• September 30, 2024

Setahun setelah peristiwa berdarah Paniai, keadilan masih jauh dari Papua

Mungkin jika mereka masih hidup, Yulianus Yeimo (17 tahun), Apinus Gobai (16), Simon Degei (17) dan Alpius You (18) akan belajar hari ini. Mungkin mereka akan pusing mempersiapkan ujian nasional April mendatang. Atau anak-anak baru besar Mereka memikirkan pacar mereka, atau orang yang mereka sukai.

Namun sayang, pada 8 Desember tahun lalu, remaja Papua tersebut –tiga di antaranya masih berusia SMA– tewas akibat ditembak. Setahun setelah kejadian itu, keadilan belum ditegakkan. Mungkin dia tersesat dalam hiruk pikuk pertikaian politik negeri ini.

Satu tahun setelah tragedi Paniai, pemerintah Indonesia masih belum mengambil pelajaran. Kekerasan demi kekerasan terus berlanjut. Dalam tiga tahun terakhir, kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil di Papua menunjukkan angka yang memprihatinkan.

(BACA: Siapa yang Menembak Warga Papua di Paniai?)

Dalam laporan HAM tahunan Lembaga Kajian dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) tahun 2012, tercatat tujuh kategori kekerasan dengan rincian sebagai berikut: Sebanyak 139 peristiwa kekerasan yang memakan korban jiwa 40 warga sipil dan 155 orang luka-luka; 10 polisi tewas dan 6 luka-luka, 3 TNI tewas dan 10 luka-luka, serta 3 Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) tewas dan 2 luka-luka.

Sementara itu, pada tahun 2013, data ELSAM mencatat delapan kategori kekerasan dengan rincian: Sebanyak 151 kekerasan merenggut nyawa 106 warga sipil dan melukai 220 orang; 1 polisi tewas dan 10 luka-luka, 13 TNI tewas dan 5 luka-luka; dan akhirnya 5 KSB meninggal.

Bagi saya, penyajian statistik kekerasan selalu memberikan perasaan pahit. Orang-orang yang tertindas berkurang jumlahnya menjadi sekedar laporan. Mereka tidak lagi dipandang sebagai manusia, melainkan sekedar komoditas, pengingat dan juga tanda bahwa pemerintahan kita masih belum matang.

Sepanjang tahun 2014, ELSAM mencatat 102 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua. Pada tahun 2015, kekerasan juga terus berlanjut dan menimbulkan korban sipil dan militer:

  • Penembakan dan pembunuhan aktivis di Kabupaten Yahukimo diduga dilakukan anggota Brimob pada 20 Maret 2015.
  • Kasus penembakan di Kabupaten Dogiyai pada 25 Juni 2015.
  • Kasus bencana massal di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli 2015.
  • Kasus penembakan di Kabupaten Timika pada 28 Agustus 2015.
  • Serta kasus penembakan mati di Kabupaten Kepulauan Yapen yang menewaskan empat orang.

Yang tewas dan sekarat akibat kekerasan di Papua bukan hanya warga Papua, bukan hanya kelompok sipil bersenjata, tapi juga TNI dan Polri. Upaya memutus rantai kekerasan di Papua memerlukan perubahan mendasar dalam cara pandang aparat keamanan, politik dan kebijakan di Papua.

“Tidak ada kematian yang terlalu baik, dan tidak ada kematian yang pantas. Manusia tidak mengenal profesi. Terlalu banyak kematian yang melahirkan siklus balas dendam. Apakah kita akan memperpanjang kebencian ini?”

Namun, selama pendekatan keamanan berbasis militer dan represif masih menjadi pilihan solusi, putra-putra terbaik polisi dan militer kita akan selamanya mati sia-sia.

Baik warga Papua maupun aparat TNI/Polri yang tewas akibat kekerasan di Papua memiliki keluarga. Tidak ada kematian yang terlalu baik dan tidak ada kematian yang pantas. Manusia tidak mengenal profesi. Hak asasi manusia tidak mengenal peringkat.

TNI/Polri yang terbunuh di Papua berhak mendapatkan keadilan, begitu pula ratusan warga sipil yang terbunuh tanpa kejelasan dan kepastian hukum. Terlalu banyak kematian yang melahirkan siklus balas dendam. Apakah kita akan memperpanjang kebencian ini?

Tentu saja membicarakan angka memang melelahkan. Selain itu, angka tersebut berkaitan dengan korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu lebih dari sekedar angka. Mereka adalah orang-orang yang dibunuh, disiksa, atau bahkan dicabut hak-hak sipilnya.

Masyarakat di Papua sudah berkali-kali dirugikan. Lalu kami masyarakat Jakarta belakangan ini dengan arogan membicarakan saham perusahaan tambang emas PT Freeport Indonesia, padahal kasus kejahatan kemanusiaan yang ada malah tidak dibicarakan sama sekali.

Kemanusiaan macam apa yang membicarakan kasus pencurian tanpa melibatkan tuan rumah? Emas yang diambil Freeport merupakan emas milik bangsa Papua yang diambil dari tanah kelahirannya. Pengadilan yang menilai pencuri harus melibatkan tuan rumah sebagai korban.

Namun beberapa hari terakhir kita disuguhi tontonan konyol betapa heroiknya Direktur Utama Freeport, saat tanggal 1 Desember empat orang ditembak di Papua. Apakah ada pengadilan yang terbuka untuk mereka?

Lalu masyarakat Jakarta arogan membicarakan saham Freeport, sedangkan kasus kejahatan kemanusiaan yang ada tidak dibicarakan sama sekali.

Kabar meninggalnya seorang balita Papua karena penyakit misterius juga tidak menggoyahkan dan mengkhawatirkan republik ini. Tentu saja, kenapa repot-repot? Kasus penyakit misterius ini hanya terjadi di Papua dan membunuh anak-anak ibu Papua.

Mungkin pemerintah kita, Kementerian Kesehatan kita, dan media akan membuat keributan besar jika kasus ini terjadi di Pulau Jawa dan memakan korban jiwa pada balita kita. Itu memang pemikiran yang jahat dan saya ingin sekali salah, tapi siapa yang peduli?

Hari ini, pada tahun 1964, seorang lelaki hebat telah lahir. Namanya Munir Said Thalib. Dia adalah salah satu pembela hak asasi manusia terbaik yang dimiliki negara ini. Munir berjuang membela kemanusiaan siapapun, apapun kelompok Islam, kelompok non-Islam, siapapun yang mengalami ketidakadilan, sedapat mungkin ia akan memperjuangkan haknya untuk mendapat keadilan.

Sayangnya, Munir harus meninggal dunia karena keracunan arsenik pada 7 September 2004. Hingga saat ini, kasus tersebut belum bergerak sedikit pun menuju keadilan.

Pollycarpus, orang yang diduga bertanggung jawab, sempat ditahan dan kini bebas. Namun siapa pelaku lainnya? Arsitek yang merencanakan pembunuhan ini tidak pernah terungkap.

(BACA: Beri Arti Munir: Impunitas dan Sulitnya Memperjuangkan Keadilan)

Mungkin, seperti kasus Paniai, kematian Munir hanya sekedar statistik. Ia tak perlu diadili secara terbuka, seperti bagaimana Dewan Kehormatan DPR RI (MKD) menggelar persidangan secara terbuka di hadapan masyarakat Indonesia. Sudah selesai, kata wakil presiden kita.

Apa yang bisa diharapkan dari rezim pemerintahan yang mengkhianati cita-citanya? Menegakkan hak asasi manusia, memulihkan hukum, dan menerapkan keadilan tanpa impunitas.

Mungkin saya terlalu naif untuk percaya bahwa ada orang yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Retorika kampanye dan mimpi indah menjadi salah satu strategi politik untuk meraih kekuasaan. Mungkin saya salah, tapi melihat cara kerja pemerintahan ini, saya meragukan empati dan kemauan politik para pemimpin kita terhadap Papua dan kasus pelanggaran HAM lainnya.

Mungkin ini bukan soal empati, bukan soal kemauan politik untuk mengakhiri kekerasan di Papua. Ini tentang keras kepala. Keras kepala. Para pemimpin yang lebih memilih untuk mempermasalahkan otoritas negara, daripada menegakkan keadilan bagi masyarakat Papua dan korban kejahatan hak asasi manusia lainnya tanpa mendapat hukuman. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.

BACA JUGA:

Nomor Sdy