• October 1, 2024

Revisi UU Tembak Mati Komisi Pemberantasan Korupsi

JAKARTA, Indonesia — Setelah banyak perdebatan, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) akhirnya masuk dalam salah satu pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR tahun 2016.

Kritik yang meluas dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk aktivis antikorupsi, ibarat seruan di hutan belantara.

Sayangnya, sikap pimpinan KPK juga tidak sejalan. Plt Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrrahman Ruki, cenderung lunak terhadap gagasan peninjauan kembali. Soal otoritas penyadapan misalnya, Ruki oke. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pemimpin lainnya, khususnya Pj Wakil Ketua Johan Budi, yang cenderung menolak.

Wacana peninjauan kembali ini bukan kali pertama dilakukan. Sepanjang tahun 2015, telah dilakukan upaya untuk memasukkan dua revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke dalam program legislatif nasional. Revisi tersebut lebih memberikan peluang bagi KPK untuk melemah dibandingkan sebaliknya, termasuk adanya batasan usia 12 tahun yang menjamin KPK akan membubarkan diri tanpa harus dipaksa untuk dibubarkan.

Pembahasan revisi UU KPK lebih seperti lonceng kematian bagi KPK. Berikut setidaknya 17 trik maut KPK dengan dalih peninjauan kembali.

Dalam catatan lembaga antirasuah Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya terdapat 17 substansi dalam revisi Undang-Undang KPK (versi Baleg DPR RI) yang berpotensi besar melemahkan KPK.

Ketujuh belas solusi ini tidak hanya akan mengubah KPK menjadi Komisi Pencegahan Korupsi (bukan Komisi Pemberantasan Korupsi), namun juga akan membubarkan KPK pada hari ulang tahunnya yang kedua belas, sejak tinjauan tersebut disahkan.

1. Usia KPK dibatasi 12 tahun saja

Hal itu tertuang pada pasal 5 dan 73 draf revisi UU KPK. Dengan kondisi korupsi yang masih akut seperti sekarang, pembatasan usia KPK menjadi 12 tahun jelas mematikan upaya pemberantasan korupsi. Penegakan hukum dan lembaga peradilan lainnya pun tidak lepas dari praktik korupsi.

2. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang melakukan penuntutan

Pasal 53 rancangan revisi UU KPK menyebutkan KPK berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. Kewenangan tersebut tidak berbeda dengan kepolisian, karena pada akhirnya hanya kejaksaan yang dapat mengadili kasus korupsi.

Padahal, salah satu kelebihan KPK yang turut mempengaruhi kecepatan penanganan perkara adalah penyidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.

3. KPK kehilangan tugas dan wewenang melakukan ‘monitoring’

Fungsi pemantauan termasuk salah satu fungsi pokok Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Fungsi ini memungkinkan Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan “bantuan” untuk memperbaiki sistem kementerian dan lembaga negara lainnya. Jika fungsi tersebut hilang, maka amanah KPK sebagai mekanisme pemicu itu juga akan menghapus dirinya sendiri.

4. KPK hanya bisa menangani kasus korupsi yang merugikan negara Rp50 miliar atau lebih

Penentuan jumlah ini bisa dikatakan absurd dan tidak berdasar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya tetap bisa menangani kasus korupsi dengan plafon minimal sehingga bisa menyasar kasus korupsi sebanyak-banyaknya.

Toh, meski standar kerugian keuangan negara Rp 1 miliar, KPK tetap bisa menangani perkara. kalangan atas melibatkan ikan besarserta menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap keuangan negara.

Dengan membatasi jumlah kerugian keuangan negara hingga Rp50 miliar ke atas, jelas ada upaya untuk menjauhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kasus korupsi yang berhasil ditangani selama ini. Sebab, kerja KPK terbukti efektif mengungkap banyak kasus korupsi.

5. Komisi Pemberantasan Korupsi lebih fokus pada tugas pencegahan korupsi

Pasal 4 revisi rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan: “Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi upaya pencegahan korupsi”, sedangkan pada Pasal 7 rancangan revisi UU KPK adalah UU Pemberantasan Korupsi. Komite. Secara hukum, fungsi pencegahan diutamakan.

6. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat mempunyai perwakilan di daerah provinsi

Pada titik tertentu, KPK bisa membentuk perwakilan di daerah. Namun kemungkinan tersebut telah hilang sama sekali, meski bukan tidak mungkin suatu saat akan dibutuhkan perwakilan KPK di daerah, khususnya untuk menjalankan fungsi pencegahan korupsi.

7. Komisi Pemberantasan Korupsi harus mendapat izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan

Pasal 14 ayat (1) huruf a rancangan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi harus mendapat izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan. Di tengah sistem peradilan yang masih korup, permintaan persetujuan dapat menghambat penanganan kasus korupsi, dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi kebocoran informasi terkait penyadapan.

8. KPK dapat menghentikan penyidikan kasus korupsi

Salah satu keistimewaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah tidak mempunyai kewenangan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Keistimewaan ini mengurangi praktik korupsi seperti perundingan kasus selama proses penyidikan. Jika KPK “diberi” kewenangan menerbitkan SP3, maka KPK pun tak ada bedanya dengan kepolisian dan kejaksaan.

9. KPK tidak dapat menunjuk penyidik ​​dan penyidik ​​secara independen

Dengan semakin kompleksnya cara dan skema korupsi dan pencucian uang, maka kebutuhan akan penyidik ​​yang berlatar belakang non-hukum menjadi sangat penting. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh penyidik ​​konvensional karena banyak kasus korupsi memerlukan kemampuan audit forensik.

Jika kewenangan KPK menunjuk penyidik ​​independen dihilangkan, bisa dibayangkan kualitas perkara yang ditangani KPK. Hal ini jelas tercantum dalam pasal 25 ayat (2) jo. Pasal 41 ayat (3) revisi UU KPK.

10. KPK tidak bisa merekrut pegawai secara mandiri

KPK mutlak akan kehilangan independensinya. Sebab, Pasal 25 ayat (2) UU KPK hasil revisi membatasi latar belakang pegawai KPK hanya pada Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan RI, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.

11. KPK wajib melaporkan kepada kejaksaan dan Polri dalam menangani perkara korupsi

Merujuk pada poin 10, independensi KPK hanya sebatas cerita karena dalam menangani perkara korupsi, KPK wajib melaporkan kepada kejaksaan dan kepolisian. Hal itu tertuang dalam Pasal 52 UU KPK hasil revisi.

12. Pemberhentian penyidik ​​dan penyidik ​​harus berdasarkan rekomendasi kejaksaan dan Polri.

Sama seperti poin ke 10, KPK pun tidak bisa memberhentikan penyidik ​​atau penyidik ​​dari kepolisian dan kejaksaan tanpa campur tangan kedua lembaga tersebut. Hal itu terlihat pada Pasal 45 ayat (1) UU KPK hasil revisi.

13. Usia minimal untuk mendaftar menjadi pimpinan KPK adalah 50 tahun

Semua orang pasti sudah mengetahui bahwa usia 50 tahun merupakan usia yang mengarah pada masa pensiun, salah satu penanda telah berakhirnya masa emas seseorang dalam bekerja. Penetapan standar usia pimpinan KPK menjadi 50 tahun jelas merupakan upaya menjadikan KPK sebagai lembaga panti jompo yang hanya menampung para pencari kerja yang enggan pensiun dan berharap mendapat penghasilan tetap di akhir masa baktinya.

14. Pembentukan Dewan Kehormatan KPK

Lembaga baru bernama Dewan Kehormatan KPK ini mempunyai kewenangan di luar pimpinan KPK. Salah satu kewenangan Dewan Kehormatan adalah melakukan pemberhentian sementara dan tetap terhadap pegawai KPK. Kewenangan tersebut justru tumpang tindih dengan kewenangan pengawas internal bahkan pimpinan KPK.

15. Ambiguitas Dewan Eksekutif

Badan Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 23 ayat 6 RUU KPK) dapat diartikan sebagai orang yang dipercayakan Presiden kepada KPK. Selain itu, fungsi dewan ini juga belum jelas karena tugasnya mirip dengan pimpinan KPK.

16. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi

KPK sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk melakukan pendidikan antikorupsi sebagai salah satu bentuk pencegahan korupsi.

17. Penyitaan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri

Pasal 49 ayat 1 RUU KPK menyebutkan penyitaan harus diperoleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Padahal sebelumnya (dalam UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK bisa dilakukan tanpa persetujuan hakim ketua pengadilan negeri.

Melihat 17 poin di atas, jelas tidak ada yang namanya revisi untuk memperkuat KPK. Terlalu banyak pihak yang berupaya melemahkan KPK sehingga baik pemerintah maupun DPR, khususnya KPK, sudah pasti harus menolak proses tersebut.

Dimasukkannya rancangan revisi UUU KPK ke dalam Prolegnas 2016 akan menjadi lonceng kematian KPK dan upaya pemberantasan korupsi. —Rappler.com

Lalola Paskah adalah peneliti pada Divisi Pengawasan Hukum dan Peradilan Pengawasan Korupsi Indonesia.

BACA JUGA:

Sdy pools