Program Jokowi di kawasan Danau Toba akan menanam bom waktu
keren989
- 0
Pemerintah harus menjamin kepastian hukum atas status lahan seluas 500 hektare yang akan dikelola Badan Otorita Danau Toba.
JAKARTA, Indonesia – Rencana pemerintah untuk mengembangkan kawasan Danau Toba di Sumatera Utara sebagai “Monako Asia” dipertanyakan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Masyarakat Adat, Abdon Nababan.
“Yang pasti kalau pariwisata berbasis korporasi, maka dikhawatirkan masyarakat adat akan terpinggirkan, baik dari tanah adatnya maupun dari pekerjaannya sebagai petani,” kata Abdon kepada Rappler, Senin malam, 29 Agustus.
“Sampai saat ini, petani di daerah itu jumlahnya banyak. “Mereka bisa menyekolahkan anaknya di Pulau Jawa,” ujarnya.
Sehubungan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-71, Presiden Joko “Jokowi” Widodo hadir pekan lalu. Karnaval Kemerdekaan dan Pesona Danau Toba (KKPD).
Presiden Jokowi meminta agar Pulau Samosir dikembangkan menjadi kawasan wisata. Ia juga meminta agar acara KKPDT diadakan setiap tahunnya menarik wisatawan ke Danau Toba.
“Acara KKPDT yang berlangsung di kawasan Danau Toba ini merupakan gong awal pengembangan pariwisata yang semakin optimal ke depan di kawasan ini,” kata Menteri Pariwisata Arief Yahya pekan lalu saat temu media di lokasi tersebut.
Arief mengatakan Kemenpar menargetkan mendatangkan 1 juta wisatawan ke Danau Toba pada tahun 2019, dan KKPDT merupakan langkah awal untuk mencapai hal tersebut.
Jokowi juga mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) no. 49 Tahun 2016 tentang Badan Otoritas Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba awal Juni lalu. Badan ini mempunyai tugas mempercepat proses pengembangan Danau Toba yang masuk dalam 10 destinasi prioritas nasional.
pemerintahan jokowi target kunjungan 20 juta wisatawan dalam 2 tahun ke depan.
Selama kunjungan ke kawasan Danau Toba, Jokowi juga melakukan pertemuan dengan Gubernur Sumut dan 7 bupatiSaya di kawasan Danau Toba mendiskusikan potensi pengembangan daerah tersebut.
“Jika pengembangan kawasan wisata dilakukan secara korporasi, lahan akan hilang, maka keterlibatan masyarakat adat dalam berusaha akan berkurang,” kata Abdon yang baru saja berkunjung ke kawasan Danau Toba.
Ia mengingatkan pemerintah untuk mengutamakan kepastian hukum dibandingkan wilayah dan negara adat.
“Tanpa kepastian hukum, pariwisata akan menjadi skema eksploitasi kekayaan secara besar-besaran di Tano Batak. “Kolonisasi akan semakin intensif,” kata Abdon.
Menurutnya, kekayaan adat itu berpotensi untuk dieksploitasi secara materiil atau nyataseperti kearifan lokal, seni budaya dan kekompakan komunal suku dan pondok/horja/bius.
“Berkumpulnya elite, penguasa, dan pengusaha Batak perantauan berpotensi ‘makelar“investasi asing di sana,” kata Abdon.
Saat mengunjungi sejumlah desa di kawasan Danau Toba pekan lalu, Abdon menemukan sebagian besar masyarakat setempat “kosong”, atau tidak memiliki cukup informasi tentang apa yang akan dilakukan pemerintah di wilayah tempat mereka tinggal selama beberapa dekade.
Wacana dan proses politik mengenai Badan Otorita Danau Toba (BODT) hanya ada di Jakarta dan sedikit di Medan, kata Abdon.
Status Tanah Otorita Danau Toba seluas 500 hektare belum jelas
Hal lain yang perlu dijelaskan pemerintah, menurut Abdon, adalah kawasan hutan di kawasan Danau Toba.
Menurutnya, sebagian besar wilayah/lahan adat yang ditetapkan belum ditetapkan atau dikukuhkan sebagai kawasan hutan.
“Termasuk 500 hektare yang akan dikelola Otoritas Danau Toba, status lahannya belum jelas. Apakah merupakan kawasan hutan yang sah atau Kawasan Penggantian Lahan, atau bukan keduanya. “Wilayah Sibisa yang menjadi sasaran BODT sangat rawan konflik,” kata Abdon.
Dia menyebutkan, banyak lahan di sana yang sudah dikuasai pengusaha yang bermasalah dengan hukum.
Abdon mengingatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan tugas beratnya untuk segera melakukan pemetaan terkait wilayah adat dan kawasan hutan.
“Jika hal ini tidak dilakukan, serta adanya kepastian hukum atas tanah, maka program Jokowi di kawasan Danau Toba akan menjadi bom waktu,” kata Abdon. –Rappler.com