Pilkada DKI tak mengubah peta politik nasional
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Kekalahan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta diprediksi akan mengubah peta politik nasional. Kemenangan calon dari partai oposisi tersebut seolah membalikkan dominasi partai pendukung pemerintah pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 mendatang.
Namun survei terbaru Saiful Mujani Research & Consultant pada 14-20 Mei 2017 menjawab kekhawatiran tersebut. Survei dilakukan terhadap 1.350 responden dengan menggunakan metode pemilihan populasi acak. Responden terpilih diwawancarai secara tatap muka, dengan margin of error 2,5 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Dana berasal dari CSR SMRC sendiri.
“Tidak ada pengaruh signifikan Pilkada DKI Jakarta terhadap peta politik nasional,” ujarnya saat memaparkan survei opini masyarakat “Peta Politik Nasional Pasca Pilgub DKI Jakarta” di Jakarta, Kamis, 8 Juni 2017.
Hal ini terlihat dari stabilnya elektabilitas dan popularitas Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pendukungnya. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi selama hampir 3 tahun berada di angka 67 persen; sedangkan tingkat kepercayaannya sebesar 69 persen.
Begitu pula dengan kondisi perekonomian nasional, dimana 57,1 persen responden menilai kondisi akan terus membaik. Angka tersebut diukur berdasarkan kondisi dan proyeksi perekonomian rumah tangga pada tahun depan, serta inflasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, laju inflasi tahunan per Mei 2017 sebesar 4,33 persen atau masih dalam batas target pemerintah.
Kondisi politik, penegakan hukum, dan keamanan juga mendapat sentimen positif dengan rata-rata lebih dari 50 persen. “Bahkan lebih sedikit lagi yang bilang sekarang jelek dibandingkan penjualan 6 bulan,” kata Djayadi.
Tingkat kepercayaan terhadap penegakan hukum juga tinggi. TNI mendapat rating tertinggi dengan 90 persen; presiden 86 persen; Komite Pemberantasan Korupsi 86 persen; dan Polri 77 persen. DPR dan partai politik mendapat nilai terendah masing-masing dengan 63 persen dan 56 persen.
Sikap pemilu
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto digadang-gadang bisa mengalahkan Jokowi setelah unggul atas Anies-Sandi. Janjinya untuk mencalonkan diri pada Pilpres 2019 mendatang pun menjadi penyemangat masyarakat untuk mendukungnya.
Namun survei menunjukkan bahwa Jokowi masih unggul dalam survei spontan dengan elektabilitas sebesar 34 persen. Menyusul Prabowo di posisi kedua dengan 17,2 persen.
Jika keduanya kini berhadapan, Jokowi masih akan mengungguli Prabowo dengan jumlah pemilih sebesar 53,7 persen; Prabowo hanya mendapat 37,2 persen.
“Untuk menangkap hampir 17 persen dalam dua tahun itu sulit. Lawannya juga petahana, kata Djayadi. Ia menemukan kesamaan antara Jokowi dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam survei serupa pada tahun 2007.
Saat itu, SBY berhadapan dengan Megawati pada Pilpres 2009. Ia mengalahkan Ketua Umum PDIP dengan selisih hampir sama dengan Jokowi-Prabowo saat ini.
Jika Pilkada DKI Jakarta berdampak, hal itu terlihat dari elektabilitas Prabowo yang mengalahkan Jokowi.
Peta dukungan partai masih stabil dengan PDIP menduduki peringkat teratas dengan perolehan skor 21,7 persen. Disusul Gerindra dengan 9,3 persen. Keduanya disebut mengalami peningkatan selama enam bulan terakhir.
“Kalau ada pengaruhnya, seharusnya sudah terlihat sekarang setelah pilkada. “Belum di tahun 2019, masih ada unsur lain,” kata Djayadi. Ia memperkirakan pelemahan perekonomian menjadi faktor yang bisa menurunkan elektabilitas dan popularitas Jokowi.
Pertanyakan faktanya
Pemaparan ini mendapat kritik dan bantahan dari Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono. Sebenarnya sebagai contoh, mungkin secara tidak langsung, tapi hasil yang diperoleh PDIP pada Pilkada 2017, ujarnya.
Partai Banteng mengalami kekalahan di 44 dari 101 daerah yang menggelar pemilu. Termasuk di provinsi-provinsi besar seperti DKI Jakarta dan Banten.
Sementara itu, lanjut Ferry, Gerindra justru meraih hasil bagus pada pemilu di luar Jakarta. Ia meyakini kemenangan di Jakarta tidak banyak berpengaruh terhadap hasil tersebut.
Menurut dia, kepuasan masyarakat terhadap Jokowi cenderung menurun seiring dengan semakin banyaknya suara-suara yang menyerang Jokowi. Ia tidak mencantumkan data pastinya, namun mengamatinya di media sosial.
Kondisi politik tak sebaik yang digambarkan, seperti merebaknya perseteruan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pembacaan puisi Jenderal Gatot Nurmantyo yang dianggap otokritik terhadap pemerintah. “Faktor-faktor itulah yang menurut kami membuat elektabilitas dan popularitas Jokowi menurun,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Djayadi menyebut ada pihak yang menilai Pilkada DKI Jakarta terkesan meremehkan Jokowi dan lebih mengutamakan Prabowo. “Sebenarnya Prabowo yang berdiri, tapi Jokowi juga. “Jadi secara seimbang, apakah hal ini mempunyai dampak jika dilihat secara nasional?” dia berkata.
Pilkada Jakarta mungkin akan membuat pendukung mantan Danjen Kopassus semakin keras; Namun, dia juga mendukung Jokowi.
Terkait kekalahan PDIP pada Pilkada 2017, diakuinya, ada kemungkinan pengaruh politik ibu kota menyebar ke daerah lain. “Tapi kondisinya berbeda, PDIP juga berkoalisi dengan partai lain. Beda secara nasional, ujarnya.
Pada akhirnya, banyak hal bisa terjadi dalam satu hingga dua tahun ke depan. Namun, dia menegaskan perubahan tersebut bukan disebabkan oleh Pilkada DKI Jakarta seperti yang kini ramai diperbincangkan.
“Kalau nanti ada perubahan, itu karena faktor lain,” kata Djayadi.
—Rappler.com