Realitas kebebasan pers di Papua masih terbatas
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Isu korupsi dan lingkungan hidup sulit untuk diangkat di luar Papua, karena jurnalis sering kali diintimidasi.
JAKARTA, Indonesia – Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengatakan pada 9 Mei 2015 bahwa pemerintah Indonesia akan membuka akses seluas-luasnya bagi media untuk meliput Papua. Apakah pesan Jokowi kini sudah terlaksana setelah hampir dua tahun?
Apakah pers di Papua benar-benar bebas? Namun kenyataannya, media belum sepenuhnya leluasa meliput Papua. Menurut Victor Mambor, setidaknya ada tiga hal yang menegaskan kebebasan pers di Papua terus dibatasi. Hal tersebut dijelaskan Victor Mambor di sela-sela acara Pers bebas di Papua Barat pada hari Minggu, 30 April.
Kesulitan pertama Sulitnya mendapatkan visa kerja bagi jurnalis asing. Kesulitan ini akhirnya memaksa jurnalis asing datang ke Papua dengan visa turis.
Jika beruntung, mereka bisa berlindung. Jika mereka tidak puas, akibatnya mereka harus dideportasi dari Indonesia.
Meski sudah mendapatkan visa kerja dan mendapat segala izin untuk melapor, para jurnalis asing tersebut tetap akan didampingi pihak berwenang dalam proses pemberitaan, sehingga tidak memiliki kebebasan untuk melapor.
Yang Kedua adalah masalah diskriminasi. Victor mengatakan, diskriminasi ini terjadi terhadap jurnalis asli Papua.
“Masih ada diskriminasi terhadap masyarakat asli Papua. Namun tidak banyak orang yang melihat hal ini sebagai diskriminasi terhadap jurnalis asli Papua. Apapun yang dilakukan masyarakat Papua, termasuk jurnalis Papua, selalu dianggap konten separatis, buktinya Suarapapua.com diblokir karena kontennya dianggap mengandung unsur separatis, kata Victor.
Gagasan separatisme ini menghadirkan diskriminasi berupa perlakuan tidak adil terhadap jurnalis asli Papua. Misalnya saja jika ada kasus penembakan, maka jurnalis Papua akan sangat sulit mendapatkan informasi dari pihak berwenang terkait kasus tersebut.
Lain halnya jika jurnalis dari luar Papua meliput kejadian tersebut. Mereka akan dilayani, diberikan jawaban bahkan dijelaskan kronologisnya.
Yang ketiga adalah pembatasan penulisan berita tertentu, misalnya korupsi.
“Dalam kasus korupsi, biasanya dalam persidangan pejabat yang tertangkap korupsi, baik jurnalis Papua maupun non-Papua diintimidasi dengan dilarang memberitakan,” ujarnya.
Hal ini tidak hanya terjadi pada isu korupsi, namun juga pada isu lingkungan hidup. Perusahaan lingkungan hidup memberikan bantuan kepada media, sehingga banyak media yang tidak bisa menugaskan jurnalisnya untuk meliput isu kerusakan lingkungan karena mendapat pendanaan dari perusahaan tersebut. Sehingga pemberitaan mengenai isu lingkungan ini tidak pernah muncul.
Victor mengatakan, dalam skala 1-10, menurutnya angka kebebasan pers di Papua masih di bawah angka 5. (BA: Tingkat kebebasan pers di Papua masih rendah)
“Masih di bawah 5 karena angka kekerasan terus meningkat, jumlahnya selalu di atas sepuluh, intimidasi dan kekerasan masih di atas 10. Kemudian jurnalis asing masih belum leluasa masuk ke Papua. Selain suap, pemberitaan yang memang perlu diketahui banyak orang tidak bisa muncul, ujarnya.
Menurut Victor, jumlah media cetak di Papua saat ini berkisar tujuh, sedangkan media online sudah mulai menjamur, misalnya Suara Papua, Lintas Papua, Kabar Papua, Warta plus, dan Papua Bangkit.
Veronica Koman dari LSM Papua Itu Kita menambahkan, saat ini masih ada tekanan terhadap pers di Papua. Ia menambahkan, sepanjang tahun 2016 terdapat 4.996 kasus penangkapan di Papua.
“Jadi, pelanggaran HAM di Papua sangat serius, jadi kalau jurnalis punya akses mudah, mereka akan terekspos. (Pada tahun 2016 saja ada 4.996 penangkapan, itu ilegal karena aksi protes, sedangkan di Jakarta kita tidak mendengarnya karena ditekan oleh pers. Kalau persnya lancar pasti terekspos. “Pelanggaran HAM yang terus terjadi ini antara lain disebabkan oleh tidak adanya pers, karena tidak melakukan penetrasi,” ujarnya. – Rappler.com