• September 22, 2024

Pesan Idul Fitri Damai dari Jamaah Ahmadiyah

JAKARTA, Indonesia — Pagi ini, tepatnya 1 Syawal 1439 Hijriyah yang jatuh pada hari Jumat, 15 Juni 2018, umat Islam berbondong-bondong keluar rumah menuju masjid. Semua orang tampil rapi dan cerdas, siap merayakan Idul Fitri, hari kemenangan, hari yang ditunggu-tunggu setelah puasa sebulan.

Termasuk jemaah Ahmadiyah yang hadir di Masjid Al Hidayah, Ciputat Raya, Kebayoran Lama. Sejak pukul 06.00 WIB, masyarakat sudah satu per satu datang untuk mempersiapkan diri melaksanakan salat Idul Fitri.

Lokasi masjid tidak terlihat dari jalan utama. Jemaah harus berjalan kaki dari jalan utama untuk mencapai Masjid Al Hidayah. Selain masjid ini juga terdapat masjid lain bernama Masjid Al Hikmah yang letaknya tidak terlalu jauh.

Pagi itu, jamaah di Masjid Al Hikmah terlihat cukup ramai sehingga salat Idul Fitri digelar di lapangan terbuka, tepat di samping gedung Masjid Al Hidayah. Jika salat Iduladha di Masjid Al Hikmah tampak semarak dengan suara nyaring, suasana di Masjid Al Hidayah justru sebaliknya. Suasana terasa lebih tenang.

Sebelum salat Idul Fitri dimulai, jemaah dari dua masjid berbeda sesekali berpapasan dan berjalan berdampingan dari jalan utama. Tidak ada konflik, tidak ada kebencian atau tatapan mata dari siapapun. Yang ada hanya kedamaian dan salam. Pagi itu segalanya terasa khusyuk dan damai.

Tepat pukul 07.00 WIB, salat Idul Fitri dimulai. Usai salat dan khutbah, jamaah berjabat tangan dan saling sapa. Mungkin karena jumlah umatnya yang tidak terlalu banyak (meski ratusan), suasana keakraban dan persatuan terlihat jelas. Banyak anggota jemaah yang sudah saling kenal dekat.

Menurut Jihan, salah satu pengurus Masjid Al Hidayah, jumlah jamaah yang terdaftar di masjid ini sekitar 500 jamaah. Namun pada momen khusus seperti salat Idul Fitri seperti saat ini, biasanya banyak juga jamaah dari masjid lain yang datang untuk beribadah di Masjid Al Hidayah.

Kebahagiaan sejati

Alhamdulillah di Jakarta relatif aman. “Dibandingkan saudara kita di Lombok Timur yang kemarin awal Ramadhan ditimpa musibah…,” kata H. Kandali Achmad Lubis yang berbicara kepada Rappler usai salat Id digelar.

Kandali sedikit gemetar mengingat saudara-saudaranya yang Ahmadiyah di Lombok Timur. Seperti diketahui, sekelompok warga Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Makan, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada awal Ramadhan lalu, tepatnya 19-20 Mei, menyerang, melakukan perusakan dan diusir. .

Kandali mengingatnya dan menitikkan air mata. “Maaf, aku jadi sedih dan emosional,” katanya sambil menyeka kelopak matanya. Duka terlihat jelas di wajah Ketua Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kebayoran Lama itu.

“Itulah yang membuatnya berbeda hari ini. “Ini yang membuat kita semua sedih,” kata Kandali lagi.

Bukan hanya komunitas Ahmadiyah yang tinggal di Lombok Timur yang menjadi korban penolakan masyarakat. Bahkan sekarang, halPenyegelan Masjid Al Hidayah yang terletak di Jalan Raya Mochtar RT 03/07, Kelurahan Sawangan, Depok, Jawa Barat masih berlangsung. Peristiwa penyegelan ini bahkan sudah berlangsung selama setahun lebih.

Oleh karena itu, di momen spesial Idul Fitri hari ini, wajar jika kenangan sesama jemaah Ahmadiyah datang ke benak umat yang beribadah pagi ini.

ID SALAD.  Suasana salat Idul Fitri di Masjid Al Hidayah, Kebayoran Lama.  Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

Basuki, khatib yang menyampaikan pesan Idul Fitri usai salat, juga merasakan hal serupa. Ia tampak kehilangan kata-kata saat membuka khotbah paginya. “Ini hari yang membahagiakan. “Dan hari ini kita mengenang saudara-saudara kita yang mungkin belum bisa merasakan kebahagiaan yang sama,” ucap Basuki dengan suara yang sedikit bergetar dan menahan emosi sedih.

“Hari ini adalah hari yang membahagiakan. Namun yang membedakannya adalah jika kita melengkapi kebahagiaan hari ini dengan warna-warna spiritual. “Kebahagiaan dan kegembiraan yang dilakukan dalam keadaan seperti ini akan memberikan kegembiraan dan kebahagiaan yang hakiki,” kata Basuki dalam khutbahnya.

Suasana kedamaian dan cinta kasih terasa dari khutbah di Masjid Al Hidayah pagi itu. Bagaimana jemaah Ahmadiyah diajak untuk menerapkan perdamaian, tidak hanya dengan sesama jemaah, tapi juga dengan seluruh umat. Karena sebenarnya hal inilah yang akan melengkapi kebahagiaan Idul Fitri.

“Ketika kita menyebarkan pesan cinta kasih kemana-mana, menjaga keharmonisan, menghormati hak orang lain, inilah yang akan menarik manusia pada kebahagiaan sejati. “Oleh karena itu, kebahagiaan tidak hanya terbatas pada diri kita sendiri, tetapi juga dibagikan kepada masyarakat di berbagai lapisan,” tambah Basuki.

Pesan perdamaian

Tidak hanya berhenti berdakwah saja, Kandali dan banyak jemaah Ahmadiyah sepakat dan terus menebar perdamaian antar sesama umat Islam dan juga pemeluk agama lain, bahkan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Sebuah pesan yang tidak akan pernah hilang untuk melawan banyaknya penolakan masyarakat terhadap keberadaan komunitas Ahmadiyah di tanah air.

“Di tempat lain (di luar Jakarta) mungkin masih ada konflik. Namun yang membuat kami sedih adalah mengapa hal ini masih terjadi. “Meski zamannya berbeda,” kata Kandali. Namun, di tengah banyaknya penolakan terhadap Ahmadiyah, Kandali menilai apa yang mereka alami bukanlah murni diskriminasi terhadap agama atau aliran tertentu.

KHOTBAH.  Jemaah mendengarkan khotbah yang berisi pesan perdamaian menjelang Idul Fitri.  Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

“Semua ini hanyalah masalah politik. Saya belum pernah melihat agama menjadi penyebab perang akhir-akhir ini. Itu tidak mungkin. Semuanya pasti atas nama uang, kepentingan. Kalau perang atas nama agama, mungkin jaman dulu ya. Di masa Muhammad SAW, ya, itu terjadi. Tapi tidak sekarang.”

Kandali mengatakan, agama selalu dijadikan tameng. Padahal, kalau sudah murni agama, seharusnya tidak perlu ada konflik. “Tidak ada agama yang menawarkan kebencian. Tidak ada seorang pun yang dapat secara mutlak mengatakan bahwa ‘Kamu adalah neraka, kamu adalah surga’. Siapa yang pernah ke sana? Itu semua adalah kuasa Tuhan.”

Tidak ada perbedaan

Ahmadiyah memaknai setelah Nabi Muhammad SAW wafat, muncullah nabi berikutnya sebagai pembaharu. Dialah Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Hal ini kemudian membuat sebagian kalangan Islam mengatakan bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.

Namun bagi pengikutnya, Ahmadiyah tetap menjadi bagian dari Islam. Tidak ada yang membedakannya dari segi syariah dan syahadat. Kitab sucinya pun sama, Alquran.

“Hanya ada sedikit perbedaan diantara kami, itu pada penafsirannya. Kami di Ahmadiyah sudah yakin bahwa utusan yang dijanjikan Tuhan telah datang, berupa pendiri jamaah Ahmadiyah. Ia sendiri (Mirza Gulam Ahmad) merupakan kekasih Nabi Muhammad SAW. Segala sesuatu yang diajarkan Nabi Muhammad, dia ajarkan. Dalam bahasa sekarang, dia adalah penggemar beratnya. Jadi kalau dikatakan kita telah menghina Nabi Muhammad SAW, sayang sekali, karena itu salah. “Ini sangat terhormat,” tambah Kandali.

Ia hanya berharap jemaah Ahmadiyah di Indonesia, dimanapun berada, dapat tetap tabah dan tidak henti-hentinya saling mencintai, siapapun dan apapun kondisi dan latar belakangnya. Cinta sebagai pribadi.

“Marilah kita masing-masing menemukan cara kita sendiri untuk mencari Tuhan. Saya percaya Tuhan semua orang akan menjadi satu. Tidak ada dua tuhan. Mari kita cari jalan kita sendiri. Bagi kami (Ahmadiyah) kami percaya bahwa semua orang tidak akan tertinggal, semua orang akan masuk surga dan neraka akan kosong. Itu adalah anugerah Tuhan kita.”

—Rappler.com

judi bola online