Peralihan fungsi penataan ruang harus melibatkan masyarakat
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Proses tidak transparan yang terjadi dalam penataan kota menyebabkan terjadinya tindakan penggusuran yang diskriminatif.
JAKARTA, Indonesia—Pemprov DKI Jakarta pada Senin, 29 Februari, melakukan penggusuran di kawasan Kalijodo, salah satu kawasan prostitusi tertua di Ibu Kota.
Penggusuran dilakukan dengan alasan, menurut Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, kawasan pemukiman di sana berdiri di jalur hijau.
Namun terdapat indikasi diskriminasi yang dilakukan pemerintah, mengingat beberapa kawasan lain di ibu kota yang semula diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau kini beralih fungsi sebagai kawasan pemukiman dan pusat perbelanjaan.
Sebenarnya apa sih permasalahan utamanya?
Menurut pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya, permasalahan utama tata ruang Jakarta terletak pada perencanaan yang tidak transparan.
Segala perubahan fungsi penataan ruang harus dilakukan dengan berkonsultasi dengan masyarakat, kata Marco saat dihubungi Rappler, Jumat, 26 Februari.
Menurut pendiri dan direktur Pusat Kajian Perkotaan RUJAK ini, masyarakat lokal mempunyai hak untuk mengetahui rencana tata ruang yang dilakukan pemerintah.
“Masyarakat bukan hanya berhak mengetahui, namun berhak menolak sejak awal ketika suatu proses penataan ruang dibuat,” ujarnya.
Lebih lanjut Marco mengungkapkan buruknya transparansi bukan hanya terjadi pada kasus Kalijodo saja, melainkan sudah terjadi sejak lama.
“Bukan hanya Kalijodo, semua orang juga begitu. Oleh karena itu bersifat ahistoris, mengabaikan fakta bahwa hal itu diubah tanpa sepengetahuan masyarakat, padahal masyarakat sebenarnya sejak awal memberikan pandangan atau bahkan menolaknya. Kedua, hanya melihat Kalijodo dan tidak melihat yang lain adalah ahistoris. Ketiga, akan menjadi ahistoris jika solusinya hanya dengan mengusir mereka. Karena apa yang ada tidak bisa dihilangkan begitu saja karena sifat ahistoris yang pertama, tidak diciptakan dengan cara yang benar, kata Marco.
Marco pun menilai pemerintah harus berani mengganti sistem tata kota yang tidak melibatkan masyarakat.
“Kalau ingin membuat tata ruang yang benar-benar terbuka, harus berhadapan dengan suara masyarakat yang jumlahnya banyak, butuh keberanian untuk mengelolanya,” kata Marco. “Ini adalah keberanian yang sesungguhnya, keberanian bukanlah keberanian untuk marah.”
Tanpa perlawanan
Proses penggusuran yang terjadi dua hari lalu berlangsung tanpa adanya perlawanan. Untuk membongkar lahan seluas 1,5 hektare, Pemprov DKI Jakarta mengerahkan 5.000 personel untuk merobohkan bangunan yang sebagian besar bersifat semi permanen. Meski sebelumnya sempat beredar rumor akan adanya perlawanan, namun hal tersebut tidak terjadi.
Dari seluruh bangunan tersebut, hanya ada satu masjid di depan jalan yang masih berdiri. Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat mengatakan, bangunan masjid yang diberi nama Al-Mubarokah ini akan disesuaikan dengan konsep taman interaktif yang rencananya akan dibangun Pemprov DKI Jakarta.
“Masjid juga akan dibongkar. Tapi jangan sekarang, kita harus hati-hati,” kata seorang petugas polisi layanan sipil kepada Rappler yang berhati-hati saat menghancurkan bangunan keagamaan tersebut.
Meski tak ada perlawanan, warga yang puluhan tahun tinggal di Kalijodo merasa sedih. Salah satunya Pak Ade. Dia hanya bisa duduk di kursi kayu di pinggir jalan.
“Saya hampir tidak tidur, Bu. Capek ngambil barang, kata Ade yang hanya bisa pasrah melihat toko yang dibangunnya dibongkar petugas Satpol PP.
Ia mengaku sempat disuruh pindah ke rumah kontrakan di Marunda namun bingung mencari nafkah di mana.
“Saya masih belum tahu bisnis apa yang ingin saya buka di sana. Bisakah kamu menjualnya lagi?” tanya Ade. — dengan laporan oleh Uni Lubis/Rappler.com
BACA JUGA: