PERIKSA FAKTA: Penutupan lokalisasi di Indonesia
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Setelah Gang Dolly di Surabaya dan Kalijodo di Jakarta, pemerintah akan menutup 99 lokasi lainnya di seluruh Indonesia.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dalam wawancara dengan Rappler mengatakan alasan penutupan tersebut. “Ada eksploitasi seksual, ada kekerasan seksual dan perdagangan manusia. “Kami menolaknya,” kata Khofifah.
Menurut dia, peningkatan perdagangan manusia disebabkan oleh prostitusi yang terjadi di titik-titik lokalisasi di Indonesia.
Negara harus mengambil sikap melindungi warga negaranya, tidak boleh ada perdagangan manusia yang terlembaga, kata Khofifah.
Berdasarkan data Kementerian Sosial, dari 168 lokasi di Indonesia, kini tersisa 99 lokasi yang akan ditutup untuk mencapai target Indonesia bebas lokalisasi pada tahun 2019.
Direktur Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Sosial dan Perdagangan Kementerian Sosial, Sonny Manalu, menjelaskan bagaimana program Indonesia bebas lokalisasi tahun 2019 dimulai dan berapa banyak pekerja seks yang akan terkena dampaknya.
Berikut penjelasannya:
Diprakarsai oleh mantan Menteri Sosial Salim Al Jufri
Ide untuk menggalakkan penutupan lokalisasi muncul dari pertemuan Menteri Sosial sebelumnya, Salim Segaf Al Jufri, pada Mei 2012 di Surabaya. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.
Dari pertemuan itu disepakati untuk menegaskan kembali rencana penutupan lokalisasi di seluruh Indonesia.
Gang Dolly, lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, terletak di Surabaya dan akhirnya ditutup pada tanggal 18 Juni 2014 oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Menurut Kemensos, program penutupan lokalisasi ini bukan diusulkan langsung oleh Menteri Sosial saat ini, Khofifah, namun program tersebut sudah ada sejak Kemensos berdiri.
“Hanya komitmen intensif Kementerian Sosial yang menjadikannya skala prioritas sejak Kementerian Sosial Bapak Salim Segaf Al Jufri dilanjutkan oleh Ibu Khofifah Indar Parawansa,” kata Sonny.
Perpanjang hingga 2019
Semula Khofifah ingin menutup seluruh lokalisasi pada tahun 2017. Namun karena berbagai pertimbangan, program penutupan lokalisasi diperpanjang hingga tahun 2019.
Meski demikian, Sonny mengaku Kemensos tidak melakukan penelitian sebelum melakukan penutupan, melainkan mengumpulkan data-data yang kasat mata.
“Datanya ada di seluruh daerah, dinas sosial melakukan pendataan di daerah masing-masing,” ujarnya.
Sehingga ditemukan sekitar 168 lokalisasi yang sebagian besar berada di Jawa Timur dan Kalimantan Timur.
Data Kementerian Sosial menyebutkan, tidak semua provinsi memiliki lokalisasi seperti di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Namun, Kementerian mencatat terdapat 1.625 pekerja seks di Aceh.
Rehabilitasi sosial bagi pekerja seks
Penutupan lokalisasi diklaim merupakan salah satu amanah yang diemban Kementerian Sosial karena salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan rehabilitasi sosial bagi pekerja seks.
“Mereka disingkat PMKS atau penyandang masalah kesejahteraan sosial. “Ada 27 PMKS, salah satunya adalah pekerja seks,” kata Sonny.
Dalam menjalankan proses rehabilitasi, para pekerja seks hasil penutupan lokalisasi akan ditempatkan di lembaga selama 6 bulan untuk mendapatkan pelatihan keterampilan.
“Mereka adalah kita utuhberi kami bimbingan motivasi untuk perubahan perilaku, lalu kami berikan penilaian di panti asuhan,” katanya.
Setelah terampil, mereka diberi modal untuk usahanya dan diperbolehkan kembali ke daerahnya masing-masing.
Pekerja seks di sana berjumlah 60 ribu orang
Kemensos menganggarkan Rp250 miliar untuk mengcover 99 lokasi sisanya, dengan rincian kompensasi Rp5.050.000 untuk setiap pekerja seks.
Setidaknya ada 60 ribu pekerja seks yang akan di-PHK pasca penutupan tersebut.
Jumlah total pekerja seks adalah 64.435 orang.
Jumlah pekerja seks di Jawa Barat menjadi yang terbanyak yakni 21.261 orang yang tersebar di 13 lokasi, disusul Jawa Timur sebanyak 6.417 pekerja seks yang bekerja di 54 lokasi.
Usia pekerja seks berkisar antara 17-28 tahun. Usia 28-40 tahun mendominasi, sekitar 65 persen, ujarnya.
Pejabat Kementerian Sosial pernah menemukan pekerja seks di bawah usia 18 tahun di Papua, yakni 17 tahun. Dia telah bekerja di lokalisasi sejak dia berusia 15 tahun.
Meski tertutup, praktik prostitusi masih terus terjadi
Tidak semua penutupan lokalisasi bisa menghentikan praktik prostitusi. Misalnya, meski resmi ditutup sejak Juni 2014, praktik prostitusi masih banyak dilakukan di Gang Dolly dan sekitarnya.
Bedanya, jika dulu eksekusi bisa dilakukan langsung di rumah bordil, kini dilakukan di sejumlah penginapan di luar Dolly’s Gang. Faktanya, tidak ada bukti bahwa penutupan setempat dapat menghentikan penyebaran virus HIV/AIDS. Baca selengkapnya Di Sini.
Sonny membenarkan tidak ada delegasi pekerja seks dari Pemprov DKI Jakarta. Oleh karena itu Kementerian tidak dapat memberikan kompensasi dan pelatihan. —Rappler.com
BACA JUGA: