• October 6, 2024

Saya tinggal tepat di bawah jembatan

JAKARTA, Indonesia – Barnis memungut puing-puing pondasi rumahnya yang terletak di RT 12 RW 10 Bukit Duri, Jakarta Selatan. Keringat mengucur dari keningnya dan membuat wajahnya bersinar di bawah sinar matahari yang menembus ubin rumahnya yang belum selesai.

Debu beterbangan bagaikan asap knalpot di jalan raya saat Barnis mondar-mandir di ruang tamu yang hanya berukuran 3×4 meter itu.

Dia mengaku kepada Rappler bahwa dia tinggal di rumah kontrakan itu selama 25 tahun. “Saya bayarnya Rp 400.000 setiap bulan,” kata pria berusia 47 tahun ini.

Rumah tersebut ia sewa dari Siti Ayani, warga asli Bukit Duri yang memiliki lebih dari 40 rumah kontrakan di bantaran Sungai Ciliwung.

Di rumah mungil yang ia tinggali bersama istrinya yang berprofesi sebagai penjual kue di kantin dan keempat anaknya, ia terbiasa dengan banjir yang masuk dan menggenangi tempat tinggalnya. “Bahkan sampai ke atap,” ujarnya.

Barnis yang merupakan pengemudi minibus 06A mengatakan, rencana penggusuran sudah direncanakan sejak Soeharto berkuasa, namun tidak pernah terealisasi.

Dua minggu kemudian, dia mendengar lagi tentang rencana penggusuran. Kurang dari 14 hari dia tidak menemukan jalan keluar di mana dia akan tinggal selanjutnya. “Mungkin di bawah jembatan,” kata pria yang seharinya berpenghasilan Rp50-70 ribu itu.

87 rumah dibongkar

Barnis hanya satu dari 163 kepala keluarga yang terkena dampak penggusuran di Bukti Duri. Menurut Uut Andianto, petugas yang ditemui Rappler di lapangan, sekitar 97 bidang tanah rata dan 87 rumah rusak.

Uut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan lapangan. Apakah itu sebidang tanah atau sebidang rumah?

Kebingungan ini juga dialami Siti Ayani, pemilik rumah kontrakan Barnis. Ia mengaku memiliki tanah seluas 2.300 meter persegi di dekat Sungai Ciliwung. Sekitar 1.278 meter terkena dampak pemuaian. “Yah, itu dianggap satu bidang,” katanya sambil menghela nafas.

Ia memprotes mengapa ribuan meter persegi tanah dinilai hanya pada satu bidang tanah. Artinya, ia hanya mendapat kompensasi pada satu bidang saja.

Bahkan, ia memiliki 20 rumah dengan luas lebih dari ribuan meter persegi yang dirusak oleh Pemprov DKI Jakarta. Ia enggan menggantinya dengan satu rusun saja. Itupun setiap bulan saya harus bayar sewa Rp 280.000 per bulan untuk lantai bawah, belum listrik dan air, kata Siti.

Diketahui bahwa dia adalah pemilik sewa di Bukit Duri. Oleh karena itu, ia mengaku telah membayar pajak kepada pemerintah, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (LBT).

Kompensasinya tidak memuaskan

//

Persoalan ganti rugi ini pun membuat heboh warga Bukit Duri. Penyebabnya, terdapat perbedaan pendapat antara warga dan kelurahan.

Pemprov DKI Jakarta menawarkan apartemen untuk disewa dengan harga kurang lebih Rp 170.000-280.000 per bulan. Sedangkan warga hanya menginginkan ganti rugi berupa uang.

Seperti Siti Ayani. Ia mengaku membangun 20 rumah kontrakan kecil-kecilan dengan biaya yang cukup besar. Sekitar Rp 1 miliar lebih. Dan kini dia harus menerima penggantian satu rusun saja. Dia keberatan.

Pasalnya, kepemilikan satu bidang tanah dibagikan kepada 7 saudara laki-laki dan perempuan lainnya, sesuai dengan wasiat orang tua.

Supa, tetangga Siti, pun membeberkan perdebatan warga dengan pemerintah provinsi. “Kompensasi apartemen hanya dipaksakan,” katanya.

Meski warga lebih memilih diganti dengan uang. Apa alasannya? “Masyarakat yang tidak punya mungkin ingin kembali ke kampungnya, apa yang harus diperhatikan. Bukan ke apartemen,” ujarnya.

Harapan warga terhadap kompensasi ini memang tinggi, kata Supa. Apa alasannya? Sebab, Presiden Joko Widodo saat menjabat Gubernur DKI Jakarta sempat mendatangi RT-nya dan menenangkan warga dengan janji-janjinya.

“Pada dasarnya semua sudah diganti, pohon-pohon yang ditebang, kandang ayam sudah diganti,” kata Supa menirukan Jokowi.

Sertifikat vs surat ‘perwakilan’

PROPERTI SEWA.  Siti Ayani, warga Bukit Duri, pemilik tanah ribuan meter di bantaran Sungai Ciliwung.  Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Mengapa penghuninya hanya digantikan dengan apartemen? Siti dan warga lainnya bernama Jefri mengatakan, pemerintah tidak mengakui kepemilikan surat jenis tersebut sumpah.

Seperti kasus penggusuran Kampung Pulo sebelumnya, warga sekitar Barang Bukti Duri juga hanya punya surat jenis ini. sumpah.

Sumpah adalah faktur pajak bumi atau bangunan di masa lampau, yang saat ini disebut dengan Surat Pemberitahuan Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).

Status tanah sumpah Dulu, kepemilikannya harus diklaim oleh pihak kecamatan. Setelah mendapatkan nomor tersebut, warga baru bisa mendapatkan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Lagi-lagi masyarakat sekitar Sungai Ciliwung mempermasalahkan surat-surat terbitan zaman Belanda yang merupakan warisan nenek moyang.

Seperti yang dialami Siti. Dia mendapat versi surat pemilik tanah sumpah itu dari orang tuanya. Surat itu diterbitkan pada tahun 1921.

Jefri juga demikian. Meski baru 40 tahun tinggal di Bukit Duri, ia pun mengaku membeli tanah dengan sertifikat sumpah dari pemilik sebelumnya.

Sayangnya, kata Jefri, sebagian warga tidak bisa menunjukkan suratnya sumpah itu. “Pernah terjadi banjir besar, bahkan bisa disebut bencana nasional, surat-surat kami hanyut,” ujarnya.

Dia dan lebih dari 500 warga lainnya kini bisa membiarkan saja Satpol PP membongkar rumahnya.

Meski menurut Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, surat pembongkaran rumah di bantaran Sungai Ciliwung tersebut saat ini masih digugat di Mahkamah Agung Jakarta Timur.

“Menyerah saja,” kata Jefri. —Rappler.com

BACA JUGA:

Pengeluaran Sidney