Rocky Gerung: Syariat merugikan kelompok minoritas
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Mengapa masyarakat kita cenderung fundamental dan konservatif?
JAKARTA, Indonesia—Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung mengaku prihatin dengan peran pers dalam polemik isu minoritas di tanah air, termasuk polemik lesbian, gay, biseksual dan transgender serta Gerakan Fajar Nusantara.
“Akhlak mayoritas memang seperti itu ideologi resmi dari rezim saat ini,” kata Rocky saat menjadi narasumber dalam Diskusi Keren Media Komisi Penyiaran Indonesia ‘Mempertanyakan Sensor’ di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu 2 Maret.
Rocky meyakini permasalahannya bukan hanya pada pers dan sensor, melainkan gambaran yang lebih besar yakni fenomena syariah di masyarakat yang mendorong KPI melakukan sensor.
Apa itu Syariahisme?
“Jadi ada obsesi untuk memimpin negara ini melalui paradigma moral. Paradigma ini digunakan oleh sumber-sumber suci, yaitu agama pada khususnya, ujarnya.
Masyarakat saat ini, menurut Rocky, tidak menilai individu dari seberapa sering mereka membantu tetangga atau seberapa besar pajak yang mereka bayarkan. Tapi kesalehan sosial ditentukan oleh seberapa banyak dia berdoa, kata Rocky.
Aliran syariah ini membuat masyarakat meyakini bahwa satu-satunya sumber akhlak adalah surga. “Itulah sebutannya menciptakan fundamentalisme, menciptakan absolutisme,” dia berkata.
Mereka menentukan hanya ada satu wadah, yaitu wadah milik mereka. “Itu disebut absolutisme,” katanya.
Secara berkala, penganut aliran ini melakukan cicilan dengan menyisipkan absolutisme moral di setiap momennya.
Praktik syariah ini kemudian berdampak pada kelompok minoritas. Syariatisme tidak mengenal dialog dan tidak memberikan ruang bagi penafsiran berbeda terhadap pendapat mereka.
Sejak kapan syariah hadir di masyarakat?
“Karena suasana demokrasi dianggap membahayakan keyakinan manusia. “Sejak pasca reformasi, karena reformasi terbuka dan ada indikasi bahwa setiap orang berhak menyampaikan pandangannya tentang kehidupan secara langsung dan mutlak,” ujarnya.
Jalan Tengah Hadapi Syariatisme? “Hanya satu, memaksakan argumen yang lebih baik,” dia berkata.
Rocky menceritakan pengalamannya saat menjadi saksi ahli undang-undang anti pornografi di Mahkamah Konstitusi, di mana ia meminta saksi ahli tidak menggunakan ayat suci.
Apa alasannya? “Usulan kitab suci tidak bisa dibatalkan. “Yah, judicial review membuat argumen-argumen harus dibatalkan dan diperdebatkan,” katanya.
Yang seharusnya digunakan, kata Rocky, adalah ayat konstitusi, bukan ayat suci.
“Tetapi lawan saya yang merupakan saksi ahli dari pihak yang anti pornografi mengatakan hal itu tidak bisa dilakukan, harus menggunakan dalil kitab suci. Usul kami sakral dan tidak bisa digugat di forum mahkamah konstitusi,” dia berkata.
Rocky pun mengaku kecewa dengan hakim MK yang tidak berinisiatif menegur saksi ahli.
Apakah mayoritas masyarakat kita menganut syariah?
“Mereka memang bukan mayoritas, tapi mereka menganggap (kelompok mereka) berharga secara statistik dalam politik,” ujarnya.
Rocky melanjutkan, kelompok ini diuntungkan karena negara juga mensponsori intoleransi.
Dampaknya, kesalehan sosial dirumuskan bukan dari argumentasi sosiologis, melainkan dari argumentasi agama. Bahkan, katanya, “Tidak ada hakim yang memutus Anda bersalah, melainkan bersalah. “Rasa bersalah adalah kondisi sosiologis, dosa adalah kondisi lain,” kata Rocky.
Rocky menilai dengan adanya syariat, “kita gagal menggunakan ayat-ayat sosiologis, kita gagal menafsirkannya, malah kita menggunakan ayat-ayat suci.”
Dan keadaan menjadi semakin rumit karena negara yang seharusnya mengurusi agama secara administratif justru menggunakan paradigma agama tersebut.
“Pejabat (Pemerintah) merasa gugup dalam membedakan kesucian individu dari ketaatan pada hukum konstitusi. Itu yang menyebabkannya menciptakan fundamentalisme,” kata Rocky. —Rappler.com
BACA JUGA