Rendahnya minat membaca, pikir remaja Magelang terhadap perpustakaan jalanan
- keren989
- 0
MAGELANG, Indonesia — Dira Limpat (17 tahun) bertekad. Hujan tak henti-hentinya mengguyur padang rumput Muntilan, Magelang, saat ia bersama dua temannya, Arif Gilang (16) dan Galih Cipta Kusuma (18), tiba pada Minggu, 19 November pagi.
Kalau saja mereka tidak berlarian mencari perlindungan, melompat kesana kemari dan menghindari genangan air, pasti pakaian dan barang-barang mereka akan basah kuyup. Hingga, di bawah deretan pohon pinus di pojok lapangan, langkah mereka terhenti.
Prinsipnya, hujan atau tidak, harus tetap berjalan, meski hanya sebentar, kata Dira, siswa kelas 2 SMK Pangudi Luhur Muntilan.
Dira, Arif dan Galih adalah tiga dari puluhan remaja aktivis Perpustakaan Jalan Muntilan. Komunitas ini didirikan dua bulan lalu. Berbekal buku-buku koleksi pribadi dan sumbangan, mereka keluar setiap Minggu pagi. Lapangan Pasturan dinilai menjadi lokasi yang tepat karena menjadi pusat aktivitas warga di akhir pekan.
“Kenapa kita tidak membaca apa yang ditulis orang dengan teliti, lagipula membaca itu penting.”
Seperti hari itu, sekelompok anak sekolah sepak bola terlihat sedang berlatih di tengah lapangan. Di pinggir lapangan, tenda-tenda pedagang kaki lima tak sepi pembeli meski hujan dini hari tak kunjung reda mengguyur Magelang dan sekitarnya.
Perpustakaan Jalan Muntilan biasanya buka mulai pukul 07.30 WIB. Namun hari itu, karena hujan tak kunjung reda, Dira dan kedua rekannya baru siap melayani pembaca hingga pukul 09.30. Mereka bertiga sudah sibuk menyiapkan stand perpustakaan selama setengah jam sebelumnya.
Spanduk bekas akan basah dan kotor sehingga perlu dibersihkan. Buku yang disiram air dikeringkan. Untuk menahan hujan, Dira diberi tugas khusus, yaitu meminjam terpal untuk tenda darurat.
“Untung ada (pedagang kaki lima) yang meminjamkan terpal kepada kami,” ujarnya.
Menurutnya, perpustakaan dibuka sesuai kunjungan pembaca. Seringkali perpustakaan buka sampai siang hari. “Begitu tiba jam 3 (siang),” ujarnya.
Rata-rata, lanjutnya, yang berkunjung ada 20 orang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. “Mereka suka membaca komik,” ujarnya.
Buku-buku disebar di atas spanduk bekas. Lucu Naruto, Doraemonke detektif Conan dari berbagai edisi bersandingan apik dengan cerita pengantar tidur, Asal Usul Candi Roro Jonggrang. Buku biografi HOS Cokroaminoto, novel Sang Pencerah yang bercerita tentang kehidupan KH Ahmad Dahlan, dan sebuah novel Alam 3 Warna Karya-karya Ahmad Fuadi bertebaran.
Saat ini koleksi buku Perpustakaan Jalan Muntilan sedikitnya mencapai seratus eksemplar dengan berbagai judul.
Dari koleksi pribadi, saya tidak ingin bergantung pada orang lain
Ide pendirian perpustakaan jalanan ini datang dari dua orang remaja, Arif dan Galih. Arif asal Sawangan duduk di kelas 2 SMK Muhammadiyah Mungkid, dan Galih dari Mungkid duduk di kelas 3 SMK Sanjaya Muntilan. Kedua remaja ini berteman saat berkumpul dengan anggota band. Mereka biasanya berkumpul di satu tempat bersama remaja-remaja lain di sekitar Muntilan.
Galih menuturkan, saat berkunjung itulah ide untuk mendirikan perpustakaan jalanan muncul di benaknya. Beberapa anak secara sukarela menyumbangkan beberapa buku koleksi pribadinya sebagai modal. “Misalnya saya menyumbangkan tujuh buku,” kata Galih.
Alasan utama didirikannya perpustakaan jalanan, kata dia, adalah untuk menggalakkan niat membaca masyarakat. “Minat membaca kita rendah,” ujarnya.
Strategi ini terbukti efektif. Setidaknya bagi para penggiat perpustakaan jalanan itu sendiri. Dira misalnya. Ia mengatakan, sebenarnya dirinya bukanlah tipe remaja yang gemar membaca. Namun karena harus datang ke lapangan Pasturan setiap hari Minggu untuk membuka lapak perpustakaan pinggir jalan, kini ia merasa membaca buku adalah cara utama untuk menambah ilmunya.
“Kenapa kita tidak membaca baik-baik apa yang ditulis orang, padahal membaca itu penting,” kata Dira.
Awalnya, ada tujuh remaja yang mengajukan diri untuk mengelola perpustakaan ini. Kini jumlahnya bertambah menjadi 13 orang. Tidak ada pengurus atau hanya koordinator di komunitas ini. Semua pekerjaan dilakukan secara sukarela dan didasarkan pada kesadaran akan tanggung jawab yang disepakati. Untuk memudahkan koordinasi, mereka berkomunikasi melalui grup WhatsApp.
Menurut Galih, awalnya tidak banyak buku yang ditawarkan kepada pembaca. Untuk menambah koleksi, kumpulkan. Uang yang mereka kumpulkan untuk membeli buku pada acara bazar buku murah.
Selain berasal dari koleksi anggota dan peninggalan anggota, beberapa buku juga diperoleh dari sumbangan warga. Para donatur tergerak untuk berdonasi setelah mengetahui kegiatan perpustakaan jalanan, baik dengan melihatnya langsung maupun melalui media sosial. Di dunia maya, kegiatan perpustakaan biasanya dipromosikan melalui akun Instagram perpusjalanan_mtl.
Namun, para remaja pengelola perpustakaan jalanan tidak mau bergantung pada donatur untuk menambah koleksi bukunya. Setiap Minggu, saat layanan perpustakaan dibuka, Galih dan rekannya membayar biaya sebesar Rp2 ribu per orang. Mereka menganggarkan hasil yang mereka kumpulkan untuk membeli buku baru.
“Kami sebisa mungkin mandiri dan tidak bergantung pada orang lain,” ujarnya.
Rendahnya minat membaca
Dalam satu penelitian berjudul Peringkat negara-negara paling melek huruf di dunia Pada tahun 2016, Central Connecticut State University menempatkan Indonesia sebagai negara dengan budaya membaca terendah. Dari 61 negara yang diperingkat, Indonesia berada di peringkat ke-60. Budaya membaca di negara ini hanya lebih baik dibandingkan Botswana, negara di Afrika.
Sekretaris Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Magelang Mashadi mengatakan koleksi perpustakaan daerah mencapai 18 ribu buku dengan 13 ribu judul. Selain pembukaan layanan membaca di gedung perpustakaan terdapat 4 mobil perpustakaan keliling. Layanan perpustakaan Seluler ia bekerja di tempat yang berbeda setiap hari. Umumnya kendaraan ini beroperasi di daerah lereng pegunungan.
Dengan model layanan ini, kata dia, selama periode 2014-2016 rata-rata tercatat 55 ribu-60 ribu pengunjung setiap tahunnya. Mereka mengakses buku dengan datang langsung ke perpustakaan daerah atau layanan perpustakaan keliling.
“Minat membaca masih rendah,” kata Mashadi.
Untuk meningkatkan minat baca, kata dia, perpustakaan daerah menerapkan program pada tahun 2017 kotak bergulir. Layanan ini diberikan kepada sekolah-sekolah. Mereka bisa meminjam sejumlah buku dalam satu kota dengan jangka waktu pinjaman tertentu. Setelah masa pinjaman pertama habis, pihak sekolah dapat menukarkannya dengan kotak baru.
“Ada 10-15 kotak bergulir (yang dipinjam dalam sebulan),” ujarnya.
Menurutnya, upaya komunitas remaja mendirikan perpustakaan jalanan di Muntilan merupakan salah satu cara inovatif untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Kegiatan mereka diharapkan dapat disinergikan dengan rencana pemerintah membuka Pojok Baca di berbagai lokasi yang diperkirakan akan berlangsung pada tahun 2018. —Rappler.com