• September 30, 2024

Populasi Dunia Semakin Menua, Apa yang Bisa Indonesia Lakukan?

Pagi ini, Kamis 10 Desember, di tengah hiruk pikuk pemberitaan pemilu daerah (Pilkada) dan kisruh PT Freeport, mata saya tertuju pada pemberitaan di surat kabar Bisnis Indonesia. Judul, Asia Timur sedang menghadapi penuaan.

Tidak main-main, yang mengingatkan kita adalah Bank Dunia. Asia Timur adalah rumah bagi sepertiga penduduk dunia yang berusia 65 tahun ke atas. Itu ada di badan berita.

Dengan kondisi tersebut, dunia akan mengalami potensi penurunan produktivitas, peningkatan biaya kesehatan, penurunan perekonomian, dan beban yang harus ditanggung oleh generasi mendatang.

Bagaimana dengan dampak negatifnya, alhasil saya pun menghabiskan waktu berharga pagi ini untuk halaman tentang warga lanjut usia (warga negara senior). Hasilnya cukup mengejutkan.

Data yang saya peroleh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2013 menyebutkan jumlah penduduk lanjut usia (di atas 60 tahun) sebanyak 841 juta orang. Pada tahun 2050, semoga saya masih hidup untuk membuktikannya, jumlah warga lanjut usia akan meningkat menjadi lebih dari dua miliar.

Secara persentase, jumlah penduduk lanjut usia mencapai 9,2% dari total penduduk dunia pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 2013 naik menjadi 11,7%, dan akan mencapai 21,1% pada tahun 2050.

Diperkirakan dua pertiga dari jumlah penduduk lanjut usia akan berada di negara-negara berkembang.

Negara-negara maju, yang menghadapi populasi lansia yang cukup besar, telah mempersiapkan diri menghadapi kondisi ini sejak lama. Meski mengalami kesulitan, peraturan untuk warga lanjut usia serta teknologi untuk menunjang kehidupan mereka telah disiapkan. Kini tampaknya negara-negara Asia Timur dan negara-negara kaya Asia lainnya juga melakukan hal yang sama.

Korea Selatan saat ini misalnya. Mereka terus meningkatkan kualitas hidup warga lanjut usia. Kondisi di Korea Selatan — dari informasi npr.org – tidak sebaik level anggota band wanita negara itu.

Hampir separuh warga lanjut usia di Korea Selatan menjalani kehidupan yang tidak mudah. Pensiun yang mereka terima hanya sepertiga dari biaya penghidupan yang layak di Korea Selatan.

Kondisi ekonomi dan budaya juga mengalami pergeseran. Jika pada tahun 80-90an anak-anak mau menghidupi orang tuanya, saat ini mereka sedang berjuang menghadapi kondisi ekonomi sehingga tidak bisa membantu orang tuanya.

Namun terlepas dari banyaknya kisah menyedihkan mengenai ‘penuaan populasi’, terdapat potensi bisnis besar yang dapat diperoleh Indonesia. Bisnisnya adalah merawat warga lanjut usia di luar negeri.

Hal ini sangat menyedihkan bagi negara yang disebut-sebut memiliki kecepatan internet nomor satu di dunia. Di Seoul, satu dari lima warga lanjut usia tinggal sendirian. Mereka hidup menyendiri di tengah hiruk pikuk kota Seoul dengan berbagai aktivitas. Duh, andai saja orang seperti itu mau membiayaiku untuk pergi ke Seoul.

Bagaimana dengan Tiongkok? Kebijakan satu anak di Negeri Tirai Bambu yang diberlakukan beberapa dekade terakhir tentu juga berdampak pada ketimpangan demografi.

Pada tahun 2040, Tiongkok diperkirakan berpotensi kehilangan 90-100 juta pekerja akibat tren populasi menua. Tahukah Anda bahwa mulai bulan Oktober tahun ini, Tiongkok telah meninggalkan kebijakan satu keluarga, satu anak? Baru tahu? Kalian memalukan, sama seperti saya. Saya pun baru mengetahuinya setelah selesai membaca laman ekonomi global Bisnis Indonesia.

Jepang tampaknya menjadi negara Asia Timur yang paling banyak dibicarakan mengenai warga lanjut usia. Sebagai salah satu negara dengan harapan hidup tertinggi (lebih dari 80 tahun), Jepang tentu menghadapi banyak tantangan.

Dalam waktu sekitar lima tahun, tantangan ini akan semakin sulit, karena setelah tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia berusia di atas 60 tahun di Jepang akan mencapai 25%, atau bahkan lebih. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan perkiraan jumlah lansia dunia pada tahun 2050.

Kuatnya budaya di Jepang membuat lebih dari 60% orang tua tinggal bersama anak sulungnya, terutama jika orang tuanya tinggal sendiri. Tiga puluh persen lainnya tinggal sendirian dengan pasangannya. Sisanya tinggal di fasilitas khusus lansia.

Apa yang harus dilakukan Indonesia?

Indonesia saat ini mempunyai bonus demografi yang luar biasa besarnya. Kelas menengah juga sangat besar populasi menua yang tidak seburuk Asia Timur atau negara maju lainnya.

Tapi lihatlah teman-teman di sekitarmu. Berapa banyak pasangan muda yang berencana memiliki lebih dari dua anak? Jangankan rencana punya dua anak, tetap ada rencana kapan menikah madjoe moedoer jantik #FansSyahriniHardLine. Ada yang masih termenung mengenai MKD dan menunggu kapan akan diusulkan.

Karena itu, jelas bahwa populasi lansia di Indonesia juga akan mengalami ketimpangan di masa depan. Secara global, diperkirakan jumlah tambahan warga lanjut usia setiap tahunnya pada tahun 2047 akan melebihi jumlah bayi yang lahir.

Dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia perlu memikirkan dampaknya. saya membaca cuit Poltak Hotraderobahwa jumlah penduduk bertani di Indonesia didominasi oleh mereka yang berusia 40 tahun ke atas.

Artinya, jumlah petani Indonesia pada tahun 2035-2040 tidak akan ada jika tidak ada upaya peningkatan teknologi, lahan, dan tenaga kerja. Faktanya, pada era 2035-2040, 70% penduduk akan berada di perkotaan dan 80% makanan akan dikonsumsi oleh penduduk perkotaan.

memang benar halaman tentang kebenaran data Bang Poltak, tapi niat itu saya batalkan karena Bang Poltak selalu benar hehehe.

Itu baru dari sisi produksi pangan. Ini belum termasuk masalah anggaran untuk kesehatan, kesejahteraan dan kebutuhan lainnya. Yang menurut saya paling rumit adalah produktivitas.

Tak ayal, banyak warga Indonesia yang dikatakan produktivitasnya rendah, eh, kalau mengejar peningkatan produktivitas, angkatan kerja didominasi populasi menua. Suram, kawan. Semoga saja hal itu tidak terjadi ya? Amin?

Tapi keseluruhan ceritanya menyedihkan populasi menua, Ada potensi bisnis besar yang bisa diperoleh melalui Indonesia. Bisnisnya adalah merawat warga lanjut usia di luar negeri. Negara-negara maju tentu menyambutnya dengan tangan terbuka.

Orang-orang kaya di seluruh dunia tentu ingin memberikan gaji besar kepada perawat yang merawat orang tuanya. Banyak cerita perawat yang mendapat penghasilan bulanan lebih dari Rp 30 juta untuk merawat warga lanjut usia.

Selain itu, dengan tren masyarakat kaya yang aneh seperti saat ini, bukan tidak mungkin Indonesia menciptakan fasilitas tempat tinggal dan perawatan bagi orang-orang kaya di seluruh dunia. Dibuat di tempat tinggi yang sejuk dan indah, mungkin bisa juga dibuat dengan pemandangan sawah atau pantai. Apakah fasilitas ini mahal? Ya, ya, untuk orang kaya keleus.

Potensi besar ini harus dimanfaatkan secara maksimal. RI harus belajar praktek terbaik dari berbagai negara maju. Bukan hanya demi generasi lanjut usia Indonesia di masa depan, namun juga untuk meraih keberkahan bisnis global.

Jika masih ingat, pada Oktober lalu Jepang siap menggelontorkan dana ratusan miliar rupiah untuk membangun fasilitas pelatihan khusus perawat bagi lansia.

Dugaan saya, Jepang sedang memasuki wilayah dengan bonus demografi tinggi untuk dilatih menjadi perawat sekaligus “mempercayakan” produk teknologinya. Dengan baikpeluang ini harus dimaksimalkan oleh Indonesia.

Saya akhiri artikel ini dengan: Kasihilah orang tuamu. Sudahkah kamu menelepon orang tuamu hari ini? —Rappler.com

BACA JUGA:

Kokok Dirgantoro adalah mantan jurnalis, mantan pegawai bank. Kini beliau menjalankan kantor konsultasi di bidang komunikasi strategis. Namun Kokok sangat tertarik mempelajari masalah ekonomi. Ikuti Twitter-nya @kokokdirgantoro.

Sidney siang ini