Setiap 10 hari Ramadhan, umat Islam di Bali berbuka puasa dengan tradisi megibung
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Tradisi megibung yang sudah ada sejak ratusan tahun ini dilakukan setiap 10 hari sekali di bulan Ramadhan
DENPASAR, Indonesia — Menjelang azan Maghrib, suasana Masjid Al-Muhajirin di Kampung Islam Kepaon, Denpasar, Bali, dipenuhi warga. Tak hanya melaksanakan salat Maghrib berjamaah, namun juga berbuka puasa dengan megibung.
Tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun ini dilakukan setiap 10 hari di bulan Ramadhan.
“Tujuan megibung adalah sebagai ungkapan rasa syukur karena mendapat kesehatan dan kesejahteraan yang luar biasa,” kata Tokoh Masyarakat Kampung Islam Kepaon, Haji Ishak Ibrahim, Senin 5 Juni.
Saat megibung, warga makan bersama dalam wadah yang sama. Tidak ada aturan tertentu dalam megibung. Biasanya dalam satu wadah ada empat atau lima orang yang makan. Lauk pauk yang disajikan pun beragam. Tak ada kecanggungan di antara mereka saat megibung. Anak-anak bahkan orang tua pun ikut serta dalam tradisi megibung ini.
Menurut Ishak, megibung juga merupakan simbol keharmonisan. Selama Ramadan, warga Kampung Islam Kepaon rutin mengadakan tadarus Al-Qur’an. Mereka membaca tiga juz pada malam hari setelah shalat tarawih hingga subuh. Jadi dalam 10 hari 30 juz Al-Quran selesai.
Megibung, kata Ishak, juga merupakan bentuk syukuran karena membaca Al-Quran setiap 10 hari di bulan Ramadhan. Selanjutnya pada hari ke 20 dan 30 kembali diadakan megibung untuk berbuka puasa bersama.
Masakan megibung ini berasal dari sumbangan warga Kepaon. Sejak sore, warga memasak makanan untuk dibawa ke Masjid Al-Muhajirin. Pola memasaknya terbagi tiga, penghuninya menyamping kelod (selatan), tengah, dan gema (utara) setiap 10 hari. Pada minggu pertama Ramadhan, donasi dimulai dari warga di selatan Kampung Islam Kepaon.
“Kalau tradisi ini kita lanjutkan, kita tidak bingung mencari dana,” kata Ishak.
Ia menambahkan, toleransi antar umat beragama juga diintegrasikan dalam megibung. Dia mencontohkan, tak jarang keluarga Puri Pemecutan menyumbangkan makanan untuk berbuka puasa.
Ishak menjelaskan, warga Kampung Islam Kepaon merupakan bagian dari keluarga besar Puri Pemecutan, kekuasaan Kerajaan Badung. Hubungan persaudaraan antara umat Hindu dan Islam telah terjalin selama ratusan tahun.
Persaudaraan ini bermula ketika nenek moyang Puri Pemecutan, Gusti Ayu Made Rai menikah dengan Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan, Madura, yang beragama Islam. Setelah menikah, Gusti Ayu Made Rai masuk Islam, kemudian dikenal dengan nama Raden Ayu Siti Khodijah.
Megibung pun menarik minat Riza Wulandari. Ia bukan warga Kampung Islam Kepaon, namun tertarik dengan megibung.
“Ada akulturasi budaya dan toleransi dalam tradisi ini,” kata perempuan asal Ponorogo yang sudah satu tahun menetap di Bali ini.
Ia pun tak masalah makan bersama lima orang dalam satu wadah. Tidak ada rasa canggung saat menikmati hidangan berbuka puasa.
“Justru itulah yang menjadikan indah sebagai makna kebersamaan. “Saya juga baru bertemu dengan warga di sini,” kata Riza.
Sementara itu, warga Kepaon, Muhammad Zakaria mengaku sangat menikmati buka puasa bersama dalam tradisi megibung ini.
“Kalau makan di rumah dan di sini rasanya berbeda. “Di masjid kami merasa lebih diberkati bersama,” ujarnya. —Rappler.com