• November 28, 2024

Refleksi pada buku, membaca dan sihir

Belakangan ini, pria berusia 40 tahun itu kerap mengasingkan diri ke gua untuk mencari kelegaan spiritual. Dalam benaknya banyak sekali pertanyaan tentang dunia dan kehidupan. Hingga suatu malam tiba-tiba muncul bidadari dan menghampiri pria yang terkejut itu.

Malaikat itu memeluknya dan berkata: “Iqra! (membacanya)”. Namun laki-laki itu tidak bisa membaca. Dia mengulangi panggilan itu tiga kali, dan laki-laki itu akhirnya menuruti kata-kata malaikat itu.

Pria itu, Muhammad, sangat takut dengan pengalaman spiritual ini. Tak lama kemudian, ia langsung berlari pulang ke rumahnya di Mekkah dan meminta istrinya untuk melindunginya yang masih menggigil.

Demikian sekilas kisah pertemuan pertama Muhammad dengan malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu Allah yang pertama. Muhammad kemudian menyebarkan agama Allah, Islam, ke seluruh Arab. Dan melalui para pengikutnya, dari Arab hingga seluruh dunia. Kini Islam telah dianut dan menjadi pedoman hidup bagi 1,6 miliar orang di dunia. Semuanya dimulai dengan panggilan untuk membaca.

Mungkin dari sekian banyak kemampuan buatan, membaca merupakan kegiatan yang mempunyai pengaruh paling besar dalam memajukan kehidupan manusia. Otak mendorong pembelajaran, dan memahami berbagai hal melalui bahasa tertulis adalah bentuk paling alami dari proses pembelajaran. Dan tentu saja, hadiah terbesar bagi pembaca adalah kesempatan untuk mengenal salah satu penemuan paling kuat dalam sejarah: buku.

Buku adalah alat yang paling relevan untuk mencatat dan mengkomunikasikan informasi. Berawal dari ambisi manusia untuk melestarikan ilmu pengetahuan dan mewariskannya kepada generasi mendatang, lahirlah konsep dokumen. Saat ini, buku merupakan bentuk dokumen yang paling populer di kalangan umat manusia.

Lihatlah sejarahnya. Kemunculan peradaban-peradaban besar di masa lalu ditandai dengan seberapa besar mereka mampu mengimpor, memproduksi, dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui buku, serta bagaimana mereka menjaga perpustakaan sebagai pusat intelektualisme. Monumen-monumen mereka telah hancur, bumi telah runtuh, peradaban-peradaban telah menua dan mati, namun keutamaan mereka masih dapat dinikmati melalui buku-buku yang mereka tinggalkan.

Baca buku di Indonesia

Membaca buku sebagai salah satu kegiatan intelektual tetap harus dilestarikan untuk menghasilkan manusia yang semakin bijak dan berpengetahuan. Bahkan, belum lama ini Indonesia mengalami euforia merayakan tiga hari penting, Hari Kartini 21 April, Hari Bumi 22 April, dan Hari Buku Sedunia 23 April. Ketiganya erat kaitannya dengan buku.

Nama Kartini tersebar setelah surat-suratnya dicatat oleh pejabat kolonial Belanda yang simpatik, JH Abendanon. Di Bumi, pepohonan tumbuh dan berkembang, dan dengan bantuan teknologi pembuatan kertas, pohon mati “bereinkarnasi” menjadi buku.

Dan tentunya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai agen perdamaian dunia modern merasa penting untuk merayakan kegiatan membaca, penerbitan dan literasi masyarakat dunia, oleh karena itu Hari Buku Sedunia dimulai pada tahun 1995, yang tanggalnya adalah bertepatan dengan meninggalnya penulis terkenal asal Inggris, William Shakespeare. .

Lantas di manakah peringkat Indonesia dalam peringkat literasi dunia?

Berdasarkan data World’s Most Literate Nations yang dihimpun Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara yang dijadikan sampel, hanya satu tingkat lebih tinggi dibandingkan Botswana di Afrika. Jauh dari negara yang sering dikritik masyarakat Indonesia, Israel (peringkat 19), apalagi Finlandia (peringkat 1) yang menunjukkan kemajuan luar biasa dalam sistem pendidikannya dalam satu dekade terakhir.

Menariknya, generasi muda Indonesia cukup melek teknologi, khususnya media sosial. Maraknya teknologi membuat membaca menjadi lebih mudah, meski sayangnya belum ada peningkatan kualitas membaca yang signifikan.

Di Indonesia, terkadang permasalahannya bukan hanya pembaca saja, tapi juga penerbit yang tidak bisa memenuhi kebutuhan membaca masyarakat.

Peter Carey, sejarawan Inggris yang telah mengabdikan 30 tahun meneliti sejarah Pangeran Diponegoro, bahkan harus menyerahkan naskahnya. Kronik Diponegoro yang dia edit untuk penerbit Malaysia karena tidak ada minat dari penerbit lokal. Kronik Diponegoro diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2013.

Harus diakui, Indonesia masih kekurangan budaya buku yang unggul, ironisnya mengingat bahan baku kertas yaitu pohon tersedia dalam jumlah besar di wilayah tropisnya.

Akarnya cukup dalam. Feodalisme di nusantara yang kemudian menyulut kolonialisme berhasil mengendalikan nalar masyarakat, setidaknya hingga politik etis dilancarkan pada awal abad ke-20. Saat itu, buku-buku yang berdatangan dari Barat dan ide-ide yang ada di dalamnya berhasil diolah menjadi senjata intelektual oleh kaum intelektual anggota pendiri Indonesia untuk mengklaim kemerdekaan.

Membaca buku dan menyerap pengetahuan secara kritis harus digalakkan. Literasi saja tidak cukup, kini saatnya ditindaklanjuti dengan literasi intelektual.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Tak lama kemudian, buta huruf dengan cepat diberantas oleh pemerintah. Namun tampaknya pemerintah juga mudah paranoid sehingga sensor buku gencar dilakukan, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Sensor Orde Baru terhadap buku-buku Marxis dan komunis, serta semua buku tentang peristiwa 1965 yang tidak sejalan dengan versi pemerintah, juga dilarang. Dampaknya cukup fatal bagi masyarakat yang hidup pada masa Orde Baru.

Teror intelektual Orde Baru sangat berhasil dan dirasakan hingga saat ini, dibuktikan dengan sulitnya mengangkat wacana peristiwa 1965 dengan perspektif baru tanpa tekanan politik dan sosial, baik dari pemerintah saat ini maupun yang sudah dicuci otak. masyarakat.

Buku dan keajaiban

Perjuangan generasi sekarang, mereka yang bisa membaca buku lebih leluasa dibandingkan orang tuanya, memang berat, namun di pundak merekalah masa depan kebebasan intelektual negeri ini bertumpu.

Membaca buku dan menyerap pengetahuan secara kritis harus digalakkan. Literasi saja tidak cukup, kini saatnya ditindaklanjuti dengan literasi intelektual.

Karena buku pada dasarnya berbeda dari manusia, buku adalah objek yang netral dan polos. Misalnya, meski seluruh dunia mengecam Hitlerperjuanganku Karyanya yang hak ciptanya telah habis tahun ini, masih boleh dipublikasikan secara bebas di Jerman dan masih menjadi bahan penelitian para sejarawan dunia hingga saat ini.

Sebuah buku tidak boleh disensor, apalagi dibibliocide (pembakaran pijat), yang sayangnya sering terjadi dalam sejarah.

Kisah-kisah bibliosida yang memilukan sepanjang sejarah manusia dikumpulkan oleh penulis Venezuela Fernando Baez dalam karyanya Sejarah universal penghancuran buku, yang versi terjemahannya diterbitkan di Indonesia pada tahun 2013; wajib dibaca bagi pecinta buku di seluruh dunia.

Membaca buku berarti menyelami pikiran orang lain, bahkan mereka yang telah meninggal ribuan tahun lalu. Ibarat sihir, buku mampu mempersatukan dua insan yang belum pernah saling mengenal, yang dipisahkan oleh ruang dan waktu. Buku adalah bukti bahwa manusia bisa menciptakan keajaiban. —Rappler.com

Rahadian Rundjan adalah sejarawan lepas yang saat ini bekerja di bidang sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini berdomisili di Bogor dan dapat beralamat di @rahadianrundjan.

BACA JUGA:

Togel Hongkong Hari Ini