap perempuan atau anak, apalagi penyandang disabilitas seperti tunagrahita (gila, Red.), bisa diperkosa atau dianiaya,” kata Wakil Direktur Pos Pendampingan Rifka Annisa, Lisa Oktavia.

Aparat penegak hukum juga seringkali tidak percaya, atau bahkan meremehkan kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas, karena laporannya dianggap tidak kredibel. Hal inilah yang membuat banyak korban memilih bungkam.

Beban berat juga dirasakan oleh keluarga korban, terutama mereka yang masih menganggap dirinya berada dalam ‘kutukan’. Diakui Lisa, stigma sebagai beban masih banyak menyelimuti masyarakat.

Seringkali orang lainlah yang melapor ke organisasinya. “Kami harus melakukan pendekatan berkali-kali kepada pihak keluarga, dan memberikan jaminan bantuan agar kasus ini bisa diusut,” ujarnya.

Untuk tahun ini, hingga Juli lalu, Lisa mencatat dari 300 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diterima, 3-4 korban merupakan penyandang disabilitas. “Yang diberitakan, yang tidak, pasti benar,” ujarnya.

Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Di Yogyakarta, Lisa mengaku polisi kerap meminta bantuan organisasinya dalam menangani kasus disabilitas.

“Kesadaran sudah masuk, dan harus dikembangkan lebih lanjut,” katanya. Tak hanya kepolisian, lembaga hukum lain seperti pengadilan juga harus mulai menyiapkan tenaga ahli khusus untuk menangani korban disabilitas yang terlibat permasalahan hukum.– Rappler.com

Keluaran Sydney