• November 23, 2024
Perang Melawan Teroris, Momok Orde Baru Bisa Bangkit Lagi

Perang Melawan Teroris, Momok Orde Baru Bisa Bangkit Lagi

JAKARTA, Indonesia – Pasca ledakan bom di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari lalu, ada dorongan bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Salah satu poin penting dalam UU Terorisme yang akan direvisi adalah penambahan kewenangan pihak berwenang, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN), untuk menahan dan menangkap terduga teroris sebagai upaya preventif.

Sebelumnya, dalam jumpa pers pascaledakan, Kepala BIN Sutiyoso mengatakan pihaknya sudah menginformasikan akan terjadi serangan teroris pada 9 Januari, namun beralasan dirinya tidak bisa bertindak karena hal tersebut di luar kewenangannya. .

Menurut Sutiyoso, BIN hanya bisa memberikan informasi, namun tidak bisa menangkap terduga pelaku.

Dengan peninjauan ini, penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan – yang oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) disebut sebagai salah satu pelanggaran HAM berat yang dilakukan mantan Presiden Soeharto – bisa segera kembali dilakukan sebagai upaya pencegahan tindak pidana terorisme di Tanah Air.

Pasal 43A ayat (1) rancangan revisi UU Terorisme memberikan kewenangan kepada penyidik ​​dan penuntut umum untuk menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme selama 6 bulan tanpa proses hukum.

Teks lengkap pasal 43A ayat (1) adalah sebagai berikut:

Dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme, penyidik ​​atau penuntut umum dapat mencegah seseorang tertentu yang disangka melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa ke tempat tertentu dalam wilayah hukum penyidik ​​atau penuntut umum atau ditempatkan dalam jangka waktu paling lama. jangka waktu 6 (enam) bulan.

Tidak disebutkan “program” apa yang harus dilakukan penyidik ​​atau penuntut umum terhadap tahanan, namun pasal 43 ayat (2) berbunyi: Presiden menetapkan kebijakan dan strategi nasional untuk mengatasi tindak pidana terorisme.

Aktivis hak asasi manusia Tigor Naipospos mengatakan Pasal 43A meniru undang-undang Internal Security Act (ISA) di Malaysia dan Singapura, dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.

“Pasal 43A rawan pelanggaran HAM,” kata Tigor kepada Rappler, Kamis, 3 Maret.

Dengan dalih pencegahan (penahanan preventif), ISA memberi wewenang kepada pasukan keamanan Malaysia dan Singapura untuk menangkap dan menahan tanpa batas waktu siapa pun yang dianggap mengancam keamanan negara.

Malaysia sendiri menghapus UU ISA pada tahun 2011.

Draf revisi UU Terorisme telah diserahkan pemerintah ke DPR RI pada 10 Februari lalu. Namun belum ada jadwal pasti kapan konsep tersebut akan dibahas di DPR.

Pada tahun 2004, Ketua Komisi Nasional Pemantau Hak Asasi Manusia, MM Billah, mengatakan bahwa penahanan tanpa pengadilan merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang dilakukan mantan Presiden Soeharto yang memimpin Indonesia selama hampir 33 tahun.

Hak asasi manusia mungkin dilanggar

Total ada 7 pasal baru dan 8 pasal amandemen dalam draf revisi yang ditandatangani Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Secara keseluruhan, kata Tigor, rancangan revisi ini memperluas cakupannya hingga mencakup isu-isu seperti ujaran kebencian (Kebencian) dan penyebaran informasi yang dapat mendorong aksi terorisme.

“Konsep ini lebih antisipatif dan luas dengan memasukkan publikasi, ujaran kebencian, dan sikap intoleran. “Bagi kami, sikap intoleran adalah langkah awal dari lima langkah yang mengarah pada aksi terorisme,” kata Tigor, wakil ketua Setara Institute, lembaga yang mendorong demokrasi dan perdamaian.

Namun Tigor prihatin dengan beberapa poin yang berpotensi melanggar HAM, selain persoalan penahanan tanpa pengadilan di atas, seperti berikut:

1. Penangkapan. Pasal 28 draf revisi memperbolehkan penyidik ​​menangkap (dan menahan) seseorang selama 30 hari, dibandingkan 7 hari pada UU No. 15 Tahun 2003.

Hal ini melanggar hukum acara pidana Indonesia yang mengharuskan penyidik ​​menetapkan status seseorang dalam waktu 24 jam, kata Tigor.

Teks lengkap bagian 28 adalah:

Penyidik ​​dapat menangkap setiap orang yang diduga kuat melakukan tindak pidana terorisme dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

2. Penelitian. Dalam draf revisi tersebut, jaksa penuntut umum diberi waktu 30 hari untuk mempersiapkan penuntutan terhadap tersangka sebagaimana diatur dalam pasal 28A yang berbunyi:

Penuntut umum akan melakukan penelitian terhadap berkas perkara Tindak Pidana Terorisme dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berkas perkara diterima dari penyidik.

3. Penahanan. Tigor juga menyoroti lamanya masa penahanan tersangka baik di tingkat penyidik ​​maupun penuntut umum.

Benar, undang-undang pemberantasan terorisme ini istimewa, namun harus tetap menghormati hak asasi manusia, kata Tigor.

Berdasarkan rancangan revisi Pasal 25 ayat (2), (3), (4), dan (5), seseorang dapat ditahan selama 240 hari di tingkat penyidik ​​dan 150 hari di tingkat penuntut umum. Bunyi syair selengkapnya adalah sebagai berikut:

Ayat 2:
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik ​​berwenang menahan tersangka paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.

Ayat 3:
Masa penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) hari.

Ayat 4:
Untuk kepentingan penuntutan, penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari

Ayat 5:
Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari.

4. Ketik. Rancangan revisi tersebut juga memberikan kewenangan kepada penyidik ​​untuk melakukan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) huruf b dan ayat (2), berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah. Berikut isi ayat (1)b dan (2):

Kalimat (1)b:
Penyadapan percakapan telepon atau sarana komunikasi lainnya yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan teroris.

Kalimat (2):
Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik ​​dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan teknologi informasi.

—Rappler.com

BACA JUGA:

HK Hari Ini