Ribuan jurnalis tewas saat meliput konflik tersebut
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Hal ini antara lain disebabkan oleh sikap jurnalis yang bias dalam memberitakan wilayah konflik
SOLO, Indonesia – Peran jurnalis penting dalam meliput wilayah konflik. Mereka berperan dalam melaporkan konflik tersebut kepada dunia dan mengingatkan ketika konflik berkepanjangan mulai terlupakan.
Namun tidak semua kegiatan jurnalistik dapat memberikan manfaat positif untuk meredam konflik tersebut. Jurnalisme yang bias, tidak seimbang, dan memiliki perspektif yang salah justru dapat memperparah konflik. Pada akhirnya keselamatan jurnalis di lapangan terancam akibat praktik jurnalistik yang bias dan tidak seimbang.
“Dari tahun 2002 hingga 2013, 1.300 jurnalis terbunuh. “Sebagian besar dari mereka meninggal di wilayah konflik dengan represi moderat, bukan di wilayah konflik bersenjata terbuka,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid dalam diskusi bertajuk “Meliputi Wilayah Konflik” dalam rangka Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2017. Festival Media di Surakarta. pada hari Kamis, 23 November.
Usman mengutip data informasi yang diperoleh beberapa akademisi, antara lain Anita Gohdes dari University of Zurich di Swiss dan Sabine Carey dari University of Mannheim di Jerman. Sementara data UNESCO mencatat 930 jurnalis terbunuh dalam kurun waktu 10 tahun, pada periode 2006-2016.
Sementara itu, data Reporters Without Borders juga menunjukkan adanya penurunan kualitas kebebasan (berekspresi) di dunia. Jadi, tantangan jurnalis saat ini masih sangat-sangat berat. “Meksiko, Brasil, dan Indonesia adalah wilayah yang berbahaya (untuk diliput),” ujarnya.
Juga diseret oleh Pengadilan Internasional
Sebagai jurnalis, Usman mengingatkan mereka untuk memiliki perspektif kemanusiaan sebelum meliput konflik tersebut. Ia lalu mencontohkan kasus konflik Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Jurnalis yang datang meliput di sana cenderung didasari sentimen agama.
“Sentimen ini kemudian menjelaskan bahwa wajar jika Ahmadiyah diperlakukan seperti itu karena (mereka) sesat. “Dalam konflik antaretnis di Sampit misalnya, ketika petugas diturunkan, kita juga harus mengecek apakah masih ada ikatan etnis dalam konflik tersebut atau tidak,” kata Usman.
Jurnalis yang tidak tepat akan menciptakan berita yang berat sebelah dan tidak seimbang. Kemudian memperburuk kondisi konflik dan mengancam keamanan mereka sendiri.
Dalam catatannya, perspektif jurnalis ditantang untuk meliput tiga isu rawan konflik di Indonesia, yakni isu konflik akibat program infrastruktur pemerintah seperti pembangunan Bandara Kulon Progo, konflik isu pertikaian identitas dan moralitas seperti Ahok dan Rizieq Shihab. – permasalahan kasus dan konflik yang menyangkut stabilitas NKRI, seperti UU Ormas dan HTI.
“Soal pilkada mendatang juga rawan konflik. Apalagi ketika pemilik media yang juga aktivis partai politik terlibat di ruang redaksi media, ujarnya.
Di tempat yang sama, Wakil Kepala Komunikasi ICRC, Sonny Nomer, mengatakan media berperan dalam memperburuk konflik antaretnis di Rwanda yang berujung pada genosida. Akibatnya, ratusan ribu nyawa melayang. Bias media terhadap salah satu pihak yang berkonflik turut menyulut kebencian antaretnis dalam konflik pembantaian etnis tersebut.
“Ada radio di sana yang berpihak pada salah satu suku yang berkonflik dan salah satu penyiarnya juga divonis oleh Mahkamah Internasional PBB,” kata Sonny.
Sementara itu, menurut Desy Fitriani, reporter senior Metro TV yang kerap meliput wilayah konflik, jurnalis kerap menghadapi kendala berupa terbatasnya akses untuk menembus seluruh pihak yang berkonflik saat meliput konflik. Jurnalis yang sering masuk ke wilayah konflik dengan penguasa kemudian akan sulit mendapatkan kepercayaan dari kelompok lain. Akibatnya pelaporan menjadi tidak seimbang.
Sementara itu, di sisi lain, jurnalis kerap mendapat tekanan, terutama dari aparat keamanan, ketika meliput konflik di Indonesia. – Rappler.com