Penyerangan terhadap LGBT dan badan-badan swasta menjadi milik publik
- keren989
- 0
Sudah saatnya masyarakat dan media massa berhenti menilai moralitas seseorang hanya berdasarkan seksualitasnya, termasuk mengaitkan LGBT dengan perilaku seksual saja.
Saat artikel ini ditulis, sebagian besar masyarakat Indonesia pasti sudah mengetahui (atau setidaknya mendengar) tentang “pesta gay” di Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang digerebek aparat kepolisian setempat tanpa alasan yang jelas. Tak hanya diserang, 144 pria yang berada di lokasi kejadian dan terpaksa menjadi korban pun dibawa dalam keadaan telanjang ke kantor polisi.
Sayangnya, proses penahanan mereka terdokumentasi dan diedarkan ke publik. Seperti yang bisa diduga dalam segala hal yang berhubungan dengan seks, kejadian ini langsung menjadi hit di media dengan beberapa artikel berita sensasional yang sekali lagi membuat kelompok LGBT—dalam hal ini kelompok gay—terjerumus ke dalam masalah di Indonesia.
Hanya perlu mesin pencari Google untuk menemukan berita ini dan meragukan betapa dangkalnya pemahaman kebanyakan orang tentang konsep seksualitas dan malah mengkomodifikasikannya sambil mempengaruhi opini publik dengan cara yang bias dan bahkan diskriminatif.
Filsuf Perancis, Michel Foucault, mengatakan bahwa konsep tubuh (dan seksualitas) merupakan salah satu alat paling efektif untuk melanggengkan kekuasaan negara atas warganya.
Tentu saja, ini bukan pertama kalinya kelompok gay menjadi sasaran penggerebekan polisi dan pelecehan media. Seperti yang dibahas dalam artikel saya sebelum, Tahun 2016 merupakan tahun bersejarah bagi gerakan LGBT di Indonesia. Sementara itu, tahun 2017 nampaknya akan menjadi tahun dimana isu LGBT akan terus dimanipulasi oleh kepentingan bisnis dan politik.
Setidaknya dalam enam bulan terakhir sudah ada dua kasus orang-orang serupa telah melapor dan bahkan belum seminggu berlalu sejak pasangan gay dibakar untuk pertama kalinya di Aceh. Akhir bulan lalu, Universitas Andalas Padang membuat kontroversi nasional dengan mewajibkan calon mahasiswa untuk tidak menjadi LGBT.
Faktanya, bukan hanya kelompok LGBT saja, tapi sepertinya setiap hari ada berita utama yang menyerang kaum heteroseksual yang belum menikah dan melakukan hubungan seks di ruang privat, sehingga berujung pada pelecehan seksual. mempermalukan publik atau untuk mempermalukan pelaku di ranah publik dengan cara Bagus ke diarak dalam keadaan telanjang.
Mengacu pada analisis filsuf Perancis Michel Foucault tentang kekuasaan, tubuh dan seksualitas, konsep tubuh (dan seksualitas) merupakan salah satu alat yang paling efektif untuk melanggengkan kekuasaan negara atas warganya. Dalam hal ini, tubuh pribadi dan segala aktivitas yang dilakukan dengan tubuh sering dijadikan sebagai pertarungan wacana antara benar dan salah, suci dan berdosa, moral dan maksiat dan terutama: normal dan abnormal.
Dengan memusatkan pemberitaan media pada aspek fisik – dan otomatis perilaku serta orientasi seksual – para korban, maka akan sangat mudah bagi masyarakat luas untuk kemudian mengklaim posisi moral yang lebih tinggi dibandingkan para korban.
Di dalam analisis Mengenai penggambaran seksualitas di media, penulis Hendri Yulius mengatakan di negara seperti Indonesia, di mana seksualitas dapat menentukan tingkat moralitas seseorang, kasus penggerebekan polisi terhadap aktivitas seksual suka sama suka antara orang dewasa sudah menjadi hiburan bagi masyarakat, seperti halnya sinetron. . atau infotainmen.
Merendahkan seksualitas (baik dalam wacana homoseksual maupun heteroseksual) memberikan peluang bagi penonton untuk memperkuat identitas moralnya sebagai “orang Indonesia” sesuai dengan norma sosial, budaya, dan agama yang sesuai. Coba, seberapa sering Anda mendengar atau membaca komentar tentang seksualitas yang serupa dan sesuai dengan “Hal ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia“?
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia dan bagaimana cara mengartikan kebudayaan Indonesia itu sendiri? Patut diingat bahwa wanita Bali pada zaman dahulu adalah orang yang bebas bertelanjang dadasuku bugis sudah mengenalnya sejak lama lima generasi dalam masyarakat, dan perilaku homoseksual bahkan a tradisi di berbagai suku dan daerah di Indonesia.
Akankah semua hal tersebut kemudian diingkari keberadaannya sebagai bagian dari budaya Indonesia? Sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila (mengucapkannya), di mana penerapan sila kedua dan keempat dalam proses penahanan para korban penggerebekan, apalagi melibatkan pejabat pemerintah yang termasuk garda terdepan dalam penerapan Pancasila. ? Ia memperlakukan warganya, bahkan dalam kasus tuntutan hukum, tidak manusiawi Lantas apakah sesuai dengan budaya Indonesia?
“Saya sangat marah,” kata Benjamin Xue, kepala petugas pertunangan untuk Kampanyejaringan global yang berfokus pada penciptaan perubahan sosial.
Kita perlu mengambil langkah-langkah seperti berhenti menyebarkan nama atau gambar korban penggerebekan dan yang terpenting, memberikan empati dan dukungan kepada kelompok LGBT di sekitar kita.
“Saya melihat perlunya kecaman kolektif yang melibatkan semua orang dan bukan hanya kelompok tertentu yang mengutarakan sudut pandangnya secara terpisah. Banyak yang mengatakan bahwa penyiksaan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT bukanlah hal yang biasa. “Padahal yang jelas-jelas sebaliknya,” ujarnya saat aku bertanya.
Xue juga menyarankan perlunya langkah lebih lanjut untuk memitigasi dampak lebih lanjut terhadap kelompok LGBT di Indonesia pasca kejadian ini, seperti menghentikan penyebaran nama atau gambar korban penggerebekan, memberikan donasi kepada organisasi seperti Aliran Pelangidan yang terpenting, memberikan empati dan dukungan kepada kelompok LGBT di sekitar kita.
“Saya rasa sudah saatnya kita fokus melakukan hal-hal kecil, karena hal-hal kecil yang dilakukan bersama-sama bisa tumbuh menjadi sesuatu yang besar. “Menanamkan nilai-nilai kasih sayang, khususnya pada perayaan Hari Lahir Pancasila mendatang,” ujarnya.
Beberapa kejadian yang melibatkan kelompok LGBT di Indonesia juga harus menjadi motor penggerak bagi warga LGBT di negeri ini untuk bersuara dan melawan penindasan yang masih terjadi berdasarkan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender serta tubuh (orientasi seksual, identitas & ekspresi gender, dan tubuh – SOGIEB) mereka. Menentang bentuk-bentuk penguasaan tubuh oleh negara dalam bentuk apapun, karena otonomi atas tubuh merupakan hak asasi manusia yang paling hakiki.
Sudah saatnya masyarakat dan media massa berhenti menilai moralitas seseorang hanya berdasarkan seksualitasnya, termasuk mengaitkan LGBT dengan perilaku seksual saja. Sebab meskipun seksualitas merupakan sesuatu yang begitu melekat dan mendasar dalam keberadaan manusia, namun seksualitas bukanlah satu-satunya definisi atau parameter kualitas manusia. Dengan begitu, mungkin tubuh kita akhirnya bisa kembali ke tempatnya semula: diri kita sendiri. —Rappler.com
Fajar Zakhri adalah seorang analis media dan penerjemah yang tinggal di Jakarta. Seorang aktivis di bidang musik, puisi, dan aktivisme, ironisnya ia sering menyebut dirinya sebagai “ikon gerakan”. Baginya, hal pribadi itu politis.