• November 25, 2024
Renungkan makna LGBT dalam UU Kesehatan Jiwa

Renungkan makna LGBT dalam UU Kesehatan Jiwa

Seorang wanita masuk klinik kesehatan jiwa, berusia sekitar 25 tahun, dengan potongan rambut seperti Justin Bieber. Dia mengenakan celana panjang dan jaket hitam. Wajahnya tampak memiliki garis-garis halus untuk orang seusianya. Ada juga bintik hitam. Tapi dia terlihat manis sebagai tanda bahwa siapa pun bisa mengenali kalau dia perempuan. Meskipun dia berpakaian seperti laki-laki.

Gaya duduknya seperti laki-laki. Gestur mengangkat kedua tangan saat memberikan penjelasan dan juga cara meletakkan siku di atas meja juga seperti laki-laki. Ia pun berusaha menjadi pria yang tabah saat mengatakan ingin mengubah jenis kelaminnya menjadi laki-laki.

Dia merasa tertekan bukan karena stigma masyarakat, tapi karena dia tidak punya cukup uang untuk operasi ganti kelamin. Ia pun sempat depresi karena merasa seperti laki-laki yang terjebak dalam tubuh perempuan. Dia depresi, tapi dia tidak menangis karena dia laki-laki dan laki-laki tidak menangis. Hal itu menurutnya.

Untuk sesaat, kasus ini mengingatkan pada sebuah film Anak laki-laki jangan menangisdimana aktris Hillary Swank memerankan seorang pria bernama Brandon Boyd dan “kegilaan” aktingnya memberinya kesempatan untuk memenangkan Oscar untuk Aktris Terbaik.

Kisah di atas adalah nyata. Tak perlu bicara LGBT, setiap manusia punya sisi gelap. Ada yang disublimasikan, ada yang ditindas, dan ada pula yang mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika kasus di atas menimpa anggota keluarga kita, ada beberapa kemungkinan reaksi yang muncul:

  1. Penyangkalan dan menyembunyikannya sebagai “aib” keluarga.
  2. Cobalah untuk menyembuhkannya menjadi ahli terbaik untuk kembali ke “jalan yang benar”
  3. Terimalah dengan bijak. Dalam penolakan atau penerimaan, keluarga berharap masyarakat kondusif agar tidak menyudutkan anggota keluarga tersebut.

Pembahasan mengenai LGBT menjadi begitu “kotor”. Gesekan semacam ini jelas tidak kondusif, apalagi solusi, bahkan menimbulkan keresahan.

Hal ini bertentangan dengan definisi “kesehatan jiwa” dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yaitu keadaan dimana individu dapat berkembang secara jasmani, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut sadar akan kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada masyarakatnya. .

Individu dan komunitas merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Setiap keresahan individu yang meningkat menjadi suatu kelompok tentu akan menimbulkan respon dari masyarakat. Inilah kehidupan di negara yang tidak individualistis. Masyarakat urban Indonesia ibarat sebuah bar di Boston bernama Cheers yang dikenal dengan judul serial televisi lagu tema “Di mana semua orang tahu namamu”.

Pernyataan resmi disampaikan oleh dr. Dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH, terkait LGBT, melontarkan pertanyaan yang dikirimkan kepada saya melalui Twitter dan WhatsApp tentang isi UU Kesehatan Jiwa terkait pernyataan tersebut. Sejujurnya, pernyataan ini adalah salah satu yang paling penting untuk disoroti.

Dr. Fidiansjah merupakan Direktur Direktorat Pembinaan Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan yang baru dilantik pada bulan ini dan beliau juga menjabat sebagai Ketua Divisi RSP (Agama, Spiritualitas dan Psikiatri) PDSKJI (Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia). Di saat banyak orang berbohong, sikap ini berani. Berikut keterangan beliau selaku Ketua Divisi RSP PDSKJI pada 5 Februari 2016 yang beredar di media sosial:

  • Prioritas program kerja Pokdi Lintas Agama departemen RSP adalah membuat pedoman penatalaksanaan kejiwaan berbasis agama dan spiritualitas pada setiap Pokdi Lintas Agama di Indonesia yang juga berlandaskan pada kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Sebagai bentuk kontribusi departemen RSP PDSKJI dalam mengoptimalkan kesehatan mental individu LGBT, maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:

  • LGBT termasuk dalam kategori ODMK (Penyandang Masalah Kesehatan Jiwa) yang mengacu pada terminologi ODMK dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
  • Membuat pedoman penatalaksanaan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi individu LGBT yang berwawasan agama, spiritualitas dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Ada 2 hal utama yang perlu diperjelas dari poin-poin pernyataan ini. Pertama, terminologi ODMK, dan kedua, penjelasan mengenai upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Yang dimaksud dengan Penyandang Masalah Jiwa (PMD) adalah orang yang mempunyai gangguan fisik, mental, sosial, tumbuh kembang dan/atau kualitas hidup sehingga berisiko mengalami gangguan jiwa.

Misalnya seseorang mempunyai disabilitas namun tinggal di lingkungan yang tidak memiliki disabilitas ramah disabilitaspekerja migran hidup di bawah tekanan majikannya, perempuan hidup di bawah tekanan pelecehan emosionalremaja yang mengalami depresi intimidasi di sekolah, pelacur yang ego-distonic (tidak nyaman dengan profesinya, misalnya karena terjebak dalam pusaran prostitusi), pelukis yang membutuhkan gejala psikopatologi untuk menciptakan karyanya, penderita gangguan jiwa yang sudah dalam remisi, namun kembali hidup dalam masyarakat yang terstigmatisasi.

ODMK berbeda dengan ODGJ. ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) adalah orang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk serangkaian gejala dan/atau perubahan perilaku yang signifikan, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang tersebut. sebagai manusia.

Dr. Fidiansjah tidak menyatakan LGBT sebagai ODGJ, karena baik DSM-V (Pedoman Diagnostik dan Statistik V) maupun PPDGJ III (Pedoman dan Klasifikasi Diagnosis Gangguan Jiwa) secara eksplisit tidak menyebutkan LGBT sebagai entitas diagnostik gangguan jiwa.

Ada pula aliran pemikiran yang mengatakan bahwa LGBT dapat dimasukkan dalam diagnosis F59 di PPDGJ III, yaitu YTT Behavioral Syndrome (yang tidak dirinci atau dirinci). Tidak ditentukan lain) Berhubungan dengan Kelainan Fisiologis dan Faktor Fisik. Namun belum ada penjelasan spesifik mengenai hal ini, sehingga terkesan terlalu ampuh dan menjadikannya diagnosis “keranjang sampah”.

Undang-undang Kesehatan Mental bertujuan untuk memberikan ruang bernapas bagi setiap orang dengan kondisinya. Upaya kesehatan jiwa adalah setiap kegiatan untuk mencapai tingkat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. .

Terkait dengan LGBT yang dinyatakan sebagai ODMK, setidaknya 3 ayat UU Kesehatan Jiwa tentang tujuan upaya Kesehatan Jiwa dengan sendirinya memberikan perlindungan kepada siapapun, yaitu agar masyarakat dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan jiwa yang sehat. Sehat,bebas dari rasa takut, tekanan dan gangguan hal-hal lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa, memberikan perlindungan dan jaminan pelayanan kesehatan jiwa bagi ODMK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusiadan memberikan peluang bagi ODMK dan ODGJ untuk melakukan akuisisi haknya sebagai warga negara Indonesia.

Salah satu alasan mengapa UU Kesehatan Jiwa memunculkan istilah ODMK sebagai pembeda dengan ODGJ adalah karena adanya keinginan untuk memperhatikan upaya kesehatan jiwa bagi ODMK dapat ditegaskan dalam upaya promotif dan preventif. Upaya promosi kesehatan jiwa ditujukan untuk:

  1. Menjaga dan meningkatkan taraf kesehatan mental masyarakat secara optimal
  2. Menghapus stigma, diskriminasi, pelanggaran HAM ODGJ sebagai bagian dari masyarakat
  3. Peningkatan pemahaman dan partisipasi masyarakat terhadap Kesehatan Jiwa; Dan
  4. Meningkatkan penerimaan dan partisipasi masyarakat dalam Kesehatan Mental.

Stigma, diskriminasi dan partisipasi masyarakat menjadi kata kunci dalam upaya promosi dan dapat dilaksanakan di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, komunitas, fasilitas pelayanan kesehatan, media massa, lembaga keagamaan dan tempat ibadah, serta lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. .

Upaya preventif kesehatan jiwa ditujukan untuk:

  1. Mencegah masalah kejiwaan
  2. Mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa
  3. Pengurangan faktor risiko timbulnya gangguan jiwa pada masyarakat secara umum maupun individu; dan/atau
  4. Mencegah dampak masalah psikososial. Seperti yang tergambar pada kasus di awal artikel ini, terlihat bahwa gangguan jiwa terjadi dalam bentuk depresi.

Terkait aspek agama, spiritualitas, dan kearifan budaya lokal yang banyak diperdebatkan mengenai LGBT, pendapat mereka tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja. Berbagai referensi juga dengan tegas menyatakan bahwa budaya membentuk perilaku dan emosi. LGBT boleh saja ada di seluruh dunia, namun tentu saja LGBT di Indonesia berbeda dengan varian lokal yang keberadaannya universal.

Jika muncul inisiatif untuk melakukan penelitian, tidak perlu menganggapnya sebagai ancaman bagi kelompok LGBT. Penelitian terikat dengan etika, tidak boleh menghalangi siapapun. Jika semua penelitian mencurigakan, maka di dunia ini tidak ada penelitian. Di sebuah bertukar pikiran, Saya melihat mereka masih menggunakan referensi jurnal berupa penelitian di luar negeri. Artinya belum tentu relevan bagi masyarakat Indonesia.

Dari sisi manajemen, perlu diingat bahwa dalam UU Kesehatan Jiwa juga diatur mengenai fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan (berbasis spiritualitas, budaya) dalam pemberian pelayanan kuratif harus bekerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan harus memiliki izin serta memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan sesuai pedoman yang berlaku dalam pemberian pelayanan kepada ODMK dan ODGJ.

Dapat disimpulkan bahwa perjalanan kelompok LGBT masih panjang. Saat ini ada pihak yang berperan ofensif dan defensif, namun kita tidak membutuhkan pihak ketiga sebagai kompor.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memilah berbagai pendapat mengenai LGBT. saya hadapi bertukar pikiran kebijakan silang mengenai LGBT memang sedang hangat-hangatnya. Namun, akan lebih baik jika saling bertatapan mata.

Dinamika opini harus dilawan dengan gagah berani. Modernitas dan teknologi yang memungkinkan terjadinya perang opini di media sosial tidak serta merta menghilangkan kemampuan Indonesia untuk berunding mencapai konsensus.

Setelah persepsi umum, barulah kita bisa merumuskan langkah konkrit ke depan yang tidak memerlukan upaya untuk menyenangkan semua pihak. —Rappler.com

Nova Riyanti Yusuf atau lebih dikenal dengan nama Noriyu, merupakan anggota DPR RI periode 2009-2014, menjabat Wakil Ketua Komisi IX bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Salah satu tugas penting yang diembannya adalah menginisiasi rancangan undang-undang (RUU) tentang kesehatan jiwa.

Tulisannya di Rappler Indonesia merupakan bagian dari advokasi kesehatan mental untuk memastikan penerapan peraturan mengenai kesehatan mental di Indonesia.

BACA JUGA:

Pengeluaran SDY