• November 25, 2024

Pertumbuhan pariwisata Gunung Kidul mengancam keberlangsungan Geopark Sewuberge

YOGYAKARTA, Indonesia – Gunung Kidul merupakan salah satu destinasi wisata favorit di Yogyakarta. Setidaknya menurut data Dinas Pariwisata DIY, terdapat 23 destinasi wisata di Gunung Kidul.

Di kabupaten ini misalnya, terdapat Kawasan Bentang Alam Karst Pegunungan Sewu (KBAK) yang membentang dari Wonogiri, Jawa Tengah, hingga Pacitan, Jawa Timur.

Namun pesatnya perkembangan dunia pariwisata Gunung Kidul membuat masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu (KMPPS) merasa khawatir.

Sebab, pembangunan yang melanggar peraturan di kawasan lanskap karst berpotensi merusak kawasan tersebut. Padahal, kawasan lanskap Karst merupakan sumber aliran sungai bawah tanah di Gunung Kidul.

Gunung Sewu diakui oleh UNESCO

Pada tahun 2015, UNESCO menetapkan KBAK Pegunungan Sewu sebagai bagian dari Jaringan Geopark Global karena keanekaragaman ekosistem di dalamnya. Namun status tersebut bisa dicabut jika keanekaragaman ekosistem di tempat tersebut rusak.

Kelestarian KBAK terancam akibat sejumlah aktivitas antara lain penambangan, pembukaan bukit, dan pembangunan resor di Seruni yang melanggar aturan peruntukan wilayah pesisir KBAK, kata Juru Bicara KMPSS Halik Sandera, Selasa, 29 Agustus lalu.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Yogyakarta (WALHI) lantas menyatakan, setidaknya ada tiga praktik yang mengancam keberlangsungan dan fungsi KBAK Sewuberge.

“Ada pertambangan yang hasilnya dibeli berbagai perusahaan, ada juga cara perusahaan memberikan jasa penimbunan bukit secara gratis bagi warga yang ingin membangun gedung di atas tanahnya di atas bukit,” kata Halik.

Selain itu, lanjut Halik, juga terdapat pembangunan hotel dan villa resort di pesisir Pantai Seruni yang pembangunannya diyakini akan merusak kawasan tersebut. Menurutnya, dua cara awal pelibatan warga sekitar itu muncul karena adanya insentif ekonomi. Keberadaan penduduknya sebagai penambang bukit karst baru terungkap pada tahun 1990-an.

Sebelumnya, warga menghidupi dirinya sebagai petani tadah hujan pada musim hujan dan sebagai tukang bangunan atau kuli bangunan atau pekerjaan lain pada musim kemarau.

Demikian pula dengan menawarkan jasa penghancur bukit secara gratis yang merupakan cara yang dilakukan para pengusaha untuk memperoleh bahan baku ukiran karst untuk dijual kembali dan memperoleh keuntungan lebih.

“Bukit karst banyak mengandung material, salah satunya batu kapur. “Dengan memberikan pelayanan dan memenuhi permintaan warga, perusahaan menghindari beberapa izin pembukaan bukit, karena yang terjadi adalah perusahaan menuruti keinginan warga,” ujarnya.

Halik memperkirakan puluhan bukit hancur akibat praktik tersebut.

Pembangunan resor mengancam keberlanjutan

Sedangkan ancaman ketiga adalah pembangunan resor, hotel, dan vila besar-besaran di tepi Pantai Seruni yang saat ini sedang berlangsung.

Menurutnya, salah satu proses pembangunan mega resort yang terlihat adalah perataan dan pengerukan setidaknya dua bukit yang dilakukan melanggar aturan peruntukan lahan di KBAK.

“Peraturannya sudah lengkap. Pembangunan ini melanggar peruntukan KBAK. “Kami menuntut Pemkab Gunung Kidul menaati aturan secara tegas dengan menghentikan pembangunan,” ujarnya.

Halik menyebutkan sejumlah regulasi terkait KBAK Gunung Sewu, antara lain UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP 26 Tahun 2008 dan PP 13 Tahun 2017 tentang RTRWN, Keputusan Menteri ESDM 17 Tahun 2012 tentang Pembentukan Menteri KB4AK dan ESDM30DM30 K/ 40/MEM/2014 /KBAK Gunung Sewu.

Menurutnya, masifnya pembangunan resor, hotel, dan vila berpotensi menimbulkan banyak dampak negatif. Perbukitan yang dilakukan sandblasting dan tidak direklamasi menyebabkan kemampuannya dalam menyerap air hujan turun hingga 99 persen, sedangkan perbukitan yang dilakukan sandblasting dan reklamasi menurunkan fungsi resapan air hujan hingga 75 persen.

Selain itu, banyaknya limbah air yang dihasilkan dari akomodasi berpotensi mencemari persediaan air di sungai bawah tanah di bagian hilir.

“Karst merupakan pemasok air bersih bagi seperempat penduduk dunia. 50,9 persen wilayah Gunung Kidul masuk dalam KBAK Gunung Sewu dan 68,9 persen KBAK Gunung Sewu berada di Gunung Kidul. “Sungai bawah tanah sangat sensitif terhadap air permukaan. Jika air permukaan tercemar, air bawah tanah berpotensi tercemar juga,” lanjutnya.

Menurutnya, potensi air di KBAK Gunung Kidul mampu mengatasi permasalahan kekeringan yang sering dialami warga Gunung Kidul saat musim hujan usai. Namun potensi tersebut hingga saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal.

“Kita membutuhkan teknologi untuk mengangkat air dari sungai bawah tanah agar bisa dimanfaatkan warga. Jadi solusi kekeringan tidak hanya sekedar membuang air dengan tangki air, baik milik pemerintah maupun perusahaan. “Langkah ini diulangi setiap musim kemarau tanpa ada upaya solusi jangka panjang,” tegasnya.

Halik menyarankan agar pemerintah serius menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan. Investasi diperlukan, namun dalam bentuk yang mendukung kelestarian alam setempat. “Seperti di Nglangeran misalnya, penginapannya menggunakan rumah warga, sehingga warga juga dilibatkan dan ada upaya menjaga kelestarian alam dengan tidak membangun resort,” ujarnya.

Mahasiswa membantu perekonomian masyarakat

Selain menekankan keterlibatan pemerintah dalam mengatasi ancaman kerusakan KBAK Gunung Sewu, Akademisi Universitas Pembangunan Nasional Eko Teguh Paripurna berpesan kepada mahasiswa untuk ikut aktif mencegah proses pengrusakan yang terjadi di KBAK Gunung Sewu berlangsung.

“Caranya dengan menuju ke sana, melakukan penelitian, menulis tesis, melakukan sosialisasi dan mengubah pola pikir masyarakat. “Pastikan seluruh bagian Karst Gunung Sewu memiliki nilai, sehingga masyarakat tidak mau menjual tanahnya kepada investor,” kata Eko.

Menurut pakar Geologi ini, mahasiswa dapat ikut serta dalam penyelidikan dan pemetaan potensi yang ada di KBAK, mulai dari potensi alam, satwa, keanekaragaman hayati, hingga keanekaragaman budaya masyarakat setempat.

“Itu dipetakan dan kemudian dikemas agar bernilai. Jangan datang dan bilang Jathilan (tradisi kesenian daerah) itu Haram. Mahasiswa dapat mendorong masyarakat berkelanjutan dan kemudian mempertahankan tanahnya agar tidak dijual kepada investor,” tambahnya.

23 Destinasi Wisata Gunung Kidul

Sementara itu, Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan, sejauh ini ada sekitar 23 destinasi wisata yang dikelola di Gunung Kidul.

Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata DIY, Aria Nugrahadi mengatakan, kunjungan wisatawan ke kawasan Gunung Kidul setiap tahunnya semakin meningkat. Menurutnya, Pemprov menggunakan konsep tersebut berdasarkan komunitas untuk mencapai pariwisata berkelanjutan.

Prinsipnya menjaga kelestarian lingkungan dan melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata. Hal itu dilakukan di Hutan Wisata Nglangeran, Tebing Breksi dan Hutan Wisata Mangunan. “Di sana masyarakat yang awalnya menjadi buruh migran, penambang atau petani hutan beralih terjun dalam kegiatan pariwisata,” kata Aria.

Namun, untuk pembangunan resort di Pantai Seruni Gunung Kidul, menurutnya, menjadi kewenangan pemerintah kabupaten setempat. Selain itu, dia juga tidak bisa melarang warga menjual tanah milik pribadi kepada investor.

Aria mengatakan, hampir 90 persen destinasi wisata di DIY mengandalkan daya tarik wisata alam dan budaya, serta sekitar 10 persen merupakan destinasi wisata buatan seperti museum, kebun binatang, atau taman hiburan khusus. —Rappler.com

Pengeluaran SGP