Sebelum reshuffle kabinet ada baiknya kita membaca tulisan Sri Mulyani
keren989
- 0
Kata terpenting dalam “kebijakan publik” adalah “publik”, yaitu pihak-pihak yang terpengaruh oleh pilihan-pilihan yang diambil oleh pengambil kebijakan.
Kalimat di atas sebagai pembuka tulisan Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati dalam artikel yang dimuat di blog Bank Dunia pekan lalu. Artikel tersebut diambil dari pidato mantan Menteri Keuangan RI saat memberikan pidato wisuda di University of Virginia, Batten School of Public Policy and Leadership.
Saat itu Sri angkat bicara 6 hal yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin dalam membuat kebijakan.
Mengingat pentingnya kompetensi teknis di bidangnya agar mampu mengambil keputusan dengan informasi yang lengkap; dihadapkan pada situasi harus memilih dan pilihannya tidak ideal, transparansi dan kepemimpinan; ke pengingat yang baikbahwa apapun yang diputuskan harus mengutamakan kepentingan umum.
Tulisan Sri kembali saya baca saat mengikuti pelantikan Tito Karnavian sebagai Kapolri pada Selasa 13 Juli lalu. Sejak era media digital, saya belum pernah melihat respon luar biasa masyarakat (khususnya netizen) terhadap sosok anak Palembang yang kini punya bintang 4 itu.
Saat namanya muncul sebagai satu-satunya calon Kapolri, setidaknya ada tiga orang Topik populer di Twitter tentang nama Tito. Saat Tito akhirnya dilantik, muncul pula tulisan “Kapolri”. Topik populer di Twitter.
(BACA: 5 PR untuk Kapolri Tito Karnavian)
Sri mengatakan, mereka yang terkena dampak kebijakan publik berasal dari berbagai generasi. Baik mereka generasi X, Y atau Z, masyarakat mengharapkan hal yang sama: kesejahteraan dan martabat, kesetaraan dan kesempatan, keadilan dan keamanan.
Tulisan Sri menggambarkan era digital ketika masyarakat mengakses informasi khususnya dari smartphone (telepon pintar), terdapat kecenderungan masyarakat menjadi semakin tidak sabar, mudah tersinggung, dan mempunyai ekspektasi yang tinggi. Masyarakat mengharapkan setiap keputusan mempunyai dampak yang segera. Meski tidak selalu demikian.
Perilaku di atas, karena di era digital, masyarakat juga mudah terpecah belah. Untuk melihat sesuatu secara hitam dan putih. Berharap untuk solusi Dingin untuk setiap masalah. “Ini adalah situasi yang menantang bagi para pengambil kebijakan publik,” kata Sri.
Bagi saya, tulisan ini jelas menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat terhadap penunjukan Tito. Tito dihadapkan pada ekspektasi yang tinggi, tidak hanya dari pihak yang menunjuknya, yakni Presiden Joko “Jokowi” Widodo, namun – dan yang lebih penting lagi – datang dari ekspektasi masyarakat.
Ekspektasi yang bisa berubah dari pujian menjadi hinaan dalam hitungan menit, bergulir dari satu platform media sosial ke platform media sosial lainnya. Beralih dari satu grup komunikasi digital ke grup komunikasi digital lainnya dalam hitungan detik.
Hal inilah yang kita saksikan selama dua pekan proses arus mudik dan balik Lebaran 2016. Rasa frustrasi, lelah, marah, kecewa diungkapkan di media sosial oleh mereka yang terjebak di jalanan selama puluhan, bahkan puluhan jam. Kemarahan memuncak ketika seorang menteri membantah bahwa 12 orang yang meninggal di jalur pulang Brebes karena kelelahan akibat kemacetan lalu lintas.
Meski Kementerian Perhubungan akhirnya mengadakan konferensi pers, pada 13 Juli, menjelaskan bahwa proses mudik tahun ini berjalan lancar, namun ingatan sebagian masyarakat adalah “kengerian kemacetan Brexit, yang terburuk tahun ini”.
Brexit adalah pintu keluar tol Brebes atau pintu keluar tol Brebes Timur. Istilah Brexit di Indonesia sendiri digunakan setelah populernya Brexit ketika para pendukungnya”meninggalkan” memenangkan referendum di Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa.
Hal yang menjadi perbincangan hangat dalam dua pekan terakhir ini merupakan contoh terbaru ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi. Janjinya akan lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Janjinya lebih transparan. Janjinya mengangkat pejabat yang profesional, bukan sekedar penugasan dari partai politik, sehingga ada kendala kompetensi teknis di bidangnya.
Pemerintahan Jokowi sudah memasuki bulan ke-21. Sejumlah keputusan baik telah diambil. Salah satu yang paling awal adalah realokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk menghilangkan lemak ekonomi.
Terdapat 12 paket ekonomi yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan gairah investasi dan perdagangan, serta kemudahan di bidang keuangan bahkan lapangan kerja. Hal ini pun masih dikritik karena peraturan pelaksanaannya belum lengkap. Kemudian pengangkatan Tito Karnavian sebagai Kapolri pun mendapat pujian.
Permasalahan yang saat ini sedang hangat di benak masyarakat adalah kemacetan yang parah dan harga daging yang mahal. Maka solusinya adalah impor. Bahwa sebagian permasalahan tersebut merupakan akibat dari keputusan-keputusan di masa lalu, di era presiden sebelumnya sebagian masyarakat tidak mau mengetahuinya. Karena janjinya adalah segalanya akan menjadi lebih baik.
Padahal, seperti dikatakan Sri Mulyani, dampak suatu kebijakan tidak bisa dirasakan secara langsung. Hal itu mungkin baru terasa ketika pembuat kebijakan sudah tidak menjabat lagi. Contohnya kita lihat dengan diresmikannya sejumlah proyek jalan, jembatan, bahkan penggunaan pesawat kepresidenan. Semua bermula pada era kepemimpinan sebelumnya.
Suasana mistis inilah yang terlintas di benak masyarakat ketika ada suatu permasalahan bergerak lagi keduanya muncul. Jokowi tidak punya ruang untuk merasa tidak puas dengan reorganisasi kabinetnya, jika bergerak lagi jadi sudah selesai.
(BACA: 5 hal yang membuat ‘hapus’ menjadi tidak berarti)
Tulisan Sri di atas bisa menjadi referensi bagi Jokowi untuk mencari pengganti menteri yang terpaksa didepak dari kabinet. Mulai dari mereka yang kinerjanya buruk, hanya menonjol karena membuat gaduh, hingga bertahan di partai politik yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Namun, menurut saya, artikel ini justru semakin membingungkan Jokowi.
“Menentukan menteri mana yang sebaiknya diganti lebih mudah. Parameternya ada, termasuk penilaian masyarakat. “Lebih sulit mencari penggantinya,” kata seorang pejabat senior istana kepada saya beberapa waktu lalu.
Jokowi juga tengah bergelut dengan perkembangan situasi dunia yang tidak menentu. Siapa pun yang diundang akan memperkuat kabinet bagian dalam bergerak lagi Pada jilid 2 ini, seorang tokoh harus memiliki integritas dan kredibilitas agar dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat.
Misalnya saja sosok seperti Sri Mulyani yang terbukti bersinar di kancah dunia meski sudah “spiritual” dari kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Jika Jokowi tidak memenuhi ekspektasi publik, apa yang disampaikan Prof Richard Robinson saat memberikan kuliah di Universitas Melbourne, Australia pekan lalu akan menjadi kenyataan. Indonesia dianggap tidak kompeten memproyeksikan kekuatannya di panggung dunia.
Indonesia dan para pemimpinnya sibuk dengan urusan dalam negeri. Banyak yang tersandung juga. Misalnya saja Komite Nasional Mudik dan Komite Stabilitas Harga Daging Sapi. —Rappler.com
Baca laporan Rappler tentang perombakan kabinet: