Ribuan pengungsi anak-anak Rohingya menyeberang ke Bangladesh saja
- keren989
- 0
Sebanyak 12 ribu pengungsi tersebut merupakan anak-anak yang baru berusia satu tahun. Kebanyakan dari mereka tidak didampingi orang tua
JAKARTA, Indonesia – Lebih dari 1.100 anak pengungsi Rohingya mengungsi ke Bangladesh akibat kekerasan yang terjadi di negara bagian Rakhine sejak 25 Agustus. Data yang dikutip dari badan PBB UNICEF cukup mengejutkan karena mereka melarikan diri sendirian dan tidak didampingi orang tuanya.
Mereka tiba di Bangladesh sendirian karena terpisah dari orang tuanya saat mereka harus mengurus diri sendiri. Mereka juga menjadi saksi hidup bagaimana anggota keluarga mereka dibunuh secara brutal, yang diduga dilakukan oleh tentara Myanmar dan sekelompok umat Buddha.
Salah satu anak yang berpisah dari orang tuanya bernama Abdul Aziz dan berusia 10 tahun. Ini bukan nama sebenarnya dan sengaja diubah untuk melindungi identitas aslinya.
Abdul ditemukan sekelompok wanita saat sedang kebingungan dan tidak tahu harus pergi ke mana.
“Beberapa perempuan dalam kelompok bertanya; ‘Dimana orangtuamu? Saya bilang saya tidak tahu di mana mereka berada’,” kata Abdul kepada media.
Seorang wanita akhirnya berkata, ‘Kami akan menjagamu seperti anak kami sendiri. ikutlah Setelah itu saya berangkat bersama mereka,’” ujarnya.
Persoalannya, anak-anak yang mengungsi dan tidak didampingi orang tuanya berpotensi besar mengalami pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan trauma psikologis.
Data mengejutkan yang diungkap PBB terkait anak-anak pengungsi Rohingya. PBB memperkirakan jumlah pengungsi Rohingya yang berhasil menyeberang ke Bangladesh sejak 25 Agustus lalu berjumlah sekitar 370 ribu orang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.
Misalnya, dari 128 ribu pengungsi baru yang datang pada awal bulan ini dan tersebar di lima lokasi pengungsian, 60 persen di antaranya adalah anak-anak. Angka tersebut mencakup 12 ribu anak yang baru berusia satu tahun.
Tak terbayang perjalanan yang harus mereka lalui. Sebab, mereka berpotensi menjadi sasaran tembakan militer Myanmar saat mengungsi ke negara tetangga atau terkena pecahan bom.
Mencari anak pengungsi di lokasi pengungsian pun bukan perkara mudah. Pasalnya, kamp pengungsian di Bangladesh sudah penuh sesak. Kalaupun ditemukan, keadaan mereka sangat ironis. Banyak balita yang tidak mengenakan pakaian dan tidur di luar. Sementara anak-anak dibiarkan bermain sendirian di luar di air yang kotor.
“Ada kekhawatiran besar. “Anak-anak ini memerlukan dukungan dan bantuan tambahan agar dapat bersatu kembali dengan anggota keluarga mereka,” kata pakar kemanusiaan Save The Children, George Graham, dalam sebuah pernyataan.
Makan daun
Kisah sedih lainnya datang dari Mohammad Ramiz yang berusia 12 tahun. Dia melarikan diri dari desanya sendirian dan dibawa oleh sekelompok orang dewasa.
“Ada begitu banyak kekerasan yang terjadi, jadi saya menyeberangi sungai bersama yang lain,” kata Ramiz, yang nama aslinya juga tidak disebutkan.
Untuk bertahan hidup dalam perjalanan ke Bangladesh, Ramiz memakan apa saja, termasuk dedaunan pohon yang dilihatnya. Bahkan terkadang dia hanya minum air putih agar tetap hidup.
Salah satu kamp pengungsi di Bangladesh yang menampung pengungsi anak dan bekerja sama dengan UNICEF terletak di Kutupalong. Lokasi yang ditetapkan pemerintah tidak jauh dari lokasi pengungsian lainnya di Cox’s Bazar.
Menurut manajer proyek badan amal Bangladesh BRAC, Moazzem Hossain, ada sekitar 41 zona aman yang tersebar di jaringan kamp pengungsi yang didedikasikan untuk pengungsi anak-anak. Setiap hari anak-anak, bahkan ada yang membawa adiknya, datang ke zona aman agar bisa beraktivitas layaknya anak-anak. Mereka bernyanyi, bermain mainan, lompat tali, dan bermain Lego.
Setidaknya untuk sementara, kegiatan ini dapat mengalihkan perhatian dan ingatan mereka dari situasi mengerikan yang terjadi di luar kamp pengungsi. Hampir seluruh kamp pengungsi di Bangladesh terlihat sangat penuh, dan tidak mampu lagi menampung masuknya pengungsi baru. Mereka tampak ramai dan perlu makan dan minum.
“Awalnya mereka tidak mau berbicara, makan atau bermain. “Anak-anak pengungsi hanya duduk di sana dan menatap kosong,” kata Hossain kepada media.
Namun, ada satu hal yang diperhatikan para relawan di sana, jumlahnya tidak sebanding dengan pengungsi anak-anak. Jika jumlah relawannya sebanding, kita bisa lebih sering mengajak anak-anak bermain sambil mengajak mereka bercerita tentang pelarian mereka dari Myanmar.
Sementara itu, juru bicara UNICEF Christope Boulierac mengkhawatirkan hal lain, yakni anak-anak yang tidak diawasi di kamp berpotensi dieksploitasi. Pengungsi perempuan berisiko terjebak dalam situasi pernikahan anak, diperdagangkan di tempat prostitusi di kota-kota besar di Bangladesh. Jika itu yang terjadi, mereka akan terpaksa menjual tubuh mereka dan terus-menerus dianiaya. – dengan laporan AFP/Bernardinus Adi/Rappler.com