• September 24, 2024
Sembilan tahun menjadi budak di Pulau Buru

Sembilan tahun menjadi budak di Pulau Buru

JAKARTA, Indonesia—Basuki Wibowo merupakan salah satu mahasiswa yang antusias mengikuti perkumpulan bernama Konsentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di kampusnya.

Menurutnya, CGMI merupakan organisasi yang didirikan oleh mantan pejuang pasukan di Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta. Kemudian diadakan konferensi yang menyatukan mereka menjadi Organisasi Pergerakan Mahasiswa Indonesia yang disingkat CGMI.

Apakah CGMI bagian dari Partai Komunis Indonesia? “Bukan anggota Partai Komunis Indonesia,” ujarnya saat menjadi saksi dalam sidang Mahkamah Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda yang disiarkan di situs IPT 1965.

“CGMI dibiarkan karena yang dimaksud kiri adalah mereka yang mencintai demokrasi,” ujarnya.

Pada tanggal 20 Oktober (dia tidak menyebutkan tahunnya), dia dan 126 anggota Kongres CGMI, Pemuda Rakyat dan organisasi pemuda lainnya dilucuti oleh pihak berwenang.

Dia diperiksa, tidak tahu apa yang salah. Yang dia tahu, dia dan rombongan berada di grup B. Artinya mereka diduga terlibat dan terkait dengan Partai Komunis Indonesia, namun tidak ditemukan bukti.

Bersama ratusan pemuda lainnya, ia kemudian dijebloskan ke Penjara Wirogunan, Yogyakarta. “Setelah saya di Wirogunan, saya dibawa ke Lapas Nusakambangan dengan kereta api yang sudah dipaku semua,” ujarnya.

Perjalanan kereta api menuju Nusa Kambangan memakan waktu sekitar 6 jam. Mereka berangkat pukul 04.00. Selama perjalanan ia dikawal oleh pasukan militer.

“Setelah di Nusakambangan, saya dipindahkan ke kamp Ambarawa, sebenarnya kamp militer. Sesampainya di Ambarawa, kami dibawa kembali ke Nusakambangan. “Di Nusakambangan kami langsung dibawa ke Pulau Buru,” ujarnya.

Dia tinggal di sana sampai sembilan tahun.

Awal kehidupan baru di Pulau Buru

Di Pulau Buru ada 22 unit. Satu unit berisi 500 orang. Menurut kesaksian sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, jumlah penduduk Pulau Buru lebih dari 10 ribu jiwa.

Sebuah sumber mengatakan, ada 11.600 tahanan politik kelas B yang menghuni pulau yang luasnya tiga kali lipat Bali.

Mereka dikirim dalam tiga periode. Jumlahnya ada 2.500 orang pada tahun 1968, 5.000 orang pada tahun 1969, dan 2.500 orang pada tahun 1970. Tidak semuanya laki-laki, kurang dari 500 orang adalah narapidana perempuan.

Menurut Asvi, para tahanan tersebut langsung dibebaskan setibanya di Pulau Buru. Mereka tidak dibekali peralatan untuk bertahan hidup, bertani atau beternak.

Para tahanan menemukan cara mereka sendiri untuk bertani dengan tangan kosong dan membangun barak.

Selama 15 hari pertama, kata Asvi, tapol harus membuat barak pada siang hari dan mengangkut logistik pada malam hari ke unit lain yang jaraknya beberapa kilometer.

Logistik makanan diangkut dari markas komando logistik di pelabuhan Namlea.

“Mereka harus bangun jam 4 pagi, harus telpon, hitung berapa, sampai jam 6 sore baru istirahat. Selama itu belum dibayarkan,” ujarnya.

Dari tangan kosong hingga gaji Rp 4.000

Basuki membenarkan, dirinya dan rekan-rekannya harus bertani dengan tangan kosong. “Kami membuat saluran irigasi sendiri,” katanya.

Saat menjalankan tugas bertani, Basuki dan kawan-kawan kerap mendapat penyiksaan dari pihak berwajib.

“Yang saya ingat betul waktu kita tanam padi, kita tanam bibit padi, saat kita cabut bibit padinya, tentara bilang kita sabotase. “Banyak cara yang salah, kita kena,” ujarnya.

“Saat kami disuruh membuat taman bunga, kebetulan ada teman kami yang ahli bunga. “Petani bunga itu membuat tumpukan, seperti biasa bukit-bukit seperti itu, tapi yang dituduhkan teman ini adalah membuat tugu untuk 7 jenderal yang terbunuh,” ujarnya.

Pekerjaan ini dilakukan secara gratis setiap hari. “Sebagian kecil hasil usaha kami dijual oleh komandan satuan. Tapi kami punya beberapa,” katanya.

Menurut Asvi, misalnya, Komandan Satuan membeli kayu untuk tapol dengan harga Rp 4.000 per meter kubik jika menebang kayu. Kemudian kayunya dijual lagi di luar seharga Rp 20.000.

Bahkan dengan uang sebanyak itu mereka tidak bisa makan cukup. “Untuk pangan bulan pertama, pemerintah memberikan makanan berupa nasi dan lauk pauknya yang seadanya. Tapi kemudian, kami hidup sendirian sebagai petani. “Dan lauk pauknya biasa-biasa saja,” kata Basuki.

Namun bukan hal yang aneh jika dia mendapat lauk baru. “Ada tikus, ada burung, ada ular lagi, yang paling panjang kita tangkap sekitar 6-9 meter,” ujarnya.

Islam dan Kristen atau keduanya

Untuk urusan ibadah, warga Pulau Buru diwajibkan menganut satu agama. Namun dalam praktiknya, kata Basuki, agama adalah masalah perut.

“Pada hari Jumat, salat Jumat. Minggu, hadiri program di gereja. Karena ada makanannya,” ujarnya.

Namun, para sipir cukup gigih dalam menghimbau para tapol untuk taat beragama. Hingga diminta membangun tempat ibadah.

“Suatu malam kami disuruh membuat dua gereja dalam semalam. Bukan seribu malam, tapi satu malam,” ujarnya.

Bagaimana cara menyelesaikan pembangunan gereja dalam satu malam? “Cara kami melakukannya adalah bagaimana kami melakukan pekerjaan kami. Ada yang digergaji, ada yang dipotong saja, ada pula yang dilubangi. “Itu untuk kami (gereja),” katanya.

Pembangunan gereja yang cepat tidak sempurna karena hanya terbuat dari papan kayu dan peralatan sementara.

Regangkan hidup

Selain pangan yang tidak mencukupi, kesehatan dan kehidupan para tapol juga terancam.

Jika tapol sakit, mereka harus mengantri. Mengapa? Sebab, tenaga medis sangat terbatas.

“Sebenarnya di Pulau Buru ada program kesehatan resmi. Namun dengan jumlah dokter yang sangat terbatas. Jelas tidak cukup jika lima dokter bisa merawat 10.000 orang di sana, kata Asvi.

Ancaman lainnya adalah penembakan di tempat. Hal ini berlaku bagi mereka yang mencoba melarikan diri.

Asvi mengatakan ada seorang narapidana yang ingin melarikan diri namun gagal. Bukan hanya napi yang disiksa, tapi juga rekan-rekannya. “Telinganya penuh air panas dan jangkrik,” ujarnya.

Ada juga yang tewas ditembak di tempat. Pada tahun 1974, misalnya, terjadi konflik ketika salah satu komandan pengawal di sebuah unit terbunuh.

Yang terjadi seluruh unit dipanggil, 14 orang diduga ditembak mati, yang lain disiksa, kata Asvi.

Tidak ada upaya perlawanan di kamp konsentrasi ini.

“Mereka tidak diperbolehkan melakukan kontak dengan penduduk asli setempat. “Mereka tidak boleh berhubungan dengan orang Bugis,” ujarnya.

“Mereka tidak punya kesempatan untuk melarikan diri. Mereka tidak diberi kesempatan untuk mengetahui apakah mereka akan dibebaskan. Jika mereka dibebaskan pada tahun 1979, itu karena tekanan dari komunitas internasional.” katanya lagi.

“Mereka benar-benar terisolasi.” —Laporan siaran langsung IPT 1965/Rappler.com

BACA JUGA

Sidney siang ini