Ribuan pelajar mengikuti simulasi tsunami di Banda Aceh
- keren989
- 0
BANDA ACEH, Indonesia — Samar-samar suara sirine tsunami terdengar dari menara khusus di Gampong (Desa) Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Satu kilometer jauhnya, di lapangan Blang Padang, ribuan pelajar mulai berkumpul. Mereka bergegas menuju Museum Tsunami untuk menyelamatkan diri.
Arif Zikrilllah, (16 tahun) ikut serta. Bersama ribuan warga lainnya, siswi SMA I Banda Aceh itu terlihat berlari melintasi Blang Padang. Tak lama kemudian, ia berada di atas Museum Tsunami yang juga berfungsi sebagai gedung penyelamatan dan dapat menampung lebih dari 3.000 orang.
Begitulah suasana simulasi bencana gempa dan tsunami dalam rangka Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional (HKBN), Rabu 26 April 2017. Acara dipusatkan di Museum Tsunami Aceh, serta beberapa bangunan penyelamatan lainnya.
Skenario bencana tersebut bermula dari gempa bumi yang terjadi pada pukul 09.45 WIB. Selanjutnya, pada pukul 10.00 WIB, sirine tsunami yang tersebar di berbagai lokasi di Banda Aceh dan Aceh Besar dibunyikan secara bersamaan. Informasi kemudian disebarkan ke seluruh Aceh melalui radio dan pesan singkat. Sirene juga terdengar dari diskusi praktis panitia.
Ini bukan pertama kalinya Arif mengikuti simulasi. “Saat saya SMP, saya juga ikut serta dan memahaminya,” ujarnya.
Ia merupakan saksi hidup bencana tsunami yang mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Ia kemudian mengaku baru berusia tiga tahun dan tinggal di Gampong Punge, tempat yang terkena dampak parah akibat tsunami. “Saat itu orang tua saya membawa saya ke lantai dua rumah karena tidak ada kesempatan untuk lari,” ujarnya. Arif dan keluarga dekatnya selamat, sejumlah kerabat lainnya menjadi korban.
Saat aku beranjak dewasa, orang tuaku selalu bercerita tentang bencana. Hingga Arif tak banyak bertanya, saat sekolahnya mengajak siswanya mengikuti simulasi gempa dan tsunami.
Muhammad Rayyan, teman sekelas Arif, mengaku juga pernah mengalami tsunami sebelumnya. Kediamannya di Gampong Lamteumen, Banda Aceh, baru saja terendam air tsunami dan lumpur. “Keluarga sering membicarakan bencana tersebut. Aku tahu.”
Simulasi diawasi oleh guru. Terkadang pendidik menginstruksikan siswanya untuk menganggap serius simulasi tersebut. “Penting agar mereka paham dan siap menghadapi bencana. “Daerah kami sangat rentan terhadap gempa bumi,” kata Syarifah Nargis, wakil kepala SMP 1 Banda Aceh.
Sekolah tersebut mengikutsertakan seluruh siswanya, sekitar 700 orang, dalam latihan tersebut. Sekolah merupakan salah satu sekolah yang rutin mengikuti simulasi bencana. Mereka mempunyai materi kebencanaan saat menerima siswa baru dalam kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS).
Di tingkat anak, anak-anak dari Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak juga dilibatkan. Salah satunya adalah PAUD Bunga Melati, Darussalam Banda Aceh. Mereka membawa satu kelas anak-anak untuk mengenalkan mereka pada bencana.
Praktisnya mereka dibimbing saat bermain dengan tingkah lucu dan tawa. “Kami sengaja mengikuti acara ini sekaligus mengenalkan kesiapsiagaan bencana kepada anak-anak,” kata Nurul Akmal, guru PAUD Bunga Melati.
Diakui Nurul, di lembaganya, anak-anak juga kerap mendapat pembelajaran tentang kebencanaan. Misalnya, praktik berlindung di bawah meja jika terjadi gempa, atau meninggalkan gedung dengan tas sekolah menutupi kepala.
***
Setengah jam setelah sirene dibunyikan, lebih dari 3.000 siswa dari delapan sekolah di Banda Aceh yang mengikuti simulasi memenuhi lantai atas Museum Tsunami. Guru membimbing setiap siswa tentang bencana.
Tak lama kemudian, panitia memberikan instruksi dengan skenario tsunami tidak akan datang. Siswa dipersilahkan kembali, rapi dan hati-hati. Pelatihan selesai. “Upaya ini harus dilakukan terus menerus untuk mendidik generasi muda yang tahan bencana,” kata Fadhil, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banda Aceh.
Menurut dia, selain diikuti mahasiswa, simulasi tersebut juga diikuti secara mandiri oleh warga Banda Aceh dan Aceh Besar, khususnya di desa-desa yang terkena dampak tsunami. Salah satunya di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh yang melibatkan 300 warga dalam pelatihan. Gampong merupakan salah satu desa tahan bencana di Aceh.
Sejumlah warga sekitar escape building pun turut mengikuti rangkaian kegiatan tersebut. Setelah sirene berbunyi, mereka langsung menuju gedung penyelamatan. Terdapat beberapa escape building yang dibangun dengan kekuatan menahan gempa hingga 10 skala Richer. Gedung-gedung tersebut berada di Gampong Lambung, Gampong Deah Tengoh, Gampong Deah Glumpang dan Escape Building TDMRC Unsyiah
Fadhil menuturkan, seluruh sirene dibunyikan saat simulasi berlangsung. Pemancar sirene tersebut dipasang di enam titik di Banda Aceh dan Aceh Besar, seperti di Kantor Gubernur Aceh, Gampong Kajhu, Gampong Lampulo, Gampong Blang Oi, Gampong Lam Awe dan kawasan Lhoknga.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Yusmadi mengatakan simulasi tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan serentak oleh Indonesia yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ia mengklaim simulasi tersebut melibatkan lebih dari 155 ribu peserta di Banda Aceh dan Aceh Besar. “Dari simulasi tersebut bisa memberi kita pengetahuan tentang keberadaan kita, dan risiko apa saja yang ada di sekitar kita, lalu apa solusi untuk menyikapi risiko bencana tersebut,” ujarnya.
Menurut dia, sirene tsunami akan berbunyi setiap tanggal 26 setiap bulan pukul 10.00 WIB ke depan. Hal ini sesuai hasil koordinasi dengan BMKG yang akan melakukan simulasi sirene secara berkala dan serentak di seluruh Indonesia.
12 tahun lalu, Aceh merupakan provinsi yang paling parah terkena bencana tsunami. Gelombang besar pasca gempa 9,2 skala Richter menyebabkan sebanyak 200 ribu orang menjadi korban, ratusan ribu lainnya mengungsi dan kehilangan tempat tinggal. Di Museum Tsunami, tempat berlangsungnya simulasi kesiapsiagaan bencana, beberapa bukti masih dipajang.
—Rappler.com