• November 23, 2024

Perjalanan untuk mengakhiri kekerasan seksual masih panjang




Perjalanan untuk mengakhiri kekerasan seksual masih panjang


















Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Kebebasan dari kekerasan dan pelecehan merupakan hak yang melekat pada setiap perempuan. Tidak ada alasan apapun yang dapat menoleransi kejahatan ini.

JAKARTA, Indonesia – Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu dari beragam permasalahan berbasis gender yang mengakar di Indonesia. Setiap tahunnya, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 250 ribu laporan kejadian.

Komnas Perempuan dan lembaga lainnya telah melakukan beberapa upaya untuk menghilangkan masalah ini, namun jalannya tidak mudah. “Penegakan hukum masih lemah, masih banyak kebijakan yang diskriminatif, dan impunitas bagi pelakunya,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di kantornya, Rabu, 8 Maret.

Salah satu upaya solusi dan pencegahan yang dilakukan adalah dengan membuat rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS). Yuni menjelaskan aturan ini mencakup aspek pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi bagi korban dan pelaku.

Sayangnya peraturan ini belum menjadi undang-undang. Pada awal Februari, DPR pertama kali menyetujui rancangan tersebut sebagai RUU, dan baru diajukan sebagai RUU inisiatif pada 14 Februari. Komnas Perempuan terus mendesak DPR untuk mempercepat pembahasannya, pertama segera membentuk panitia khusus (pansus) sebagai mekanisme pembahasan RUU tersebut.

Yuni melanjutkan, negara juga telah meratifikasi beberapa instrumen hukum positif. Misalnya saja adanya alat monitoring dan evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas.

Masyarakat juga antusias mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui kampanye bersama, kata Yuni.

Sulit untuk melaporkannya

Pada tahun 2016, Yuni mengakui terjadi penurunan jumlah laporan kekerasan yang diterima oleh lembaganya dan organisasi mitranya.

“Pertama, patut diduga bahwa temuan Komnas Perempuan disebabkan oleh ketimpangan akses terhadap layanan,” ujarnya.

Yuni bercerita tentang seorang perempuan korban kekerasan seksual di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang harus menjual dua ekor kambingnya hanya untuk pergi ke kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) terdekat. Selain itu, di Sukabumi juga ada korban yang harus membayar hingga Rp600 ribu.

Permasalahan seperti ini mempunyai akibat yang fatal, misalnya melanggengkan impunitas. Karena tidak pernah dilaporkan, pelaku kekerasan merasa bebas dan terus mengulangi perbuatannya.

Menurut Yuni, perempuan miskin adalah kelompok yang paling rentan terhadap keterbatasan akses ini, begitu pula mereka yang tinggal di daerah terpencil dan pulau-pulau. Namun, masih ada kelompok lain yang juga kesulitan melaporkan kekerasan yang dialaminya.

“Khususnya bagi (penyandang) disabilitas. “Karena disabilitasnya, begitu dia melaporkannya, polisi tidak bisa segera merespon kebutuhan para penyandang disabilitas karena mereka belum dianggap sebagai warga negara yang sah,” kata Yuni.

Salah satu contohnya adalah orang buta yang kesaksiannya diragukan karena tidak dapat melihat. Saat ditanya apakah mereka sering menemui permasalahan tersebut, Yuni menjawab bahwa permasalahan tersebut sangat kompleks. Permasalahan aksesibilitas tidak hanya terbatas pada infrastruktur saja, namun juga kepercayaan.

Menurut dia, KPPA telah menambah cabangnya di daerah. Namun perempuan korban tidak memanfaatkannya melainkan mencari LSM dan LSM.

Selain kemudahan akses, Yuni mengatakan para aktivis di lembaga swadaya masyarakat ini cenderung tidak menghakimi atau menyalahkan korban. Biayanya juga lebih murah dan penanganannya lebih cepat.

“Karena wajar kalau korban tidak disalahkan, tidak menyalahkan korban,” ujarnya. Poin-poin ini bisa menjadi evaluasi bagi institusi pemerintah untuk meningkatkan pelayanannya ke depan.

Petugas hukum tidak sensitif

Saat laporan diterima, permasalahan kembali muncul di bidang penegakan hukum. Yuni melihat kurangnya kepekaan aparat kepolisian dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Contoh yang paling dekat adalah komentar Kanit Reskrim Polsek Jatinegara AKP Bambang Edi beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, jika seorang pria menyentuh atau menyentuh paha seorang wanita yang mengenakan celana panjang, itu bukanlah pelecehan seksual.

“Jika menyangkut pelecehan, dia memegang payudaranya atau menyentuh alat kelaminnya atau barang-barang milik pria tersebut dikeluarkan ditampilkan. Dia TIDAK. Pegang saja pahanya dan dia memakai celana. “Kecuali dia mengenakan rok, pahanya terbuka, dan dipegang, itu bisa menjadi unsur pelecehan,” katanya.

Menurut Yuni, komentar tersebut sangat tidak pantas. Bambang tidak menganggap hak perempuan atas tubuhnya sendiri melibatkan persetujuan. Apabila seseorang dengan sengaja menyentuh bagian tubuh perempuan mana pun, tanpa persetujuan, maka dapat dikatakan sebagai pelecehan seksual.

Parahnya, pernyataan Bambang justru bisa menyebabkan pelaku pelecehan seksual melakukan perbuatan tersebut. “Petugas kepolisian masih perlu dididik agar lebih peka terhadap masalah ini,” ujarnya.

Terkait kekerasan, polisi cenderung meremehkan laporan yang mereka terima. Yuni menceritakan sebuah kasus di Papua, seorang pria mengancam istrinya dengan memukul jam dinding hingga rusak. Saat dilaporkan, polisi tidak terima karena ‘belum ada korban’.

“Nah ini “Membuat perempuan merasa tidak terlindungi, frustasi dan takut untuk melaporkannya,” ujarnya.

Namun Komnas Perempuan melihat adanya perbaikan dalam hal peningkatan jumlah polisi perempuan (polwan) untuk menangani laporan kasus kekerasan atau pelecehan. “Tetapi tidak semua kepolisian, terutama di kecamatan, memiliki polwan untuk mendaftarkan kasus. “Masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan,” kata Yuni.

Untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, tidak cukup hanya dibatasi pada tindakan saja. Pencegahan juga sangat penting dan harus dilakukan dalam beberapa tingkatan.

“Yang pertama adalah pendidikan, melalui pengetahuan tentang hak-hak reproduksi. Jadi anak sudah tahu apa akibat dari perbuatannya, kata Yuni.

Tak hanya itu, keluarga juga harus diberikan pemahaman mendalam mengenai dampak kekerasan dan pelecehan. Seringkali ketika korban hendak melaporkan, pihak keluarga menghentikannya dengan dalih takut mencoreng nama baik dan sebagainya. Belum lagi jika pelakunya adalah orang-orang terdekat Anda.

Terakhir adalah pemahaman yang luas di masyarakat. Hal ini bisa dilakukan oleh lembaga keagamaan. “Karena kekerasan seringkali disebabkan oleh pemahaman agama yang salah,” ujarnya.

Kebebasan dari kekerasan dan pelecehan merupakan hak yang melekat pada setiap perempuan. Tidak ada alasan apapun yang dapat menoleransi kejahatan ini. -Rappler.com







data sdy