Saya merasa tidak aman dan terancam
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Salah satu korban penganiayaan online, Fiera Lovita akhirnya menceritakan langsung kepada publik alasannya pindah dari Solok ke Jakarta. Perempuan yang akrab disapa Lola ini mengaku merasa tidak aman dan terancam keselamatan dirinya dan kedua anaknya jika tetap tinggal di Solok, Sumatera Barat.
Ketakutan ini muncul setelah ia di-bully dan diintimidasi oleh ormas tertentu. Intimidasi terasa sejak ia mengunggah statusnya di akun media sosialnya pada 19-21 Mei. Meski tak menyebutkan nama, Lola mengkritisi sikap pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab yang memilih bertahan di Arab Saudi ketimbang kembali ke Indonesia.
“Kalau tidak salah kenapa lari? Toh, ada 300 pengacara dan 7 juta orang yang akan mendampingi Anda. Jangan kabur lagi ya Bib. Terkadang fanatisme membuat akal sehat tidak lagi berfungsi. Zina lari lagi, tetap disembah dan dibela. Masih ada yang menyatakan kalau ulama difitnah, mereka akan lari. “Saya bahkan tidak berani menangkap polisi dengan bukti,” Lola menulis selama periode tiga hari itu.
Ia bercerita, intimidasi mulai ia terima sejak Minggu malam, 21 Mei. Membuka ponselnya, Lola menyadari status di akun media sosialnya telah diabadikan dan kemudian dibagikan secara luas. Untuk menambah kebencian terhadapnya, status tersebut juga memuat narasi provokatif dan kata-kata yang tidak pantas.
Tujuannya untuk mendorong orang lain agar membenci dan mengutuk saya, kata Lola saat memberikan siaran pers di kantor LBH Jakarta, Kamis sore, 1 Juni.
Pihak RSUD Solok tempatnya bekerja kemudian mulai melakukan intervensi pada Senin, 22 Mei. Namun, Lola tidak mendapat perlindungan.
Pihak manajemen rumah sakit rupanya menganggap Lola justru mencoreng nama baik rumah sakit dan menimbulkan masalah. Hal itu tercermin dari permintaan Direktur Utama RSUD agar Lola menghapus informasi tempatnya bekerja dan memintanya menuruti apapun yang diminta ormas FPI.
Ketua FPI wilayah Solok itu mengunjungi rumah sakit tempat Lola bekerja. Mereka datang didampingi rombongan anggota dan meminta dokter hemodialisis tersebut menulis surat permintaan maaf dan mengunggahnya di akun media sosialnya. Namun permasalahan tak kunjung selesai setelah Lola meminta maaf. Bahkan, dia merasa intimidasi semakin intens.
“Keesokan harinya, Selasa 22 Mei, saya diminta pihak RSUD untuk segera berangkat ke kantor. Wakil Direktur RSUD memarahi saya dan meminta saya menuruti apa pun yang mereka minta jika saya ingin aman dan kasus ini tidak berlanjut, kata Lola.
Bahkan, Wakil RSUD juga meminta Lola menunjukkan ekspresi wajah menyesal dan patuh. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan masalah dengan cepat.
Dia pun menyetujui hal itu. Rupanya, beberapa pihak dari personel Polres Solok, Ketua FPI, dan pejabat RSUD sudah menunggu di ruang pertemuan.
“Saya diminta menyampaikan penyesalan dan berjanji tidak mengulanginya. Aku mengatakan ini sambil menangis. Perasaan saya saat itu campur aduk karena posisi saya benar-benar pojok, ujarnya.
Selanjutnya, anggota FPI bergantian memperkenalkan diri. Kemudian mereka menceramahi Lola sambil membawakan ayat Alquran. Pada dasarnya apa yang Lola dengar di media massa soal kasus Rizieq adalah fitnah dan rekayasa.
Menurut mereka, saya terpengaruh dengan berbagai pemberitaan di media massa yang dikuasai oknum tertentu untuk menyudutkan Rizieq Shihab. “Mereka terus mengajari saya dengan memasukkan ayat-ayat Alquran,” ujarnya.
Pada akhirnya, Lola akhirnya menulis surat permintaan maaf lagi. Bedanya, jika sebelumnya surat ditulis dengan tangan, kali ini diketik di komputer dan dilengkapi stempel.
Pihak-pihak yang hadir dalam rapat tersebut sebagian besar menandatangani namanya, kecuali Kepala Intel Polres Solok Ridwan dan Direktur RSUD Solok. Mereka pun berfoto bersama sebagai bukti telah terjadi pertemuan.
Sayangnya, meski mendengarkan ceramah dan menulis surat permintaan maaf untuk kedua kalinya, kehidupan Lola tak kunjung tenang. Foto yang diambil kemudian dibagikan secara luas di berbagai akun media sosial dan grup WhatsApp.
Kelompok tersebut juga menyebarkan artikel-artikel yang pernah ditulis Lola di akun media sosialnya. Status tersebut kemudian ditambah dengan narasi yang menyebut Lola menghina ulama dan agama.
“Mereka bilang akan membunuh saya, melempari saya dengan batu, membakar saya, dan memukul saya dengan cangkul. Belum lagi mereka bilang saya pemberontak, komunis dan terlibat di PKI (Partai Komunis Indonesia), ujarnya.
Intimidasi juga dialami di rumah. Menurut Lola, ia dan kedua anaknya yang berusia 8 dan 11 tahun tidak bisa beristirahat dengan baik karena tempat tinggal mereka sering didatangi orang asing.
Lelah secara fisik dan psikologis
Setelah pemberitaan tentang Lola menjadi isu nasional, Kapolres Solok kemudian mendatangi rumah Lola. Dia bertanya tentang keberadaan dan persahabatannya.
Kepala polisi memberi tahu Lola bahwa dia akan melindungi Lola dan kedua anaknya. Pada 27 Mei, Lola menyetujui gagasan polisi untuk menggelar konferensi pers di Mapolres Solok. Di sana ia diminta menyampaikan kejadian yang menimpa dirinya dan tindakan intimidasi yang dilakukannya.
Namun, performanya tidak berhenti. Orang asing masih mengunjungi kediaman Lola. Bahkan, tiga di antaranya mengaku berasal dari Kodim.
Belum lagi ponselnya terus berdering. Pesan singkat terus berdatangan ke nomornya. Kebanyakan isinya berupa hinaan dan ancaman. Kata Lola, bahkan ada panggilan masuk pada pukul 02.58 pagi.
Dia akhirnya merasa lelah secara fisik dan psikologis dengan semua penindasan ini. Pada satu titik dia memilih untuk tidak bertemu siapa pun. Bahkan, saat personel Polres Solok meminta bertemu, Lola menolak.
Akhirnya, mengingat keselamatan saya dan anak-anak serta situasi lingkungan yang tidak mendukung, saya ingin meninggalkan Kota Solok, kata Lola.
Ditemani relawan, Lola dan kedua anaknya akhirnya meninggalkan Sumbar menuju Jakarta pada Senin, 29 Mei. Selama berada di ibu kota, Lola ingin menjernihkan pikiran dan berlibur bersama kedua anaknya. Ia pun mengaku belum memutuskan apa yang akan dilakukannya selama berada di Jakarta.
“Namun, sebagai dokter saya tetap ingin mengabdi kepada masyarakat,” ujarnya.
Puluhan orang menjadi korban
Sementara itu, Koordinator Wilayah Organisasi Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet), Damar Juniarto mengatakan Lola merupakan satu dari 59 korban penganiayaan pada periode Januari hingga Mei 2017. Damar meminta pemerintah segera bertindak karena jika tidak, tindakan ini akan semakin meluas.
Seruan serupa juga disampaikan Ketua YLBHI, Asfinawati. Dari pola yang diteliti YLBHI bersama Koalisi Anti Penganiayaan, terdapat sekelompok orang yang berperan sebagai polisi, jaksa, dan hakim dalam satu proses. Hal ini sangat berbahaya, sebab negara terancam lumpuh akibat ulah pihak tertentu.
Alghiffari juga meminta pemerintah tidak terburu-buru menganggap persoalan ini sebagai konflik horizontal. Sebab, mereka menemukan indikasi adanya skenario lebih besar yang sengaja menyasar etnis dan agama tertentu untuk menyulut kemarahan masyarakat.
“Indikasi awal ini didapat karena akun media sosial yang meresahkan setelah terdeteksi sebagian besar adalah akun palsu. “Para korban sengaja dipilih dari suku dan agama non-mainstream,” kata Asfinawati. – Rappler.com