• November 24, 2024

Rentetan kasus diskriminasi terhadap LGBT di perguruan tinggi

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Berdasarkan laporan SGRC, setidaknya terdapat 9 kasus serupa dalam kurun waktu 2015 hingga 2017.

JAKARTA, Indonesia — Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini diwarnai dengan persyaratan universitas yang dianggap mendiskriminasi kelompok minoritas.

Melalui akun media sosialnya, Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, mengunggah syarat penerimaan mahasiswa baru yang harus menyerahkan Deklarasi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) pada awal April lalu.

Sontak, pengumuman tersebut memancing reaksi publik. Manajemen Universitas Andalas juga menghapus kalimat “Harus menyerahkan deklarasi kebebasan LGBT” pada 30 April.

(BACA: Syarat Masuk Universitas Andalas: Harus Bebas LGBT)

Indonesian Sexuality Support Group and Resource Center (SGRC) pun mengkritik kebijakan ini.

“Kampus harus menjadi ruang terbuka untuk diskusi publik, dan khususnya perguruan tinggi negeri menjamin kesetaraan akses pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan kelas ekonomi atau kelas sosial berdasarkan gender,” kata Ferena. pendiri Dan ketua SGRC Ferena Debineva melalui keterangan tertulis yang diterima Rappler pada Kamis, 4 Mei.

Kejadian ini bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan SGRC, setidaknya terdapat 9 kasus serupa dalam kurun waktu 2015 hingga 2017.

Isu penolakan LGBT di kampus muncul dan ramai diperbincangkan pada tahun 2016 ketika Universitas Indonesia melarang penggunaan nama UI bagi komunitas pendukung LGBT di kampusnya. Peristiwa ini membawa dampak luas hingga membuat Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Natsir mengeluarkan pernyataan pelarangan kaum LGBT masuk kampus.

(BACA: UI minta klub kajian seksualitas tidak menggunakan nama dan logo kampus)

Berbagai penolakan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia nampaknya masih tertinggal jauh dalam menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan memberikan hak pendidikan bagi setiap warga negara, kata Ferena.

Lanjutnya, dalam merayakan Hari Pendidikan Nasional, masyarakat Indonesia hendaknya tetap bertanya: “Mengapa perguruan tinggi menolak isu-isu kontroversial dan tidak ingin menjadikan kawasan kampus sebagai tempat mengembangkan wacana?”

“Mengapa di era globalisasi ini kita masih belum bisa membedakan antara bidang ilmu dan agama, dan yang paling penting mengapa kita menolak hak orang lain untuk mendapatkan pendidikan?”

Berikut sederet kasus diskriminasi terhadap kelompok LGBT di perguruan tinggi menurut pantauan SGRC:

—Rappler.com

situs judi bola online