• November 25, 2024

RUU diterima, hak-hak penyandang disabilitas dijamin undang-undang

JAKARTA, Indonesia (DIPERBARUI) – DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas dalam rapat paripurna yang berlangsung pada Kamis. 17 Maret.

RUU tersebut akan menjadi undang-undang 30 hari setelah disetujui DPR, dengan atau tanpa tanda tangan presiden.

Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat menjamin terpenuhinya hak dan kesempatan penyandang disabilitas, mulai dari hak hidup, pekerjaan, pendidikan, hingga akses terhadap fasilitas.

“Ada 22 poin penting terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas yang diatur dalam undang-undang ini,” kata anggota Komisi VIII Ledia Hanifa dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kepada Rappler, Jumat, 18 Maret.

Selama ini masyarakat dan pemerintah masih cenderung mengabaikan hak-hak penyandang disabilitas. Salah satunya terkait hak untuk hidup. Masih banyak masyarakat yang memberikan stigma ‘kutukan’ atau ‘malapetaka’ kepada penyandang disabilitas fisik dan mental. Tak jarang pandangan seperti ini justru datang dari anggota keluarga dekat.

Penyandang disabilitas seringkali mengalami nasib yang tidak mengenakkan. Entah diusir, dikirim ke panti asuhan, atau yang terburuk, diborgol. Sekalipun masih tinggal bersama keluarganya, hak-haknya seperti warisan terkadang dirampas oleh anggota keluarga lainnya dengan dalih “tidak mampu mengurusnya”.

“Dalam undang-undang ini kami tegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak bebas dari stigma. “Mereka juga mempunyai hak penuh atas haknya,” kata Ledia.

Dalam rancangan tersebut juga disebutkan bahwa mereka yang mengurangi hak penyandang disabilitas akan dikenakan pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp150 juta. Hal ini juga dapat mencegah mereka yang memiliki gangguan penglihatan atau pendengaran agar tidak tertipu.

Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa keluarga tidak bisa sembarangan mengirimkan anggotanya yang memiliki disabilitas fisik atau mental ke lembaga. Mereka harus dirawat oleh keluarganya yang tentunya juga didampingi oleh ahli dan terapis. Serta mendapatkan rehabilitasi klinis yang tepat.

Pendidikan dan pekerjaan di masyarakat

Mereka juga dijamin haknya untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan di masyarakat. Menurut Ledia, masyarakat cenderung mendorong penyandang disabilitas untuk bersekolah atau bekerja di tempat khusus. Padahal, ada pilihan bagi mereka untuk ikut serta dalam sosial kemasyarakatan, dan kewajiban pemerintah untuk memberikan fasilitas.

“Seperti halnya sekolah, anak-anak penyandang disabilitas harus bersekolah di sekolah luar biasa. “Padahal mereka punya pilihan untuk diikutsertakan di sekolah negeri,” kata Ledia.

Sedangkan untuk bantuan atau fasilitas tambahan, menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakannya. Misalnya pendamping bagi penyandang tunarungu, hingga akses jalan bagi kursi roda.

Begitu pula di tempat kerja. Perusahaan, baik milik negara maupun swasta, cenderung enggan mempekerjakan penyandang disabilitas. “Sepertinya akan membebani perusahaan dengan biaya tambahan,” ujarnya.

Pemerintah sebenarnya mewajibkan perusahaan milik negara untuk mempekerjakan penyandang disabilitas hingga 2 persen dari total angkatan kerja; dan 1 persen untuk perusahaan swasta. Bahkan, undang-undang tersebut juga memberikan insentif bagi perusahaan swasta yang memenuhi kewajiban tersebut. Aturan ini sebenarnya sudah lama tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Penyandang disabilitas dapat melakukan tugas administratif.

Ledia mengatakan penting untuk meningkatkan keterlibatan penyandang disabilitas di masyarakat umum. Terutama bagi anak-anak di sekolah. “Pelajari cara berkomunikasi dengan baik. Agar tidak diolok-olok, apalagi diolok-olok.menggertak,” dia berkata.

Meningkatkan fasilitas dan kesadaran pemerintah

Tentu saja penyandang disabilitas akan sulit berfungsi secara sempurna jika negara tidak memberikan fasilitas yang memadai. Menurut Ledia, pembahasan yang terjadi saat pembahasan undang-undang ini menunjukkan betapa acuhnya pemerintah.

“Misalnya Gedung Nusantara (DPR). “Sangat sulit bagi penyandang disabilitas untuk masuk,” ujarnya. Dan sebagian besar gedung di Jakarta juga mengalami kondisi serupa.

Ledia mengatakan, dalam peraturan Kementerian Pekerjaan Umum ada kewajiban membangun fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas, seperti ramp untuk kursi roda. Namun pihak-pihak yang seharusnya melaksanakannya, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum sendiri, cenderung mengabaikannya. Peraturan tersebut menyatakan bahwa bangunan yang tidak memenuhi syarat disabilitas tidak akan mendapat sertifikat layak huni.

“Tetapi faktanya surat-surat itu baru keluar. Jadi siapa yang bermasalah atau lalai di sini?” Ledia bertanya. Tanpa surat ini, bangunan dimaksud malah bisa dibongkar.

Fasilitas transportasi bahkan lebih buruk lagi. Diakui Ledia, kota besar seperti Jakarta pun masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Dia mencontohkan, halte Transjakarta yang tinggi sehingga menyulitkan pengguna kursi roda. Berbeda dengan negara lain yang halte busnya lebih rendah, bahkan busnya bisa dimiringkan untuk memudahkan pengguna kursi roda naik.

Pilihan mereka terbatas pada taksi. Namun selain mahal, masih sedikit kendaraan yang menawarkan fasilitas tempat duduk khusus. “Memang sudah ada satu layanan taksi yang menyediakan itu, tapi armadanya juga sedikit,” kata Ledia.

Mengawasi implementasi dan memberikan suara kepada penyandang disabilitas

Undang-undang ini bertujuan untuk menyadarkan pemerintah dan masyarakat terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Implementasi fasilitas, akses dan peluang yang tercantum di dalamnya harus diselesaikan dalam waktu dua tahun.

Tak hanya itu, para penyandang disabilitas kini bisa menyampaikan pendapat dan aspirasinya melalui Komisi Penyandang Disabilitas. Ledia mengatakan, badan ini harus dibentuk dalam waktu 3 tahun setelah undang-undang tersebut disahkan.

“Anggota tidak harus dari pemerintah, bisa juga dari perwakilan penyandang disabilitas agar kita lebih tahu apa yang mereka butuhkan,” ujarnya. Bersama DPR dan lembaga pemerintah lainnya, badan ini akan mengawal pelaksanaan dan implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas.

Penyandang disabilitas cenderung pesimistis

Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas menyatakan pesimis dengan RUU Penyandang Disabilitas yang disahkan dalam paripurna DPR menjadi undang-undang.

Mereka menyebut RUU itu multisektoral sehingga harus dibahas di Pansus di DPR, bukan di Panitia Kerja Komisi VIII DPR.

Kementerian yang mempunyai kewajiban pemenuhan hak penyandang disabilitas juga dinilai telah mengalihkan tanggung jawab dan menyerahkannya kepada Kementerian Sosial sebagai “leading sector”.

Alhasil, Koalisi menilai jumlah penyandang disabilitas tidak akan banyak berubah. Penyandang disabilitas masih harus berjuang dari pintu ke pintu di setiap kementerian untuk mengadvokasi pemenuhan haknya.

Harapan penyandang disabilitas kini hanya bergantung pada Komisi Nasional Disabilitas (NCD) yang diamanatkan undang-undang ini sebagai lembaga independen.

Lembaga ini mempunyai tugas dan wewenang untuk menjamin terselenggaranya pembangunan yang aksesibel dan sebagai wadah partisipasi penyandang disabilitas untuk memajukan dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas.

Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas terdiri dari beberapa organisasi, antara lain Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas (PPUA Penca), Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Perkumpulan Pikiran Sehat, Persatuan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia, Perhimpunan Wanita Disabilitas Indonesia, dan Persatuan Pemikiran Sehat. Federasi Indonesia untuk Kesejahteraan Penyandang Disabilitas Fisik (FKPCTI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH Jakarta) dan Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). – dengan laporan Antara/Rappler.com

BACA JUGA

Keluaran HK