Setelah 12 tahun berlalu, tsunami masih menghantui masyarakat Aceh
- keren989
- 0
BANDA ACEH, Indonesia – Anita berlutut di rerumputan di seberang batu besar yang baru saja ditaburi berbagai bunga. Mulutnya tak berhenti melantunkan doa. Tak lama kemudian air matanya meleleh. Wanita berusia 42 tahun ini menangis sejadi-jadinya. Kerudung biru yang dikenakannya berulang kali menutupi matanya yang sembab.
Tak jauh dari tempatnya duduk, puluhan orang pun menitikkan air mata. Mereka duduk berkelompok atau sendiri-sendiri. Hari ini mereka datang ke Pemakaman Ulee Lheu di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh untuk mengenang kakaknya yang tewas diterjang tsunami 12 tahun lalu.
Saat itu, 26 Desember 2004, gelombang dahsyat melanda Banda Aceh. Air banjir menyeret semua yang dilaluinya. Sebanyak 200 ribu orang tewas dalam bencana mengerikan tersebut. PBB menyebut tsunami di Aceh sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi.
Sebanyak 14.500 dari 200 ribu korban tsunami dimakamkan secara massal di pemakaman Ulee Lheu. Di antara yang terbaring di sana adalah keluarga Anita. “Saya kehilangan suami dan dua anak,” kata Anita kepada Rappler yang ditemuinya di pemakaman, Senin, 26 Desember 2016.
Anita masih ingat jelas saat banjir melanda desanya di Blang Oi yang masih bertetangga dengan kota Ulee Lheu. Dari gempa berkekuatan 9,2 SR, air datang dan menyeret tubuhnya.
Anita selamat bersama putranya, Aprizal. Namun, suaminya dan dua anaknya lainnya tewas terseret arus. Anita bahkan belum bertemu suaminya. Sebab saat tsunami datang, suaminya sedang tidak ada di rumah.
Alhasil, bayangan tsunami tak pernah hilang dari ingatannya. Padahal, hingga saat ini ia belum pernah bisa menikmati keindahan pantai dan laut. Deru ombak selalu mengingatkannya pada tsunami.
“Saya tidak bisa melihat laut. “Masih trauma,” ujarnya. Anita berusaha melupakan kejadian mengerikan itu dengan datang ke pemakaman setiap bulannya. Namun kesedihan masih ada. “Saya selalu datang ke sini, tidak setahun sekali, tapi setiap bulan,” .
Setelah gelombang dahsyat surut, Anita tinggal di pengungsian selama tiga tahun. Setelah itu, ia enggan kembali ke rumah lamanya yang hancur diterjang tsunami, meski rumahnya sudah dibangun kembali.
Anita memilih menyewakan rumah tersebut dan tinggal di rumah yang dibelinya di Cot Mesjid, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh, yang jauh dari pantai. Ia tak ingin lagi hidup berdampingan dengan laut yang pernah membunuh anak dan suaminya.
Dia ingin menghilangkan bayang-bayang tsunami. Gempa bumi yang kerap mengguncang Banda Aceh justru membuat kenangan akan tsunami semakin terpatri dalam ingatannya. Saat gempa berkekuatan 6,5 SR mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, pada 7 Desember lalu, Anita langsung bersiap mengungsi, meski belum ada peringatan akan terjadi tsunami.
Anita bukan satu-satunya yang terkena dampak tsunami. Hampir setiap penyintas mengalami trauma serupa. Yulianto, 60 tahun, salah satunya. Saat gempa melanda Pidie Jaya, ia langsung teringat akan tsunami yang membuatnya mengungsi ke daerah lain.
Yulianto juga enggan tinggal dekat dengan pantai. Baginya, cukuplah ia hanyut terbawa arus hingga hampir mati. Selain itu, setiap kali melihat laut, ia selalu teringat wajah istri dan ketiga putrinya yang tewas akibat tsunami.
Kepedihan Yulianto semakin bertambah ketika jenazah istri dan ketiga anaknya tidak ditemukan. Namun, dia yakin mereka berbohong bersama ribuan korban lainnya di pemakaman Ulee Lheu. “Tahun pertama tsunami, setiap saya ke kuburan massal, saya selalu menangis,” kata purnawirawan PNS ini.
Kini Yulianto tinggal bersama seluruh keluarganya di Lampriet, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, yang jaraknya cukup jauh dari pantai.
Bukan kenangan akan luka itu
Pemakaman Ulee Lheu memiliki luas kurang lebih 15.800 meter persegi atau satu setengah luas lapangan sepak bola. “Tempat ini dulunya adalah Rumah Sakit Meuraxa,” kata pengelola kuburan massal yang juga mengelola Masjid Ulee Lheu di Banda Aceh, M Yacob, kepada Rappler.
Pemakaman itu dipagari dengan rapi. Rumput tumbuh di tanah yang datar dan tidak terganggu. Di pemakaman ini hanya terdapat dua prasasti yaitu ‘kuburan dewasa’ dan ‘kuburan anak-anak’.
Setiap tanggal 26 Desember, pemakaman ini banyak dikunjungi masyarakat Aceh. Mereka datang untuk berziarah dan mengenang amukan tsunami. Ritualnya dilakukan dengan menaburkan bunga di atas batu-batu besar.
Peringatan tsunami tahun 2016 dihadiri oleh Pj Gubernur Aceh, Soedarmo. Soedarmo dalam sambutannya mengatakan, peringatan tsunami bukan untuk membuka kembali kesedihan atau luka lama, melainkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana tersebut. “Hal ini juga menyadarkan kita untuk lebih peduli terhadap lingkungan,” kata Soedarmo.
Soedarmo mengatakan, tsunami yang melanda Aceh 12 tahun lalu merupakan tragedi paling memilukan dalam peradaban umat manusia. Bencana tersebut tidak hanya meluluhlantahkan Aceh, namun juga berdampak pada India, Sri Lanka, Thailand dan lain sebagainya.
“Tentu sangat manusiawi jika kita bersedih mengingat peristiwa ini. Namun yang lebih penting adalah bagaimana mengambil hikmah dari kejadian ini sebagai landasan untuk menata diri kita lebih baik lagi ke depan, kata Soerdarmo.
Masyarakat juga diajak untuk lebih peduli terhadap persoalan kebencanaan. Apalagi Aceh merupakan salah satu daerah yang terletak di daerah rawan bencana. Terakhir adalah gempa berkekuatan 6,5 SR yang melanda Pidie Jaya pada 7 Desember lalu.
Usai mendengarkan pidato Soedarmo, para jamaah kembali menyanyikan tahlil. Ada doa lagi. Isak tangis kembali terdengar dan air mata kembali jatuh. Setelah 12 tahun, rasa sakit dan trauma masih ada. —Rappler.com