
Perzinahan dan kekerasan seksual tidak ada hubungannya
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang uji materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). pada hari Selasa, 30 Agustus.
Sidang uji materi KUHP ini diprakarsai oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk mengubah pasal-pasal terkait pemerkosaan tidak hanya terhadap perempuan; juga perzinahan sehingga tidak hanya terjadi pada mereka yang sudah menikah tetapi juga mencakup pasangan yang belum menikah dan kaum homoseksual.
Sidang hari ini mempertemukan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) untuk memberikan informasi sebagai pihak terkait.
Kedua lembaga tersebut menyampaikan perbedaan perzinahan dan kekerasan seksual, serta bagaimana perubahan pasal 284, 285, dan 292 yang sedang diupayakan tidak akan berdampak.
(LIVE BLOG: Sidang Pengujian KUHP di Mahkamah Konstitusi)
Menurut Komnas Perempuan dan ICJR, konteks antara perzinahan dan kekerasan seksual tidaklah berkesinambungan.
“Masyarakat suka melihat perzinahan sama dengan kekerasan seksual atau pemerkosaan, padahal berbeda,” kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana.
Hal itu dikatakannya karena melihat pemahaman hakim Mahkamah Konstitusi dan pemohon masih belum jelas mengenai hal tersebut.
Bukan masalah hubungan fisik
Menurut Erasmus Napitupulu dari ICJR, pasal perzinahan yang dipermasalahkan sama sekali bukan soal hubungan seksual.
“Logikanya sederhana, perlindungan pernikahan. “Kalau nikah dihilangkan, keluhan hilang, tidak ada hubungannya dengan perempuan,” kata Erasmus.
Menurutnya, tindak pidana perzinahan tidak sama dengan yang ada dalam kitab suci agama.
Dalam kasus pidana yang menjadi fokus adalah jika ada pemaksaan atau pelanggaran terhadap UU Perkawinan. Sedangkan dalam konteks agama disinggung soal moralitas.
Keduanya, kata Erasmus, tidak bisa digabungkan begitu saja.
Jika permintaan itu dikabulkan, Erasmus menilai negara sudah terlalu jauh masuk ke ranah privat. “Belanda adalah (negara) Kristen yang taat, hubungan seksual juga dilarang. Tapi mereka rasional, ini ranah privasi, ujarnya.
“Orang Belanda juga beragama Kristen yang taat. Tapi mereka tidak mengkriminalisasi perzinahan karena ini masalah privasi.” @RapplerID pic.twitter.com/BVo4pABaUq
— Ursula Florene (@kuchuls) 30 Agustus 2016
Yang paling penting, kata dia, tidak ada kekerasan, pemaksaan, eksploitasi, atau merugikan pihak-pihak. Jika salah satu pihak dirugikan, maka negara berhak turun tangan dan menghukum pelakunya.
Pendidikan dan tabu
Menurut ICJR dan Komnas Perempuan, hukum pidana bukanlah jalan pintas untuk menghapuskan kekerasan seksual. Masih banyak cara lain yang bisa diikuti.
Salah satunya adalah mengubah persepsi masyarakat mengenai seksualitas sebagai hal yang tabu. Menurut mereka, banyaknya remaja yang melakukan hubungan seksual di bawah usia 18 tahun disebabkan terbatasnya informasi.
Padahal, pasal 534 KUHP sebenarnya melarang promosi alat kontrasepsi. Padahal, hal itu penting untuk menurunkan angka penyakit menular seksual dan mengurangi kehamilan di luar nikah.
“Mereka (anak muda) penasaran tapi tidak ada yang bisa menjelaskannya, karena informasi tersebut dianggap tabu,” kata Azriana. Tidak memahami hal-hal yang berkaitan dengan seks kemudian mendorong mereka melakukannya dengan cara “trial and error”.
Pasal 534 KUHP berbunyi:
Barang siapa dengan terang-terangan mengungkapkan suatu cara untuk mencegah kehamilan atau menawarkannya secara terang-terangan atau tanpa diminta, atau secara terang-terangan atau tertulis tanpa diminta, menyiarkan cara atau perantara (jasa) itu karena dapat diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama. dua bulan atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Selain itu, kata Azriana, masih banyak persepsi lain yang mengobjektifikasi perempuan dan juga melanggengkan kekerasan.
Cara mengatasinya adalah melalui konseling seks yang memadai. Sedangkan di bidang moral dan etika, para pemuka agama bisa memberikan konseling dengan caranya masing-masing.
Kuasa hukum Komnas Perempuan, Asfinawati menambahkan, upaya kriminalisasi sektor swasta seperti yang dilakukan saat ini justru dapat menurunkan moral manusia. “Karena mereka hanya akan takut kalau ada polisi, tapi kalau tidak, mereka tetap melakukannya,” kata Asfinawati.
(BACA: Haruskah hubungan homoseksual dikriminalisasi?)
Selain regulasi, implementasi juga harus diperhatikan. Menurut Azriana, Indonesia sudah memiliki undang-undang yang memadai. Untuk kekerasan seksual terhadap anak, hal itu tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan, juga tertuang dalam Pasal 289 KUHP.
Azriana menilai ada hal lain yang perlu dicermati jika kekerasan seksual baik terhadap anak-anak maupun orang dewasa masih marak terjadi. “Mungkin bukan regulasinya, tapi penegakan hukumnya bagaimana?” kata Azriana.
Tidak mengerti konteksnya?
Azriana mengatakan, majelis hakim terlihat kurang memahami konteks penjelasan yang diajukan Komnas Perempuan dan ICJR.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar misalnya, mengatakan perzinahan justru berisiko membunuh perempuan, perceraian, bahkan kehamilan yang tidak diinginkan.
“Bagaimana jika hubungan tersebut bersifat suka sama suka, lalu pihak wanita hamil dan pihak pria mengingkari janjinya dan melarikan diri?” kata Patrialis.
Azriana menjawab, itu bukan perzinahan dan bukan pemerkosaan. “Ini eksploitasi seksual, dan sudah masuk dalam tindak pidana di DPR saat ini dalam RUU Pencegahan Kekerasan Seksual,” ujarnya.
Selain Patrialis, pernyataan serupa juga disampaikan anggota majelis hakim lainnya, sehingga baik Azriana maupun Erasmus harus mengulangi penjelasannya. Soal hal itu, Azriana mengaku tak ambil pusing.
“Memahami konteks kekerasan seksual itu sulit, butuh waktu lama. “Kami di Komnas Perempuan saja memerlukan waktu puluhan tahun,” katanya kepada Rappler setelah sidang.
Kesempatan menjawab pertanyaan hakim, lanjutnya, sebenarnya bisa membantu mereka memberikan wawasan.
Azriana mengakui jarang sekali hakim konstitusi yang menangani kasus kekerasan seksual. “Ini menjadi pekerjaan rumah Komnas Perempuan ke depan,” ujarnya.
Terakhir, baik Komnas Perempuan maupun ICJR meminta majelis hakim mempertimbangkan faktor-faktor tersebut sebelum mengambil keputusan. Jangan sampai suatu hasil diputuskan hanya untuk kepentingan satu kelompok tertentu.
“Kami diminta dihukum karena agama dilarang. Kalaupun Allah melarangnya dalam bentuk agama, orang tetap saja berbuat zina, apa lagi yang mau dilarang oleh negara?” kata Erasmus.—Rappler.com