Sengitnya pro dan kontra terhadap Perppu Ormas
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Mulai dari perselisihan pendapat di sejumlah ormas, hingga pasal karet dan Mahkamah Konstitusi
JAKARTA, Indonesia — Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menuai kontroversi.
Perppu yang ditandatangani Presiden Joko “Jokowi” Widodo menggantikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan antara lain mengatur mekanisme pembubaran Ormas.
Dalam Perppu baru ini misalnya, pemerintah hanya perlu memberikan satu peringatan kepada ormas yang melanggar hukum untuk mendapatkan sanksi administratif.
Selain itu, dalam Perppu tersebut juga disebutkan bahwa pencabutan status badan hukum ormas tidak lagi harus melalui pengadilan, melainkan dapat dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai Perppu baru ini merupakan bentuk penyalahgunaan pemerintah terhadap ormas. Tentu ini bentuk ketidakadilan, kata Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Menurut Ismail, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang menjadi payung hukum ormas sudah cukup sehingga tidak perlu mengeluarkan Perppu baru. “Tidak ada urgensi yang memaksa, juga tidak ada kekosongan hukum,” ujarnya.
(Membaca: Perppu Ormas, HTI: Pemerintahan Tidak Adil)
Sementara itu, pakar konstitusi Yusril Ihza Mahendra menilai Perppu baru merupakan langkah mundur menuju demokrasi. Sebab, ada beberapa pasal dalam Perppu yang bersifat karet.
Yusril mencontohkan, pada Pasal 59 ayat (4), terdapat penjelasan mengenai keyakinan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Di sana tertulis: “Termasuk ajaran ateisme, komunisme/Marxisme-Leninisme, atau ideologi lain yang bertujuan untuk menggantikan/mengubah Pancasila dan UUD 1945..”
Yusril menilai pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet karena maknanya ‘ideologi lain yang bertujuan untuk menggantikan/mengubah Pancasila dan UUD 1945‘ dapat diartikan secara luas dan sepihak.
“Pasal ini karet karena secara singkat mengatur tentang keyakinan apa saja yang bertentangan dengan Pancasila. “Bagian penjelasan tidak mengatur norma apa pun,” dia berkata.
Yusril bersama HTI dan sejumlah ormas lainnya juga berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Yusril, uji materi akan diserahkan paling lambat Senin pekan depan.
(Membaca:Pemerintah terbitkan Perppu Ormas, HTI ajukan uji materi ke MK)
Jika HTI dan Yusril menolak keberadaan Perppu Nomor 2 Tahun 2017, lain halnya dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ormas terbesar di Tanah Air mendukung langkah pemerintah menerbitkan Perppu Ormas.
Ketua Lakpesdam Pengurus Besar Nahlatul Ulama (PBNU), Rumadi Ahmad menilai mekanisme pembubaran ormas yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 terlalu rumit, sementara keberadaan ormas radikal sudah semakin memprihatinkan. .
Oleh karena itu, diperlukan langkah cepat dan hukum untuk menertibkan ormas tersebut. Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan Perppu. “Pilihan pemerintah membuat Perppu merupakan upaya yang saholeh orang yang lewat prosedur yang begitu rumit,” kata Rumadi.
Langkah PBNU mendukung pemerintah diikuti oleh Ormas Gerakan Pemuda Ansor Kota Surabaya (GP Ansor). Menurut mereka, pemerintah harus bertindak cepat dalam menghadapi ormas radikal.
“Keluaran Perppu ini tepat dan konstitusional, serta akan mempercepat proses hukum penanganan ormas radikal dan anti Pancasila,” kata Ketua PC GP Ansor Surabaya Alaik S Hadi.
Lalu bagaimana dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Mereka rupanya mendukung Perppu Ormas. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi.
“MUI dapat memahami urgensi Perppu no. 2 Tahun 2017 untuk mengatur organisasi kemasyarakatan. Sebab undang-undang yang mengatur hal ini adalah UU No. “17 Tahun 2013 dinilai kurang,” kata Zainut dalam keterangan tertulisnya. —dengan pelaporan oleh Ursula Florene/Rappler.com