Pertandingan di Sumpah Pemuda dan Karbala
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Janji Pemuda merupakan simbol bagi mereka yang meyakini bahwa ada saatnya seluruh pemuda di nusantara membangun komitmen untuk maju.
Theodor W. Adorno, pemikir Mazhab Frankfurt pernah menulis. “Menulis setelah Auschwitz adalah tindakan biadab.”
Ia menulis dengan sinis tentang bagaimana tragedi Auschwitz harus dimaknai dengan kesedihan, bahkan puisi pun tak mampu menggambarkan kepedihan dan tragedi yang terjadi dalam peristiwa itu. Duka akibat genosida melahirkan generasi baru masyarakat yang membenci perang, membenci penguasa lalim, mereka yang selamat selamanya akan memahami makna teror Auschwitz.
Tahun ini, perayaan Sumpah Pemuda di Indonesia berdekatan dengan hari duka Asyura. Hari dimana Imam Husein cucu Nabi Muhammad wafat sebagai syahid di padang Karbala. Ia yang dimuliakan dengan gelar Pangeran Muda Surga, meninggal secara terhormat di hadapan penguasa lalim. Dia menolak untuk membungkuk. Dia menolak menerima tiran tersebut, sama seperti para pemuda lainnya yang disiksa bersamanya di ladang Karbala.
Bagi saya, peringatan duka Karbala yang berdekatan dengan perayaan Sumpah Pemuda mempunyai makna tersendiri. Terutama saat ini ketika banyak penindasan terjadi dan kaum muda melakukan perlawanan dengan segala yang mereka miliki. Perlawanan ini lahir di Rembang, Urutsewu, Batang, Kulonprogo, dan Teluk Benoa. Kelompok muda ini menolak untuk tunduk, menolak untuk tunduk dan yang lebih penting lagi menolak untuk berkompromi dengan penguasa yang mempunyai kecenderungan despotik.
Latar belakang Peristiwa Duka Karbala sangat mengharukan bagi saya. Ia bercerita tentang dua kelompok Islam yang saling berkelahi. Setiap kelompok mewakili ideologinya. Yazid bin Muawiyah dengan segala cara memaksakan dirinya untuk menjadi pemimpin umat Islam. Sedangkan Imam Husein sebagai Ahlul Bait atau keturunan Nabi Muhammad SAW terpaksa harus baiat. Kalau menolak maka akan dibunuh. Kita kemudian belajar dari fakta sejarah bagaimana Karbala menjadi saksi pembantaian brutal kelompok Imam Husein.
Jadi, meminjam kata-kata Adorno, “Puasa setelah Karbala tidak manusiawiKita harus mencontoh beliau. Ikutilah sikap Imam Husein. Ketika beliau berperang melawan kekuatan yang diutus oleh Yazid bin Muawiyah, beliau menyadari bahwa beliau termasuk golongan minoritas. Beliau siap menjadi syahid, bahwa kehidupan yang terdegradasi adalah sebuah kemalangan. kompromi bagi penguasa yang kejam. Kematian menjadi satu-satunya kemuliaan yang bisa dicapai oleh mereka yang percaya bahwa perjuangan melawan tiran adalah kemartiran.
Bertahun-tahun kemudian, peristiwa Karbala menjadi inspirasi. Ia menjadi simbol perlawanan kelompok tertindas melawan tiran yang berkuasa. Itu menjadi label harapan. Hal ini bahkan dalam keadaan terpojok, bahkan dalam situasi stres, ketika segala cara telah digunakan, dan perlawanan tampaknya berujung pada kekalahan. Dia masih memiliki harapan untuk diselamatkan. Peristiwa Karbala memberi kita contoh mengenai hal ini.
Peristiwa Karbala tidak hanya dialami oleh sekte Islam Syiah yang patut disesali dan ditiru. Bagi saya, kisah syahidnya Imam Husein di Karbala adalah milik mereka yang berani berperang. Mereka yang tertindas dan menolak untuk tunduk. Mereka yang meyakini bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia dan bagi mereka para pemuda yang ingin meraih kejayaan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kehidupannya. Karbala adalah ruh seluruh umat yang tidak tinggal diam ketika penindas berkuasa dan melanggengkan kekerasan demi nafsu kezalimannya.
Janji Pemuda juga sama. Ia menjadi simbol bagi mereka yang meyakini bahwa ada masanya seluruh generasi muda nusantara mempunyai komitmen untuk maju. Bahwa generasi muda terbaik nusantara bertemu dalam peristiwa bersejarah dan kemudian sepakat untuk membangun solidaritas nasional. Solidaritas untuk melawan penjajah, melawan pihak yang menindas dan berkomitmen melawan penindasan.
Bagi saya, perayaan Sumpah Pemuda sebenarnya adalah perayaan yang relatif tidak ada gunanya. Bukan, bukan karena tidak ada nilainya, tapi terlebih lagi perayaan ini sia-sia karena hampir tidak ada contoh peristiwa ini yang bisa kita kaitkan. Jika serius mengkaji tentang sejarah Kongres Pemuda yang menjadi landasan peristiwa ini, maka sebenarnya kita mengabaikan sejarah tersebut. Janji Pemuda merupakan acara toleransi yang dilaksanakan di rumah-rumah masyarakat Tionghoa, dalam satu sesi mendengarkan lagu Indonesia Raya ciptaan seorang Ahmadiyah. Hari ini? Boro boro dengar, Masjid Ahmadiyah pun disegel.
Bangsa ini suka lupa sejarah namun mudah tersinggung. Sejarah Janji Pemuda dianggap sebagai momen nasional, momen untuk mempersatukan bangsa-bangsa nusantara menjadi satu kesatuan. Saat ini perayaan Janji Pemuda lebih mendekati gunjingan dibandingkan semangat.Jika ingin bicara persatuan mengapa setiap perbedaan kecil dianggap masalah. Padahal kita tahu bahwa Indonesia dibentuk dan didirikan oleh generasi muda yang memiliki visi persatuan.
Tapi itu sebelumnya. Ketika generasi muda bangsa ini lebih memikirkan negaranya dibandingkan dirinya sendiri.—Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.
BACA JUGA: