Rasanya seperti mayoritas pada kerusuhan Mei ’98
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Negara-negara yang mengabaikan sejarah akan melahirkan generasi yang mengabaikan sejarah. Karena itulah kami di Rappler mengadakan acara pembacaan puisi untuk memperingati tragedi Mei 1998.
Menulis dan membacakan puisi berarti melestarikan kenangan akan kekejaman yang dilakukan anak-anak rekan kita puluhan tahun lalu. Bukan hanya menolak untuk melupakan, tapi juga memberi pelajaran karena banyak adik-adik dan anak-anak kita yang tidak pernah melewati masa Orde Baru (Orba).
Mereka tidak merasakan bagaimana rasanya hidup di bawah rezim diktator. Mereka tidak mengetahui kegelapan yang menimpa saudaranya. Mereka tidak mengetahui penganiayaan dan pemerkosaan yang menimpa para korban yang hingga saat ini masih harus menanggung trauma.
Bulan ini, 19 tahun yang lalu, saya berumur 10 tahun dan duduk di bangku kelas 4 SD—belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Salah satu kata yang sering diucapkan oleh orang dewasa di sekitar saya saat itu adalah “kerusuhan”.
Saya tidak tahu siapa pelaku kerusuhan dan kenapa mereka melakukannya. Kerusuhan yang awalnya menyasar etnis Tionghoa menyebar ke siapa saja. Para pelaku, yang diliputi amarah dan dendam, menebas segala sesuatu yang ada di hadapan mereka.
Yang saya pahami saat itu adalah ada tembok pemisah antara masyarakat pribumi dan non-pribumi. Banyak dinding rumah di Jakarta yang terpampang tulisan “Pribumi”, yang menandakan bahwa pemilik rumah tersebut adalah “pribumi asli Indonesia” – sebuah kata yang belakangan saya pelajari. yang berarti asal usulnya bermasalah.
Seharusnya saat itu saya merasa aman sebagai keturunan pribumi karena saya adalah seorang muslim, orang tua saya beragama Islam, kakek saya adalah seorang muslim yang taat dan sangat dihormati di daerahnya. Tapi sebagai keturunan palembang, saya berkulit putih dan bermata sipit.
Bahkan semasa sekolah, saya sering diolok-olok, “Tionghoa”. Tidak jarang orang dipanggil dengan sebutan “Encek” atau “Acong”. Apalagi saya tinggal di Sunter, Jakarta Utara, daerah yang sebagian besar dihuni oleh warga Tionghoa.
Sebelum Mei 1998, kompleks perumahan kami dianggap aman. Sesama pribumi dan keturunan, kami hidup berdampingan. Namun setelah kerusuhan menjadi pemberitaan harian di media massa, warga – umumnya pemuda – mulai membangun benteng untuk melawan tetangganya.
Udara di dalam kompleks perumahan yang biasanya sejuk dan sepi, menjadi panas dan dipenuhi rasa takut. Bahkan tetangga kami tidak saling percaya.
Pagar besi yang tinggi telah didirikan untuk mencegah orang luar memasuki kompleks. Hansip memeriksa KTP setiap orang yang keluar masuk kompleks, mencurigai nomor tak dikenal. Gerbangnya dikunci rapat ketika hari sudah gelap dan dibuka kembali keesokan paginya.
Paman dan bibi saya selalu menelepon ibu saya dan menanyakan kabar apakah kami harus mengungsi ke rumah mereka atau ke tempat yang lebih aman dari kakek dan nenek saya yang bertetangga dengan “pribumi” lainnya. Tapi kami bersikeras untuk tetap tinggal di rumah kami.
Secara kebetulan, beberapa bulan sebelum Mei 1998, orang tua saya sedang membangun rumah baru hanya lima menit dari rumah yang kami tempati saat itu. Para pembangun yang mengerjakan proyek tersebut melarikan diri ke suatu tempat. Mandor mengira anak buahnya ikut serta dalam penjarahan “toko-toko Cina”.
Pada pertengahan bulan Mei, ketika ketegangan mulai meningkat, Pak Foreman berkata kepada ibu saya, “Maaf, Bu. “Jika kondisi seperti ini terus berlanjut atau memburuk, kami tidak akan bisa melanjutkannya.” Tentu saja apa lagi yang bisa dilakukan.
Pemilik toko bahan bangunan di Sunter adalah orang Tionghoa. Toko-toko tutup, kalau tidak dijarah. Pemiliknya belum terdengar kabarnya. Tampaknya mereka melarikan diri ke luar negeri.
Puncaknya, suatu sore, saya melihat api dari loteng rumah saya. Para penjarah mulai mendekat. Mereka bisa merobohkan gerbang besi yang melindungi kompleks perumahan kita kapan saja. Saya gemetar.
Naluri bertahan hidup saya mengatakan, jika rumah dikepung massa, saya harus bisa membuktikan kepada mereka bahwa saya Muslim, sama seperti mereka. Mudah-mudahan mereka tidak melemparkan batu ke jendela rumah kita dan tidak membakarnya.
Setiap malam saya mengambil Al Quran dan berlatih membaca Ayat Kursi. Jika suatu hari nanti aku harus menghadapi mereka, inilah senjataku. Saya bilang ke mereka, “Hei, saya bisa baca Ayat Kursi lho! Aku sama sepertimu!”
Namun massa yang disulut amarah pasti akan membutakan hati mereka. Mungkin saja mereka tidak peduli dan tetap memukuli saya. Aku semakin diselimuti ketakutan.
“Aku belum siap mati,” pikirku saat itu. Jadi saya mengobrak-abrik lemari dan menemukan seragam sekolah dengan tulisan “SD Islam Meranti” di bagian dada.
“Ini buktinya, saya seorang siswa SD Islam.” Pikiran yang masih polos dan mencari keselamatan.
Untungnya, apa yang saya khawatirkan tidak terjadi. Rumah kami tetap aman, meski hanya beberapa meter di luar kompleks perumahan banyak jendela toko yang pecah. Ada pula bangunan yang ludes terbakar.
Bertahun-tahun kemudian, setiap kali tragedi bulan Mei diperingati, saya selalu teringat saat-saat itu. Kalau saya yang mayoritas bisa merasakan kengerian seperti itu, bagaimana dengan mereka yang minoritas, seperti perempuan dan keturunan Tionghoa?
Dari berbagai sumber bacaan, kesaksian para penyintas, siaran televisi dan dokumenter, saya mencoba membayangkan diri saya sebagai mereka, dan menempatkan diri saya pada posisi mereka. Namun dalam waktu kurang dari satu menit, saya tak sanggup menyelami bagaimana rasanya menjadi korban dan penyintas kerusuhan Mei 1998.
Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya, apalagi mengalaminya dan harus hidup dengan kenangan kelam itu. Baca dan teruslah menulis agar kekejaman Orde Baru tidak terulang kembali dan kita tidak lagi harus mengalami kesuraman seperti dulu. —Rappler.com
Abdul Qowi Bastian adalah Kepala Keterlibatan Komunitas di Rappler Indonesia. Dia bisa dihubungi di Twitter @aqbastian
BACA JUGA: