Perjuangan melawan homofobia bukan hanya tentang LGBT
- keren989
- 0
Akhir pekan lalu saya dan beberapa teman menonton film Inggris tahun 2014 berjudul Kebanggaan yang menceritakan tentang aliansi yang tidak biasa antara komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di London dan komunitas pertambangan di South Wales.
Pada tahun 1984, para penambang di Inggris melakukan pemogokan untuk memprotes kebijakan penutupan tambang yang diprakarsai oleh Perdana Menteri Margaret Thatcher, yang dikenal sebagai Iron Lady. Melihat kondisi tersebut, seorang aktivis gay di London bernama Mark Ashton dan kawan-kawan memulai pendiriannya Lesbian dan Gay mendukung para penambang (LGSM), yang bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi para penambang selama masa pemogokan.
Gagasan dan niat mulia ini tentu menemui banyak kendala; bagaimana para penambang yang tinggal di kota dengan segala konservatismenya bisa menerima uluran tangan kaum gay dan lesbian di ibu kota yang dianggap aneh bahkan sampah sosial?
Kondisi sosial politik yang sama-sama merugikan kedua komunitas ini di luar dugaan mampu menjadi perekat dan membangun persahabatan yang sungguh mengharukan dan menginspirasi.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya menonton filmnya – saya sudah menontonnya dua kali sebelumnya. Namun, yang membedakan pengalaman menonton ketiga saya adalah kali ini saya menonton dengan sepasang mata baru.
IDAHOT diperingati setiap tanggal 17 Mei. Selama satu hari penuh kita semua diajak untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya memerangi homofobia dan transfobia.
Ketika saya menonton film tersebut bersama teman-teman saya yang juga mengidentifikasi diri sebagai LGBT, keterlibatan politik saya sangat dalam gerakan LGBT juga di Indonesia hak perempuan dan partisipasi saya dalam tindakan seperti Pawai wanita dan demonstrasi buruh memberi saya pengalaman menonton film yang sungguh mengharukan dan menginspirasi, dengan kesan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Meminjam pepatah Inggris yang terkenal, mungkin inilah yang dimaksud ketiga kalinya adalah pesona: butuh tiga kali penayangan hingga saya benar-benar bisa memahami dan menafsirkan makna dan relevansi interseksionalitas dalam gerakan.
Interseksionalitas inilah yang seharusnya mendasari perayaan Hari Internasional Melawan Homofobia dan Transfobia (IDAHOT) tahun ini.
Diperingati setiap tanggal 17 Mei, selama satu hari penuh kita semua diajak untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya melawan homofobia Dan transfobia—khususnya sepanjang tahun 2016 mengenai wacana LGBT jadi menarik perhatian dalam skala nasional, yang mana Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bayangkan dan katakan dengan liar LGBT sebagai bagian dari perang proksi. Belum lagi seorang psikiater yang menganggap entengnya LGBT adalah penyakit mentalsebelum diterbitkan permintaan maaf setengah hati.
Ironisnya, konsep IDAHOT didasarkan pada penghapusan LGBT dari definisi penyakit jiwa sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990 dan sejak itu diperingati di hampir 120 negara di dunia.
Acara ini sendiri pertama kali diadakan pada tanggal 17 Mei 2005 dengan akronim IDAHO sebelum akhirnya menjadi IDAHOT empat tahun kemudian, sebagai bentuk pencantuman sikap anti diskriminasi terhadap kelompok transgender. Di Indonesia sendiri, perayaan IDAHOT masih tergolong baru sejak kemunculannya pada tahun 2012 lalu.
Sudah 27 tahun sejak pertama kali diperkenalkan. Kini semangat IDAHOT semakin relevan tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Yang berbeda, kali ini perjuangan melawan homofobia dan transfobia bukan hanya perjuangan kelompok LGBT saja, namun juga kelompok perempuan yang menuntutnya. kesetaraan gender, perusahaan di seluruh dunia bahkan dari kelompok agama.
Seperti yang digambarkan dalam film Kebanggaan, kelompok buruh di Indonesia juga menunjukkan solidaritas terhadap kelompok LGBT. Di sisi lain, gerakan LGBT tidak hanya sekedar memperjuangkan persamaan hak bagi kelompok LGBT.
Saya dan teman-teman LGBT lainnya juga ikut terlibat dalam permainan tersebut Petani Kendeng berebut pabrik semen, demonstrasi pekerja atau yang terbaru, mendukung pembebasan Ahok dan penghapusan pasal penodaan agama.
Keterlibatan kami bukan sekadar menggalang dukungan, apalagi menyusup atau mengkooptasi gerakan lain seperti yang mungkin ada di benak banyak orang. Sebagai kelompok masyarakat yang secara historis sering tertindas karena faktor eksternal, yakni seksualitas dan gender, saya merasa kelompok LGBT di mana pun perlu memiliki rasa solidaritas yang lebih kuat terhadap kelompok lain yang juga mengalami penindasan sistematis, baik secara sosial maupun budaya. ekonomi dan politik.
Ada salah satu kutipan dari karakter Mark Ashton di dalamnya Kebanggaan yang membuat saya terkesan. Dalam salah satu adegan LGSM mengunjungi para penambang di Onllwyn, South Wales, Ashton mengatakan: “Saya tidak pernah mengerti, apa gunanya mendukung hak-hak gay tetapi tidak mendukung hak-hak orang lain? Atau mendukung hak-hak pekerja namun tidak mendukung hak-hak perempuan? Itu tidak masuk akal bagi saya.”
Meski awalnya LGSM mendapat perlawanan yang cukup besar, namun Ashton menegaskan kepada rekan-rekannya bahwa mereka mempunyai niat baik dan LGSM tidak akan bersembunyi, lari atau merasa bersalah karena menjadi dirinya sendiri dalam menjalankan niat tersebut. Bagi saya, ini adalah semangat yang patut menjadi landasan perayaan IDAHOT saat ini dan di masa depan.
Dengan semangat ini, ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi pada IDAHOT 2017. Selain itu, pada tahun ini diskusi publik, Aliran Pelangi juga mengadakan kegiatan unik bertajuk TweetaThon atau maraton Tweet yang menyoroti suatu tema Sadar, terima, angkat bicara! atau Kenali, Terima, Pilih! sebagai bentuk kampanye.
Selama satu hari ini, mulai pukul 10.00 hingga 21.00 Arus Pelangi dan berbagai macamnya tuan rumah orang lain akan berbagi informasi dan cerita tentang IDAHOT melalui hashtag #IDAHOT2017 dan #IDAHOT2017ID.
Rangkaian kegiatan ini diharapkan dapat menjadi forum pembelajaran bagi semua tentang pentingnya memahami orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender serta tubuh (orientasi seksual, identitas & ekspresi gender, dan tubuh – SOGIEB), serta menolak segala bentuk stigma, kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT, tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia.
Karena pada akhirnya keberagaman adalah sesuatu yang bersifat manusiawi dan patut dirayakan, bukan ditekan. Dengan merayakan keberagaman, kita merayakan kemanusiaan secara keseluruhan dan bangga menjadi manusia yang seratus persen. —Rappler.com
Fajar Zakhri adalah seorang analis media dan penerjemah yang tinggal di Jakarta. Seorang aktivis di bidang musik, puisi, dan aktivisme, ironisnya ia sering menyebut dirinya sebagai “ikon gerakan”. Baginya, hal pribadi itu politis.