Pro dan kontra menggunakan aplikasi transportasi online
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – (UPDATED) Ribuan pengemudi angkutan darat yang terdiri dari pengemudi taksi, metromini, bajaj, dan angkutan umum berdemonstrasi di dekat Istana Negara pada Senin, 14 Maret. Mereka menuntut transportasi harus berbasis aplikasi on line segera ditutup.
Salah satu perwakilan Persatuan Pengemudi Angkutan Darat (PPAD), Suwardi mengatakan, ada kurang lebih 15 ribu pengunjuk rasa yang turun ke jalan.
“Kami menuntut aplikasi itu on line “Langsung ditutup karena meresahkan pengemudi angkutan umum resmi,” kata Suwardi yang merupakan sopir taksi Blue Bird.
Dari armada taksi tempatnya bekerja, setiap pengangkutan mengirimkan 40 orang untuk berdemonstrasi. Belum lagi armada taksi lainnya. Mereka awalnya berkumpul dan berorasi di depan Balaikota serta meminta bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahja Purnama. Namun perwakilan hanya bisa bertemu dengan Kepala Dinas Perhubungan.
Dari sana mereka berjalan menuju kawasan Monas dekat Istana Negara.
Suwardi menjelaskan, transportasi umum sudah berbasis aplikasi on line dioperasikan, pendapatan mereka turun drastis. Salah satu rekannya yang bekerja di armada taksi Express hanya mampu menyetor sekitar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. Padahal, sebelumnya rekannya bisa menyetor hingga Rp 300 ribu.
“Saya sendiri hanya bisa menyetor ke perusahaan. “Tidak ada komisi untuk dibawa pulang,” keluh Suwardi.
Akibat berkurangnya pendapatan setiap bulan, banyak rekannya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti membayar sewa. Bahkan, ada saja perempuan yang meminta cerai. Ia mengatakan, markas Blue Bird menyetujui niat mereka untuk berdemonstrasi.
Baginya, lebih baik dirinya dan pengemudi taksi lainnya berdemonstrasi hari ini, daripada tidak ada kejelasan persaingan tidak sehat ini di kemudian hari.
“Kami tidak khawatir kehilangan daya saing dengan transportasi berbasis on line. “Selama mereka taat aturan yang ada, bayar pajak, kalau taksi mereka pasang plat kuning, ada meteran dan meterannya, kami tidak masalah,” jelas Suwardi.
Sementara itu, setiap kali mereka mengaku kehilangan uang karena harus mengeluarkan uang untuk mengurusnya
semua persyaratan untuk menjadi angkutan umum yang sah.
Sedangkan pengemudi Grab dan Uber menggunakan mobil pribadi. Padahal kalau kita lihat pelat-pelatnya tidak hanya datang dari Jakarta, tapi juga dari Tangerang, Tegal, Semarang, dan Cirebon, ujarnya.
Suwardi mewakili rekan-rekannya mengaku kecewa dengan sikap pemerintah yang justru melanggar aturan yang mereka buat sendiri.
Demonstrasi anarkis
Saat aksi berlangsung, Rappler menemukan kendaraan Toyota Avanza berwarna hitam dirusak oleh pengunjuk rasa. Menurut petugas polisi yang ditemui Rappler, mobil yang dirusak pengunjuk rasa merupakan salah satu armada Grab yang tertangkap di depan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Mobil yang diduga milik pengemudi mobil Grab tersebut dirusak oleh pengunjuk rasa di depan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan. CC: @RapplerID pic.twitter.com/ZIBKcejkH2
— Santi Dewi (@santidewi888) 14 Maret 2016
Lantas bagaimana tanggapan perwakilan PPAD terkait sikap anarkis tersebut? Suwardi mengaku tidak bisa menghentikannya.
“Karena ada beberapa pihak yang ikut protes di sini, jadi tidak bisa dijamin 100 persen. Kalau kita jadi supir taksi pasti kita akan tertib. “Kalaupun ada suara-suara yang bertentangan dari kami, itu hanya suara,” jelas Suwardi.
Pekerjaan terbuka
Sementara itu, salah satu pengelola transportasi berbasis on line, Go-Jek, Dadang Trisnandi mengaku tak masalah jika pengemudi angkutan umum konvensional mau berdemonstrasi. Ia hanya berharap aksi unjuk rasa tersebut tidak berujung anarkis.
“Saya menduga mereka berdemonstrasi karena mengeluhkan pendapatannya yang menurun drastis pasca hadirnya Go-Jek dan Grab. “Tetapi sekarang semuanya ada di tangan pemerintah,” kata Dadang.
Sebab, lanjutnya, pemerintahlah yang membuat aturan dan undang-undang. Ia juga mengatakan kehadiran Go-Jek dan startup sejenis telah membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja.
“Saya kembalikan kepada masyarakat sebagai pengguna, mau atau tidak mau Go-Jek ditutup. Pemerintah atau pejabat yang berwenang terhadap masalah ini juga harus melakukan kajian apakah transportasi berbasis on line memberikan banyak manfaat atau bahkan kerugian,” ungkapnya.
Tidak membayar pajak?
Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang ditemui Selasa 15 Maret menanyakan kepada pemilik atau pengelola jasa transportasi berdasarkan on line untuk memenuhi kewajiban membayar pajak. Berdasarkan peraturan tersebut, setiap operator transportasi di Jakarta harus membayar pajak sekitar 25 hingga 28 persen dari total pendapatannya setiap tahun. Pengusaha transportasi berbasis on line atau lolos dari pajak.
“Mengangkut on line Pastinya lebih murah karena tidak perlu membayar pajak, membayar asuransi dan lain sebagainya. Sedangkan angkutan umum konvensional dan taksi harus memenuhi kewajiban membayar pajak tersebut, kata mantan Bupati Bangka Belitung ini.
Sementara itu, salah satu pengemudi mobil Grab bernama Bashari membantah pihaknya gagal membayar pajak.
Padahal, besaran yang dibebankan perusahaan sekitar Rp 170 ribu-Rp 180 ribu setiap minggunya. “Itu dari salah satu manajer,” kata Bashari saat ditemui Rappler, Senin, 14 Maret.
Ia juga mengatakan, persaingan menjadi pengemudi Grab Car saat ini semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
“Sekarang saya harus bekerja 15 jam sehari untuk mencapai target penghasilan Rp 3 juta per minggu. Jadi, kita berbagi kesulitannya, ujarnya.
Harus lebih kompetitif
Pengamat transportasi dari Persatuan Transportasi Indonesia (MTI), Dharmaningtyas, berpendapat senada dengan Ahok. Menurutnya, meski mengaku sebagai perusahaan teknologi, baik Grab maupun Uber memberikan layanan transportasi kepada masyarakat. Di saat taksi reguler dikenakan pajak, kir (pengujian kendaraan bermotor), dan harus memiliki traksi.
“Sedangkan transportasi seperti Grab dan Uber tidak demikian. Masalahnya ada di sana. Menguntungkan konsumen namun merugikan operator taksi secara umum. Khusus untuk taksi reguler, kata Dharmaningtyas yang dihubungi Rappler melalui telepon, Senin malam, 14 Maret.
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? Dharmaningtyas menyarankan agar Presiden Joko Widodo mengingatkan kedua perusahaan tersebut untuk tetap tunduk pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Namun, jika Presiden ingin merevisi undang-undang tersebut, harus berhati-hati. Sebab penggunaan transportasi sudah berbasis aplikasi on line itu hanya ada di kota-kota besar. “Sementara undang-undang tersebut berlaku secara nasional,” ujarnya.
Ia menyarankan agar aplikasi tersebut digunakan oleh operator taksi yang sah.
“Namun taksi konvensional juga perlu berbenah dan menurunkan tarif agar lebih kompetitif. Alasan masyarakat menggunakan taksi Uber dan Grab adalah karena tarifnya yang lebih murah. “Operator taksi reguler perlu mencari jawaban bagaimana menerapkan tarif yang kompetitif,” jelasnya. – Rappler.com
BACA JUGA: