Perlukah Aksi Bela Islam 212 tetap dilaksanakan?
- keren989
- 0
Setelah melihat Aksi bela Islam bagian satu pada tanggal 14 Oktober, disusul dengan Aksi Bela Islam skala lebih besar jilid II pada tanggal 4 November, kemudian dibalas dengan Parade Bhinneka Tunggal Ika pada tanggal 19 November. Saya bertanya, apakah Aksi Bela Islam Jilid 3 masih perlu diadakan pada tanggal 2 Desember?
Pertama, tuntutan pendukung Aksi Bela Islam agar kasus dugaan penodaan agama terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama segera diproses hukum. Malam setelah aksi 4 November, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta polisi mengusut kasus tersebut dengan cepat dan transparan.
Proses penyidikan secara terbuka namun terbatas ini melibatkan sejumlah saksi dari pelapor dan pihak yang diberitahu serta pengamat, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Meski penyidik tidak sependapat, Ahok akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Ahok tidak ditahan tapi dilarang bepergian ke luar negeri. Saya setuju dengan alasan polisi tidak menahan Ahok karena tidak mempunyai alasan yang cukup untuk melakukannya. Namun juga menjadi bahan introspeksi bagi polisi yang begitu cepat menahan orang dalam kasus lain.
Jika ada yang ingin memanfaatkan isu Ahok untuk menggulingkan pemerintahan yang sah menjelang Pilpres 2019, saya yakin upaya itu tidak akan didukung masyarakat.
Setiap perlakuan yang berbeda akan meneguhkan persepsi: pisau hukum itu tajam di bagian bawah, tumpul di bagian atas. Kasus yang melibatkan warga Makassar bernama Yusniar yang dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi salah satunya.
Kedua, sikap politik Presiden Jokowi pasca demonstrasi 4 November menunjukkan “pengakuan” bahwa eskalasi politik yang meningkat pasca demonstrasi 4 November tak luput dari lambannya respons Jokowi terhadap potensi suhu politik memanas atas komentar Ahok yang menggunakan surat Al. . -Maidah ayat 51 menjadi viral di media.
Jokowi baru saja memulai kunjungannya untuk meredam suhu politik yang memanas dengan bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, pada 1 November mendatang. Di sana, Prabowo menunjukkan komitmennya untuk mendukung Jokowi hingga tahun 2019. Komitmen tersebut kembali ditegaskan saat Prabowo bertemu Jokowi pada 17 November di Istana Negara. Saat itu, rencana aksi 25 November dan Pilkada DKI Jakarta tengah dibicarakan menyusul status tersangka Ahok.
Selain bertemu Prabowo, Jokowi juga bertemu dengan pimpinan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Tanah Air. Jokowi juga mengundang ulama Jawa Barat dan Banten ke Istana. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Selain bertemu dengan pimpinan partai politik dan ulama, Jokowi juga rutin mengunjungi Mabes Polri dan TNI.
Terakhir, Jokowi ingin menunjukkan bahwa negara cukup aman. Menunda kunjungan ke Australia merupakan sikap populis yang perlu dilakukan untuk memberikan pesan kepada masyarakat bahwa presiden mengutamakan stabilitas nasional.
Saya yakin Jokowi kini serius melihat situasi tersebut, termasuk tuntutan pihak-pihak yang mendukung Aksi Bela Islam. Di sisi lain, sebagai kepala negara, Jokowi juga harus menjalankan amanah konstitusi, termasuk menjunjung tinggi prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang menjamin seluruh warga negara mempunyai kesempatan yang sama, meskipun berbeda suku, agama, dan kepercayaan, dalam kerangka hak asasi manusia. Persatuan Indonesia.
Ketiga, mobilisasi massa yang dilakukan oleh satu partai hanya memancing upaya balasan dari partai lain. Meski dibantah pihak penyelenggara, masyarakat menilai aksi Parade Bhinneka Tunggal Ika pada 19 November lalu merupakan upaya menyikapi Aksi Bela Islam yang menuntut Ahok dihukum atas dugaan penodaan agama.
Pentolan tersebut juga diketahui merupakan pendukung Ahok. Apapun kemasannya, mobilisasi massa yang dilakukan di Jakarta saat ini sarat dengan kepentingan politik jangka pendek, dalam hal ini perebutan kursi gubernur pada Pilkada 2017.
Menurut saya, sangat penting bagi semua pihak, termasuk pendukung paslon, untuk tidak (lagi) mendukung mobilisasi massa seperti dulu. Selain rentan terhadap infiltrasi, masyarakat menjadi lelah seiring berjalannya waktu dan menjadi antipati, serta enggan untuk terlibat secara langsung.
Jangan biarkan para makelar kekuasaan bersuka ria melihat penderitaan banyak orang. Di era demokrasi, ketidakpuasan terhadap penguasa ditunjukkan dengan pergi ke tempat pemungutan suara dan memastikan untuk tidak memilih mereka.
Jika kita melihat apa yang terjadi pada pemilu presiden di Amerika Serikat, semua pihak seharusnya mengantisipasi kemarahan diam-diam dari mayoritas pemilih. “Hukuman” itu akan terasa ketika pemilu digelar. Kasus Pilkada DKI Jakarta, 15 Februari 2016. Demikian pesan untuk seluruh pasangan calon.
Keempat, Aksi Bela Islam jilid 3 yang akan berlangsung pada 2 Desember ini diklaim merupakan upaya pelaksanaan salat Jumat bersama. Ketua Front Pembela Islam (FPI) yang juga pendiri Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF MUI), Rizieq Shihab mengatakan, aksi tersebut akan digelar di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, mulai dari Semanggi. ke Istana.
“Salat Jumat akan kami adakan di sebelah Sudirman-Thamrin,” ujarnya.
Negara ini menjamin warganya menunaikan ibadah. Ada banyak masjid berkapasitas besar di ibu kota Jakarta, termasuk Masjid Istiqlal. Saran saya, jika ingin menunjukkan kehebatan Islam, sebaiknya salat dilakukan di masjid, termasuk di halamannya, atau di tempat yang luas, dan bukan di jalan raya yang sangat ramai dan penting bagi aktivitas orang lain. warga ibu kota, seperti Jalan Sudirman-Jalan MH Thamrin, khususnya dari Semanggi hingga Istana.
Saya bukan ahli Islam, agama yang saya anut. Oleh karena itu saya mengutip pernyataan anggota tersebut Komisi Fatwa MUI Dr KH M Hamdan Rasyid di siniyang menilai rencana aksi demonstrasi besar-besaran pada 2 Desember nanti akan menimbulkan antipati masyarakat lain, karena melanggar hak pengguna jalan.
“Energi umat Islam tidak boleh terbuang untuk protes soal Ahok,” kata Hamdan Rasyid yang juga saksi ahli MUI dalam penyidikan kasus Ahok di Bareskrim Polri.
Jika Anda hanya ingin menunjukkan kemampuan Anda dalam mengorganisir demonstrasi besar-besaran, partai Aksi Bela Islam yang pro-Islam berhasil melakukannya pada tanggal 4 November.
Jika ada yang ingin memanfaatkan isu Ahok untuk menggulingkan pemerintahan yang sah menjelang Pilpres 2019, saya yakin upaya itu tidak akan didukung masyarakat. Mayoritas dari kita masih sangat lelah dengan reformasi tahun 1998 yang memakan banyak korban jiwa, bahkan hingga saat ini kasus hukumnya belum terselesaikan. Dilupakan oleh semua penguasa setelah itu. Penguasa yang berkuasa akibat protes ratusan ribu warga, termasuk pelajar dan mahasiswa.
Mayoritas warga masih bosan dengan bolak-balik pasca Pilpres 2014. Saat kedua kandidat yang bersaing duduk dan minum teh atau berpose bersama dan menunggangi kuda mahal, para pendukungnya bertengkar di media sosial dan bersaing memperebutkan “Seberapa rendah Anda bisa mencapainya?“.
Pemerintahan Jokowi harus dikritik dan dikoreksi dengan keras, jika perlu, seperti yang telah kita lakukan pada pemerintahan sebelumnya, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun menjatuhkannya di tengah jalan bukanlah suatu pilihan.
Jangan biarkan para makelar kekuasaan bersuka ria melihat penderitaan banyak orang. Di era demokrasi, ketidakpuasan terhadap penguasa ditunjukkan dengan pergi ke tempat pemungutan suara dan memastikan untuk tidak memilih mereka. —Rappler.com