• November 25, 2024

Profil Kusrin, seorang kuli bangunan yang kini memiliki pabrik perakitan televisi

KARANGANYAR, Indonesia – Muhammad Kusrin (42 tahun), perakit televisi tabung di Karanganyar, Jawa Tengah, menjadi perbincangan di media sosial dalam beberapa pekan terakhir. Kabar penyitaan dan pemusnahan TV tak ber-SNI buatannya oleh Kejaksaan Karanganyar memicu petisi on line Dari Ubah.org yang didukung hampir 30.000 tanda tangan untuk Kusrin.

Ia hanya lulus sekolah dasar, namun dalam waktu empat tahun ia mampu mendirikan industri TV Cathode Ray Tube (CRT) lokal kecil berbasis tabung monitor komputer bekas dan mempekerjakan sedikitnya 30 orang.

Bagaimana dia membangun bisnis elektroniknya?

Berkeliaran dan belajar secara otodidak

Kusrin lahir di Andong, Boyolali. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, dia kataku di pesantren dekat rumahnya. Dua tahun kemudian, ia mencoba merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai kuli bangunan di berbagai proyek.

Sejak kecil, kegemarannya mengutak-atik perangkat elektronik tak pernah lepas. Selama di Jakarta, ia suka mencari barang elektronik bekas di Jatinegara. Dia membeli barang rusak dengan harga murah lalu memperbaikinya sendiri.

“Awalnya tidak ada niat bisnis. saya beli komposisi band rusak Rp 80.000, setelah diperbaiki suaranya bagus. “Teman saya malah tertarik dan membelinya seharga Rp 200.000,” kenangnya.

Ia mengumpulkan gaji sebagai pekerja proyek selama lima tahun dan kembali ke kampung halamannya. Alih-alih modal untuk berbisnis, Kusrin malah membuat pemancar radio amatir, semacam “mainan” anak muda yang cukup populer namun mahal di tahun 80an hingga awal 90an.

Melalui komunikasi radio, ia menemukan komunitas hobi membongkar barang elektronik, di mana ia kemudian belajar sendiri membongkar perkakas listrik. Setelah terampil, Kusrin kemudian bekerja di tempat temannya di Solobaru, Sukoharjo, yang memproduksi TV tabung.

Semasa bekerja, Kusrin bereksperimen dengan mengubah monitor komputer menjadi TV. Dia membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk menyempurnakan eksperimennya dengan metode tersebut coba-coba.

Kusrin kemudian berhenti dan memutuskan untuk membangun bisnis sendiri meski belum tahu apa yang ingin ia lakukan. Pada saat yang sama, seorang teman lain menawarinya bisnis perakitan TV yang hampir tutup. Tanpa pikir panjang, dia masuk dan melanjutkan bisnisnya.

Kusrin sudah menguasai teknik perakitan TV tabung, namun belum menguasai urusan bisnis. Uang Rp 200 juta yang ia investasikan habis dalam waktu setahun karena mewarisi manajemen yang korup. Perusahaan bangkrut dan hanya menyisakan 127 unit alat produksi senilai Rp 17 juta. Pabrik ditutup total.

“Saya baru saja mewarisi hutang perusahaan, saya kehabisan uang untuk melunasinya. “Selain itu, banyak pegawai yang tidak jujur,” katanya.

Mulailah bisnis Anda sendiri

Ibarat orang yang kalah taruhan, Kusrin pun rugi. Namun, dia tidak menyerah.

Pada tahun 2011, ia mengajukan izin ke kabupaten dan provinsi untuk mendirikan operasional TV komposit baru. Usaha perakitan TV tabung milik Kusrin perlahan bangkit kembali di bawah bendera UD Haris Elektronik dengan menggunakan peralatan sisa.

Kusrin hanya mempekerjakan satu orang untuk membantunya merakit TV. Perusahaan ini memproduksi tiga merek TV; yaitu Maxreen, Veloz dan Zener, dengan varian 14 dan 17 inci.

Ia memasarkan TV tabung miliknya ke wilayah Solo dan sekitarnya dengan harga Rp 400.000 dan Rp 550.000. Kusrin tetap menjaga prinsip kejujuran dalam usahanya.

“Di kartonnya kami tulis sebagai TV CRT refurbished karena monitornya bekas untuk tabungnya padahal komponen elektronik lainnya masih baru,” ujarnya.

Di tangan Kusrin, monitor bekas bisa “disulap” menjadi layar TV yang bersinar seperti baru, apalagi jika dibalut dengan kain. kasus baru. Alasannya menggunakan tabung monitor bekas, selain karena harganya yang murah, kualitas dan ketahanannya lebih baik dibandingkan tabung TV bekas.

Kusrin membenarkan monitor yang digunakannya sudah di atas 85 persen. Ia berani memberikan jaminan penukaran baru selama satu tahun untuk seluruh pelanggan tokonya.

Layanan purna jual dan harga rendah meningkatkan permintaan toko dari tahun ke tahun. Terlepas dari produksinya, TV besutan Kusrin selalu terserap pasar. Jumlah pegawai pun bertambah, dari satu orang menjadi 12 orang pada tahun 2012, dan meningkat dua kali lipat lagi menjadi 30 orang pada tahun 2015.

Dalam sehari, Kusrin mampu memproduksi 150 unit TV atau 4.000 hingga 5.000 unit per bulan. Jangkauan pasar pun semakin luas – Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan sebagian kecil Jawa Barat.

“Kami menjual TV setiap hari karena stok di gudang tidak cukup,” kata Kusrin.

Usahanya berkembang pesat hingga mampu membeli tanah untuk pabrik di Jatikuwung, Gondangrejo, Karanganyar, dan dua mobil van sebagai armada usahanya. Demi tuntutan bisnisnya, Kusrin mati-matian mempelajari komputer dan internet, sesuatu yang asing baginya.

“Saya membeli laptop dan belajar sendiri selama dua hari dua malam. Sekalipun saya tidak bersekolah, saya harus bisa mengetik, membuat laporan keuangan, mengirim barang surel, dan sebagainya,” katanya.

Perbudakan legal

Kusrin mengajukan kredit suntikan modal ke bank sebesar Rp500 juta untuk mengejar volume produksi. Namun saat usahanya sedang booming, pada Mei 2015, pabrik perakitan TV milik Kusrin digerebek Polda Jateng karena mendapat laporan produk elektronik tersebut tidak memiliki SNI.

Sebanyak 255 unit TV di gudang tersebut diangkut polisi beserta seribu tabung dan alat produksi sebagai barang bukti. Bisnis Kusrin mati seketika, namun tidak mati.

“Rasanya empat tahun bisnis saya berakhir dalam satu hari. TV yang saya buat bukan hasil curian, bukan hasil tindak pidana, saya beli dengan uang sendiri, saya izin, tapi… memasak lanjutannya,” ujarnya.

“Saya berada di penjara bukan “Tidak apa-apa, tapi tolong nafkahi istri dan anak-anak saya serta 30 karyawan saya yang menganggur,” demikian permintaannya kepada polisi yang menginterogasinya.

Kusrin tidak mengetahui bahwa Standar Nasional Indonesia (SNI) menjadi syarat wajib pada produk TV tabungnya. Seorang polisi yang bersimpati kemudian membantunya mencari cara untuk mengajukan SNI melalui Lembaga Sertifikasi Produk Surabaya (LSPro) dan Balai Besar Teknik Barang dan Bahan (B4T) Bandung, namun semua prosedur harus dilalui sendiri oleh Kusrin.

Ia pun berjanji akan mematuhi persyaratan SNI. Namun kasus tersebut sudah dilimpahkan ke kejaksaan dan pemusnahan barang bukti pun tak terhindarkan. Beruntung, putusan pengadilan mengembalikan 75 persen barang sitaan, dan hanya memusnahkan 25 persen, serta memvonisnya enam bulan penjara dengan masa percobaan.

“Dalam foto yang beredar, hanya 6 atau 7 TV yang dibakar secara simbolis. “Sebagian besar dihancurkan dengan pukulan,” katanya.

Pengajuan sertifikasi Organisasi Standar Internasional (ISO) dan SNI memakan waktu lama serta memakan biaya dan tenaga. Sejak mengajukan permohonan pada Mei 2015, Kusrin baru bisa memperoleh SNI pada 15 Januari 2016.

Meski pengurusan kedua sertifikasi tersebut tidak terlalu mahal, namun Kusrin justru mengeluarkan dana hampir Rp 200 juta, karena beberapa kali harus mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasi petugas penguji produk dari luar kota.

Perusahaan kehabisan uang tunai untuk mengurus sertifikat dan membayar gaji karyawan setiap bulan. Meski sudah sembilan bulan tidak berproduksi dan hanya mendapat servis TV rusak, Kusrin tak tega memecat karyawannya.

Jaga diri mereka sendiri

Merek TV besutan Kusrin yang mendapat SNI.  Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Jebakan hukum terhadap Kusrin ini menuai simpati warganet dua pekan lalu. Banyak pihak yang mencemooh penegakan hukum yang terlalu sadis hingga mematikan kreativitas anak bangsa. Setelah petisi muncul on lineBanyak pejabat yang menyatakan simpatinya dan berjanji akan membantu Kusrin.

Namun Kusrin sudah bekerja sendiri, mengurus semua izin sendiri, dengan uang dan tenaga sendiri, serta menghadapi permasalahan hukum sendiri. Ia tak terlalu ambil pusing dengan banyaknya janji, karena yang penting kasusnya selesai dan SNI segera terbit, sehingga bisa berproduksi kembali.

Kasus yang meledak di media sosial ini mendapat perhatian Menteri Perindustrian Saleh Husin. Ia sendiri menyerahkan sertifikat SNI kepada Kusrin di Jakarta pada 19 Januari lalu.

“Sekarang saya mulai mencoba bangkit lagi. Produksinya tidak banyak, hanya 40-50 unit per hari, kata Kusrin.

Kusrin berupaya menciptakan pabrik TV dengan komponen-komponen yang dirakit dan dirakit kasus sendiri, sehingga dapat menurunkan harga jual, dan bersaing dengan produk impor dari China. Jika terealisasi, perusahaan tersebut akan menyerap 500-1.000 tenaga kerja. —Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sidney