Relevansi Al-Maidah dan pentingnya kata ‘kegunaan’
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Guru Besar Linguistik FIB UI Rahayu Surtiati mengatakan pidato Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama September lalu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, tidak mengandung unsur penodaan agama. Komentar Ahok kemudian menudingnya sebagai pemfitnah agama, ulama, dan Alquran.
“Intinya (pidatonya) untuk transfer program perikanan,” ujarnya saat hadir sebagai saksi ahli di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017. Padahal, lanjutnya, tidak ada kampanye. elemen dalam pidato berdurasi lebih dari 1 jam itu.
Kesimpulan itu ia peroleh setelah meninjau video dan transkripnya saat diperiksa Bareskrim Mabes Polri. Di sana ia tak hanya membaca dan mendengar ucapan Ahok, ia juga menganalisa intonasi dan nada bicara Ahok saat itu.
Rahayu melihat, dari 13 detik yang dipertanyakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gerakan Nasional Fatwa MUI (GNPF MUI), Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Muhammadiyah, inti ucapan Ahok terletak pada kalimat ‘ jadi jangan percaya pada laki-laki.’ Sedangkan kalimat-kalimat berikutnya seperti ‘bisa jadi dalam hatimu tidak memilihku’, ‘kita dibohongi bahwa kita menggunakan surat Al Maidah 51, macam-macam’, dan seterusnya hanya merupakan klausa penjelas.
Kalimat pokok tersebut juga menjelaskan permasalahan pada surat Al-Maidah 51 yang menurut Rahayu merupakan uraian instrumen. Sedangkan perihal pelaku yang disebut ‘orang’, menurutnya, sebenarnya berarti rumor atau gosip.
“Jadi jangan percaya rumor atau gosip,” ujarnya. Ia juga menjelaskan, Ahok tidak bermaksud mengatakan Alquran bohong.
Sebagai kitab suci umat beragama, tidak mungkin Al-Qur’an memuat kebohongan. Namun tidak menutup kemungkinan juga ada pihak yang ingin menyalahgunakan ayat tersebut untuk tujuan tertentu. Mungkin melalui rumor yang seolah-olah menafsirkan atau menafsirkan, namun tidak diketahui sumbernya.
Rahayu juga mengatakan, cerita tersebut dimanipulasi dengan menggunakan kitab suci. “Itu sering terjadi, di agama apa pun,” ujarnya. Menurut Rahayu, hal tersebut bisa dilakukan oleh siapa saja, dan tidak ditujukan khusus kepada ulama.
Salah satu kuasa hukum Ahok lantas menanyakan apakah intonasi Ahok menunjukkan unsur penghinaan atau pelecehan terhadap umat Islam. Rahayu dengan cepat membantahnya. “Saya lihat dia berbicara serius sambil berdiri, tapi dia banyak melontarkan lelucon sehingga orang-orang tertawa dan bertepuk tangan. Jadi saya bilang nadanya antusias,” ujarnya.
Ia pun menilai pernyataan Ahok merupakan prasangka yang tidak berdasar. Rahayu mengatakan, konteks besar komentar tersebut tertuang dalam buku ‘Merubah Indonesia’ yang ditulis Gubernur nonaktif DKI Jakarta pada 2008. Di sana, Ahok menyebut adanya elite politik yang sengaja menggunakan surat tersebut untuk melibatkan dirinya dalam menghentikan aksi tersebut. 2007 Bangka. Pilkada Belitung.
“Boleh disebut asumsi, tapi penilaiannya berdasarkan fakta,” ujarnya. Hal ini membuktikan seluruh komentar Ahok berdasarkan fakta, bukan bermaksud mencoreng nama baik.
Dalam kesempatan itu, ia juga membantah keterangan saksi linguistik yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya yang menyebut keberadaan kata ‘penggunaan’ tidak relevan. Kata-kata tersebut dapat mempengaruhi rujukan subjek dan objek dalam pidato Ahok.
Dengan adanya kata ‘pakai’ maka ‘ayah dan ibu’ menjadi subyek yang terkena tindakan tersebut. Sedangkan Al-Maidah merupakan alat deskripsi. Namun tanpa kata-kata tersebut, Al-Maidah berubah posisi menjadi pelaku. “Kalau tidak (ada kata yang dipakai) berarti Al-Maidah berbohong, tidak mungkin,” ujarnya.
Kontroversi pakar MUI
Usai Rahayu, giliran Rais Syuriah yang memberikan keterangan sebagai pakar agama kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin. Umumnya ia menyampaikan tafsiran kata-katanya auliya dan konteks besar keluarnya ayat Al-Maidah 51.
Dalam keterangannya, ia mengkritik MUI yang mengeluarkan pendirian agama dan menyebut Ahok telah menghina agama dan ulama. Agensi tidak melakukannya tabayyun atau verifikasi. “Ada poin tertentu yang saya sepakati, yaitu kerukunan antar umat beragama harus dijaga. Namun hal-hal yang tidak merugikan orang lain tabayyun adalah bahwa saya tidak setuju, “katanya.
Ia juga mengkritisi pendapat ahli agama yang sebelumnya diutarakan jaksa, yang berpendapat ‘tidak boleh orang kafir menjadi sahabat yang setia, apalagi menjadi pemimpin.’ Menurut Ahmad, pendapat tersebut sangat tidak tepat, apalagi jika diterapkan pada situasi saat ini.
Saat ayat tersebut diturunkan, katanya, sedang terjadi perang yang mengancam nyawa Nabi dan umat Islam lainnya. Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika menunjuk orang-orang Yahudi atau Kristen, yang sebagian besar membenci umat Islam, sebagai pemimpin.
Namun, saat ini, ketika suasana damai dan harmonis antara semua pihak, hal tersebut sudah tidak relevan lagi. Lebih lanjut, dia mengatakan ada pihak yang memanfaatkan ayat tersebut untuk kepentingan politik.
Menurut Ahmad, bukan berarti ayat-ayat Al-Qur’an tidak bisa diucapkan dalam konteks politik. “(Al-Quran) untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi dalam politik,” ujarnya.
Ia pun menegaskan, Ahok sama sekali tidak menghina atau memfitnah agama melalui pidatonya tersebut. Namun pernyataannya bukannya tanpa keberatan dari jaksa.
Ketua Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono mengatakan ada inkonsistensi tim penasihat hukum dalam pemaparan Ahmad. “Beberapa keterangan ahli dari kami selalu ditolak atas dasar MUI. Ini adalah sikap yang tidak konsisten. “Mohon perhatian khusus,” katanya.
Permintaan ini dikabulkan oleh majelis hakim. Belakangan, Ahmad mengaku memang menjadi anggota komisi fatwa MUI.
Dalam persidangan sebelumnya, tim kuasa hukum rajin menolak saksi-saksi penuntut yang tergabung dalam MUI – seperti Ma’aruf Amin, Abdul Chair Ramadhan, Muhammad Amin Suma, dan Rizieq Shihab yang tergabung dalam GNPF MUI. Saat semuanya hendak bersaksi, penolakan ditunjukkan dengan tidak mengajukan pertanyaan kepada para saksi karena tidak dikenali. —Rappler.com