Selamat tinggal, Ibrahim Isa
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Ibrahim Isa dikenal dengan analisis kritisnya terhadap berita-berita Indonesia. Ia membagikannya kepada masyarakat, termasuk orang buangan di Eropa Barat
JAKARTA, Indonesia – Saksi lain peristiwa 1965, Ibrahim Isa, menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 85 tahun.
Ibrahim merupakan eksil atau warga negara Indonesia yang diasingkan dari tanah kelahirannya, pasca tragedi tahun 1965. Selama pengasingannya, ia tinggal di Amsterdam, Belanda, karena aktivitasnya sebagai jurnalis dianggap sebagai ancaman bagi Orde Baru.
Kabar duka tersebut sampai ke Indonesia pada Kamis pagi, 17 Maret.
Pukul 08.00 pagi tadi saya mendengar kabar duka, dari teman-teman Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), kata Mugiyanto Sipin. aktivis hak asasi manusia yang juga ketua Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), kedi Rappler, Kamis.
Mugi mengaku kaget saat pertama kali mendengar kabar tersebut karena tak menyangka Ibrahim akan meninggal karena sakit. “Karena saya tidak pernah dengar dia sakit,” ujar pria yang mengaku mengenal Ibrahim sejak 1999 itu.
Sepeninggal Ibrahim, Mugi kembali mengenang rekan seniornya itu. “Menurut saya, beliau adalah orang buangan yang sangat gigih dan aktif menulis, karena beliau pernah menjadi jurnalis,” ujarnya.
Ibrahim dikenal dengan analisis kritisnya terhadap berita-berita Indonesia. “Dia membagikannya kepada masyarakat, termasuk orang-orang buangan di Eropa Barat,” kata Mugi.
Menurutnya, jaringan pengasingan di luar negeri cukup penting, namun seringkali tidak mendapatkan informasi. Ibrahim memanfaatkan hal ini, ia membangun kembali jaringan tersebut.
Selain berita di Indonesia, ia juga sering berbagi cerita. BBC pernah menanyainya tentang pengalamannya sebagai orang buangan. Dia berbagi rasa sakit dan kesedihan saat diasingkan oleh pemerintahnya sendiri.
“Yang pertama adalah penderitaan dalam hal harga diri. Ketika paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, nyawa saya sendiri seakan-akan direnggut. Sakit sekali,” kata Ibrahim seperti dikutip BBC.
“Saya terlibat dengan Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Rakyat sejak saya berumur 15 tahun. Saya ikut perjuangan (melawan kolonialisme Belanda). Hidupku untuk Indonesia. Saya juga pernah menjadi guru untuk mendidik, tapi kenapa jadi begini?”
“Tetapi kita tidak bisa hidup dalam penderitaan. Saya dan banyak teman saya tidak punya perasaan balas dendam. Kami sepenuhnya realistis. Yang penting nonton bareng. Sejak jatuhnya Soeharto telah terjadi kemajuan (dari sudut pandang pemeliharaan hak asasi manusia). Saya yakin, kemajuan akan terus terjadi,” kata Ibrahim.
Menurut Mugi, Ibrahim juga diketahui berbeda dengan warga buangan lainnya. “Dia berinteraksi dengan warga lokal di Belanda. Ekspatriat lain biasanya hanya berinteraksi dengan orang Indonesia,” kata Mugi.
Tak heran jika publik menyamakannya dengan aktivis Wiji Thukul dan penulis WS Rendra.
Artinya, orang-orang ini sangat gigih menyebarkan informasi tentang kejadian tahun 1965-1966 kepada masyarakat, kata Mugi.
Ibrahim menulis tanpa kenal lelah untuk menginformasikan dan mengingatkan generasi selanjutnya akan tragedi 1965.
Sekarang, jurnalis itu sudah pergi. Mugi mengaku kalah. “Tidak ada lagi pejuang, korban, penyintas yang juga tekun menegakkan keadilan, itu bagus,” ujarnya.
Selamat tinggal, Ibrahim Isa. —Rappler.com
BACA JUGA: