• September 25, 2024

Setelah Konferensi IPT Tahun 1965, Apa Selanjutnya?

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Seniman teater itu mengatakan, sidang pengadilan korban tragedi 1965 di Den Haag bukanlah sebuah “drama” seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

JAKARTA, Indonesia—Tim Pengadilan Rakyat Internasional untuk Korban Tragedi 1965 telah menyelesaikan tugasnya di Den Haag dan kembali ke tanah air. Hakim mengambil keputusan awal bahwa Indonesia dan negara-negara yang mengetahui hal ini harus bertanggung jawab. Lalu apa fase selanjutnya?

Menurut tim IPT 1965, setelah rekomendasi awal, tahap selanjutnya adalah keputusan akhir hakim yang akan dibacakan pada Maret 2016.

“Keputusan ini penting untuk nantinya menjadi dasar pengungkapan kebenaran dan kerja ke depan. Intinya meyakinkan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan 65 secara bermartabat, kata Nursyahbani Katjasungkana, mewakili tim IPT 1965 di Rappler, Rabu 18 November.

“Kami juga akan berusaha meyakinkan komunitas internasional untuk mendukung upaya penyelesaian 65. Hal ini termasuk melobi mekanisme khusus PBB untuk meninjau dan mengakomodasi inisiatif untuk menyelesaikan 65,” ujarnya.

Minta perlindungan LPSK

Sekembalinya dari Den Haag, tim IPT dicegat kelompok Aliansi Anti Komunis Indonesia (AAKI) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta malam tadi, Minggu 15 November. Intersepsi ini membuat tim merasa tidak nyaman karena diteriakkan “Gores PKI” dan spanduk “Selamat Datang Pengkhianat Bangsa”.

Menurut Nursyahbani, ancaman tersebut sudah diperkirakan oleh tim. Sejak awal, tim telah berkoordinasi dan bekerja sama dengan instansi terkait untuk perlindungan saksi.

Lembaga-lembaga tersebut antara lain Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Perempuan, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS). ).

“Semua lembaga ini akan memantau keselamatan para saksi,” ujarnya.

Dalam kejadian di bandara kemarin, menurut Nursyahbani, pengamanan saksi dan korban dilakukan oleh pihak kepolisian setempat.

Bukan drama

Meski para aktivis dan keluarga korban serius mempersiapkan langkah selanjutnya, pemerintah nampaknya tak menganggap serius sidang pengadilan ini.

Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, persidangan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) terhadap korban tragedi 1965 di Den Haag, Belanda ibarat sebuah drama. “Seperti drama,” kata Kalla saat diwawancarai Rappler di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 13 November.

Kalla kemudian mengatakan persidangan hanya sekedar gerakan moral, tidak lebih dari itu. Indonesia, menurut Kalla, bahkan tidak perlu meminta maaf kepada pihak manapun.

Menurutnya, sidang tersebut hanya penting bagi masyarakat yang hadir, namun tidak bagi pemerintah Indonesia. Hingga saat ini, belum ada rencana pemerintah untuk mengambil tindakan apa pun sehubungan dengan sidang IPT.

Pernyataan Kalla ditanggapi oleh artis sekaligus aktor teater Naomi Srikandi. Menurut dia, sidang IPT 1965 bukan sekedar ‘drama pementasan’ begitu Kalla menyebutnya.

Naomi menegaskan, ‘drama pementasan’ IPT kali ini bukan sekedar kepura-puraan, melainkan data faktual, kesaksian para penyintas, dedikasi penelitian para ahli selama bertahun-tahun, kiprah penyelenggara dan juri yang mengkaji perannya.

Terlebih lagi, ‘pertunjukan’ tersebut mengandung kepekaan kemanusiaan dan keadilan yang tinggi.

“Jika diibaratkan sebuah pertunjukan, IPT 65 menawarkan manajemen produksi pertunjukan kaliber dunia yang terampil, lintas disiplin dan spektakuler,” ujarnya.

Naomi melanjutkan, “Mungkin karena drama yang ia pahami hanyalah drama dalam artian ia menjalaninya, ia memerankannya dalam setiap penampilan di panggung politik selama ini: berpura-pura. “Dan permainannya hanyalah keasyikannya memerankan orang lain dalam imajinasinya: Sang Penguasa,” ujar aktor teater ini. —Rappler.com

BACA JUGA