• October 11, 2024
Review UU KPK dari tahun ke tahun

Review UU KPK dari tahun ke tahun

JAKARTA, Indonesia – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna pada 26 Januari lalu mengesahkan pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2016.

Revisi UU KPK ini merupakan yang kedua kalinya masuk dalam Program Legislasi Nasional. Akhir Juni lalu, usulan revisi juga masuk dalam Prolegnas 2015 dalam rapat antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dengan Komisi III DPR.

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), usulan revisi UU KPK dimulai pada tahun 2010. Dan menurut lembaga swadaya masyarakat ini, UU Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan peraturan yang paling sulit dalam proses usulan dan pembahasan revisinya.

Berikut catatan lengkap ICW tentang perjalanan usulan pengujian UU KPK sejak 2010 hingga Februari 2016.

26 Oktober 2010

Komisi Hukum DPR mulai membahas revisi UU KPK.

24 Januari 2011

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Golkar mengirimkan surat bernomor PW01/0054/DPR-RI/1/2011 kepada Ketua Komisi III Benny K. Harman dari Partai Demokrat. Dalam surat tersebut, Priyo meminta Komisi III menyiapkan draf naskah akademik dan RUU KPK.

Hasil? Rancangan kajian hasil kerja Komisi III DPR menjadi salah satu dari 70 program legislasi nasional prioritas tahun 2011.

25 Oktober 2011

Ketua Komisi Hukum DPR Benny K. Harman mengatakan, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan suatu keniscayaan. Benny menyampaikan 10 poin yang menjadi isu krusial dalam peninjauan tersebut, antara lain kewenangan KPK merekrut penyidik ​​dan jaksa, fokus KPK dalam pemberantasan korupsi, kewenangan penyadapan, pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara, kewenangan KPK untuk melakukan peninjauan kembali. melakukan penyitaan dan penggeledahan, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), prinsip kepemimpinan kolektif kolegial Komisi Pemberantasan Korupsi, prioritas kerja Komisi Pemberantasan Korupsi di bidang pencegahan atau penindakan harus ditegaskan, dan fokus tindakan yang diambil. oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

23 Februari 2012

Muncul naskah revisi UU KPK yang diyakini berasal dari Badan Legislatif (Baleg) DPR. Dalam rancangan ini, kewenangan kejaksaan hilang, penyadapan harus mendapat izin ketua pengadilan, dibentuk dewan pengawas, dan perkara korupsi yang ditangani hanya Rp 5 miliar lebih.

3 Juli 2012

Berdasarkan risalah rapat, tujuh fraksi di Komisi III menyetujui rancangan revisi UU KPK dan UU Tipikor untuk diserahkan ke Baleg. Ketujuh fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Sementara PDI Perjuangan menolak peninjauan tersebut dan PKS memilih diam. Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin dari Fraksi Golkar.

27 September 2012

Ketua Komisi Hukum DPR Gede Pasek Suardika mengatakan DPR akan terus mempercepat pembahasan revisi UU KPK. Revisi diperlukan untuk memperjelas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini belum jelas. Menurut Pasek, revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tidak bisa ditolak. Pasalnya, rencana perubahan tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2011.

4 Oktober 2012

Rapat paripurna Komisi III sepakat untuk melanjutkan rancangan undang-undang tentang perubahan undang-undang no. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses selanjutnya yaitu harmonisasi, finalisasi dan penguatan konsepsi oleh Badan Legislatif DPR.

8 Oktober 2012

Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono dalam keterangan persnya mengatakan, lebih baik kita meningkatkan upaya pemberantasan korupsi agar lebih berhasil, daripada hanya memberi perhatian dan tenaga hanya untuk mengkaji korupsi dan mendukung penuh Komisi Pemberantasan Korupsi.

SBY mengatakan, “Sampai saat ini saya belum mengetahui konsep DPR merevisi UU KPK. Kalau ternyata untuk memperkuat KPK dan lebih efektif. Saya siap berdiskusi. Tapi untuk saat ini tidak benar.

16 Oktober 2012

Panitia Kerja (Panja) revisi UU KPK akhirnya memutuskan menghentikan pembahasan revisi aturan mengenai komisi antirasuah. Seluruh fraksi di DPR menolak revisi UU KPK. Selanjutnya keputusan Panja disampaikan kepada Baleg. Ketua Panja Pengkajian UU Komisi Pemberantasan Korupsi R. Dimyati Natakusuma mengatakan, keputusan panitia menghentikan pembahasan tidak lepas dari upaya DPR mendengarkan suara masyarakat. Terutama mereka yang menolak review.

9 Februari 2015

Keputusan DPR tentang Program Legislatif Nasional 2015-2019 dan Program Legislatif Nasional RUU Prioritas 2015 telah diterbitkan. Surat Nomor 06A/DPR/II/2014-2015 ditandatangani Ketua DPR Setya Novanto. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi tercantum pada nomor urut 63 dan diusulkan DPR.

19 Juni 2015

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan membatalkan rencana pemerintah membahas revisi Undang-Undang KPK dalam Program Legislatif Nasional tahun 2015.

23 Juni 2015

Dalam rapat paripurna tersebut, seluruh Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sepakat untuk memasukkan revisi UU KPK ke dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015, menolak revisi UU KPK. DPR berdalih masuknya RUU KPK ke Prolegnas 2015 karena usulan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Secara umum, ada 5 isu krusial yang coba dimasukkan DPR dalam draf revisi UU KPK, yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, dan lain-lain. pengetatan rumusan dan peraturan “kolektif-kolegial” mengenai pimpinan PLT apabila berhalangan hadir.

Oktober 2015

Beredar rancangan revisi UU KPK yang diduga berasal dari Gedung DPR di Senayan. Dalam catatan ICW, setidaknya ada 17 hal krusial dalam pemeriksaan yang melemahkan KPK, antara lain usulan pembatasan usia berdirinya KPK menjadi 12 tahun, pemotongan kewenangan penuntutan, pengurangan kewenangan penyadapan, pembatasan proses rekrutmen independen penyidik ​​dan penyidik. dan membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

13 Oktober 2015

Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kesepakatan ini dicapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat konsultasi di Istana Negara. Keduanya sepakat membahas RUU KPK pada sidang berikutnya di tahun 2016.

Ketua DPR Setya Novanto mengungkapkan, penundaan ini dilakukan karena DPR masih fokus membahas RAPBN tahun 2016. Sementara itu, Menteri Koperasi dan Hak Asasi Manusia Luhut Panjaitan menyatakan, pemerintah merasa masih perlu memastikan perbaikan perekonomian nasional berjalan dengan baik.

27 November 2015

Baleg DPR dan Menteri Yasonna Laoly sepakat revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2015. DPR berdalih revisi UU KPK penting untuk memperbaiki institusi KPK.

2 Desember 2015

Presiden Jokowi mengatakan: “Soal pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, inisiatif untuk mengujinya adalah dari DPR. “Tadi saya juga sampaikan, mohon ditanyakan kepada masyarakat, semangat revisi UU KPK itu untuk menguatkan, bukan melemahkan.”

14-16 Desember 2015

Materi pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi tertuang dalam soal tes layak dan kepatutan calon pimpinan KPK periode 2015-2019. Uji tuntas tersebut dilakukan oleh komisi hukum DPR.

15 Desember 2015
Sidang DPR memutuskan memasukkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU Pengampunan Pajak dalam Prolegnas 2015. Keputusan itu diambil secara mendadak di hari-hari terakhir sidang anggota DPR RI yang memasuki masa reses pada 18 Desember lalu. 2015.

26 Januari 2016

DPR sepakat revisi UU KPK masuk dalam prioritas Prolegnas 2016. Hanya Fraksi Partai Gerindra yang menolak revisi UU KPK.

1 Februari 2016

Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi mulai dibahas dalam rapat harmonisasi badan legislatif di DPR. Anggota Fraksi PDI-P Risa Mariska dan Ichsan Soelistyo hadir sebagai perwakilan yang mengusulkan revisi undang-undang tersebut. Ada 45 anggota DPR dari 6 fraksi yang mengusulkan revisi UU KPK. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 9 orang dari Fraksi Golkar, 5 orang dari Fraksi PPP, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan dua orang dari Fraksi PKB.

Rappler.com

BACA JUGA:

Pengeluaran Sidney