• November 28, 2025

Revisi UU ITE masih penuh celah hukum

Meski sudah direvisi, UU ITE masih kontroversial

JAKARTA, Indonesia – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Perubahan ini menyangkut beberapa pasal kecil, dan dimaksudkan sebagai adaptasi terhadap dunia teknologi dan informasi yang terus berkembang.

Pembahasan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan bersama untuk memberikan perlindungan hukum guna memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat dalam pemanfaatan TIK, kata Ketua Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara melalui akun Twitter-nya, Kamis, 27 September. Ada 7 konten konten utama yang disesuaikan.

Pertama, halmenambahkan sejumlah klarifikasi untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat 3. Sejauh ini, artikel tersebut menjadi yang paling banyak memakan korban.

Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin menjelaskan perubahannya. “Tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata merupakan delik umum, melainkan delik yang dapat didakwakan,” ujarnya dalam rapat terminasi.

Kedua, degradasi ancaman pidana pencemaran nama baik, paling lama 6 tahun hingga 4 tahun, dan denda Rp1 miliar hingga Rp750 juta. Selain itu, ancaman pidana kekerasan pada Pasal 29 juga dikurangi dari paling lama 12 tahun, diubah menjadi 4 tahun dan denda Rp2 miliar menjadi Rp750 juta.

Mereka pun menyelaraskan undang-undang ini dengan sejumlah peraturan perundang-undangan lain seperti KUHP dan Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pasal 31 ayat 4 yang mengamanatkan pengaturan cara penyadapan dalam peraturan perundang-undangan, serta menambahkan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 terkait informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah.

Kontensius

Namun tidak semua perubahan tersebut disambut baik oleh Lembaga Reformasi Hukum Pidana (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).Pers mengkritik tinjauan tersebut. “Seperti pasal kriminalisasi (Pasal 27), pasal ini tidak boleh dikurangi, tapi dihapuskan seluruhnya,” kata Supriyadi W. Eddyono, direktur eksekutif ICJR, kepada Rappler.

ICJR dan LBH Press menilai perubahan norma dan praktik tersebut masih berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Selain itu, adanya permasalahan duplikasi tindak pidana karena ketentuan yang sama dalam KUHP masih bisa mencakup perbuatan yang dilakukan dengan menggunakan media internet.

Hingga saat ini, menurutnya, pasal tersebut masih karet dan multitafsir. Mengurangi ancaman hukuman tidak menyelesaikan akar permasalahan, karena dalam praktiknya penegakan hukum sering kali menggunakan dakwaan ganda dan pasal ganda.

Selain itu, pemerintah juga dinilai mempunyai kewenangan yang sangat luas terkait ITE. Di bagian 40, mencegah penyebaran konten negatif di Internet juga menjadi tanggung jawab negara.

Dalam rangka pencegahan, pemerintah berwenang melakukan penghentian akses dan memerintahkan Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghentikan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang mengandung konten ilegal. Ketentuan ini akan berdampak pada kemudahan pejabat pemerintah dalam menyaring dan menghentikan konten.

Prosedur penghentian akses yang minim ditambah dengan tidak memadainya indikator konten ‘konten terlarang’ akan mengakibatkan kewenangan berlebihan yang mudah disalahgunakan oleh pemerintah, kata Supriyadi.

Ulasan ini juga menambahkan tepat untuk dilupakanyaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan dengan penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaannya dilakukan atas permintaan yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Menurut Supriyadi, pasal tersebut akan menjadi persoalan baru karena bisa menjadi alat ganda pemerintah selain kewenangan menyaring konten. Ketentuan ini bisa berdampak negatif karena bisa menjadi alat baru untuk menyensor berita, publikasi media, dan jurnalis di masa lalu.

Di Eropa, lanjutnya, hal ini masih menjadi perdebatan. Meski penerapannya hanya untuk mesin pencari dan tidak mencakup situs atau aplikasi tertentu, ujarnya.

Selama ini UU ITE masih dinilai kontroversial, apalagi dengan adanya pasal 27 ayat 3 yang juga kerap disebut ‘pasal karet’. Sejak diadopsi pada tahun 2008, ratusan orang telah melaporkan menggunakan artikel ini.

Padahal, untuk tahun ini hingga September lalu, yang dilaporkan sebanyak 72 orang. Termasuk kasus yang menimpa koordinator KontraS Haris Azhar karena mengunggah konten Facebook yang menuduh anggota TNI-Polri menerima suap dari terpidana mati narkoba Freddy Budiman.-Rappler.com

sbobet