Setiap tahun, penumpang pesawat naik 15 persen
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Kalau bisa terbang dengan pesawat, kenapa harus naik kereta atau mobil? Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia telah mendorong industri penerbangan. Masyarakat lebih banyak memilih merogoh kocek Rp 800.000 – Rp 1 juta untuk membeli tiket pesawat pulang pergi dari Jakarta ke Yogyakarta, misalnya, ketimbang membeli tiket kereta api yang harganya sekitar Rp 200.000 – Rp 275.000.
Alasan terkuat adalah waktu tempuh yang jauh lebih singkat. Satu jam perjalanan dengan pesawat, dibandingkan dengan 10 jam dengan kereta api, atau 12 jam dengan mobil. Tentu harus memperhitungkan kemacetan lalu lintas menuju bandara yang ujung-ujungnya memakan waktu 3 jam untuk penumpang pesawat. Masih lebih cepat untuk naik pesawat.
Sepanjang 2014, mengutip catatan Kementeriansektor industri pelayanan penerbangan pada rute nasional meningkat 18 persen dibanding tahun 2013. Kemudian pada rute internasional meningkat 32 persen. Sementara itu, lalu lintas barang nasional mengalami peningkatan sebesar 91 persen dan 71 persen untuk rute internasional. Bisnis penerbangan juga meningkat 15 persen per tahun.
Kesempatan ini membutuhkan digunakan oleh perusahaan perawatan pesawat yang dikenal dengan Maintenance, Repair and Overhaul (MRO) Indonesia.
Hal itu ditegaskan Menteri Perindustrian Saleh Husin saat menerima Indonesian Aircraft Maintenance Services Association (IAMSA) di Jakarta, Selasa malam, 12 April 2018.
“Ada banyak alasan mengapa kita perlu mendorong industri ini. Layanan penerbangan domestik dan internasional terus berkembang, jumlah penumpang bertambah dan jumlah pesawat otomatis bertambah, jadi ini peluang bagi industri MRO kita,” ujarnya.
Paket Kebijakan Ekonomi VIII memberikan amunisi bagi industri penerbangan dan perawatan pesawat untuk berkembang.
kata Saleh Husin Indonesia juga merupakan salah satu poros lalu lintas udara di Asia dan dunia, berdampingan dengan Singapura dan negara lain seperti Malaysia dan Australia.
Diperkirakan saat ini terdapat 63 maskapai penerbangan nasional dengan populasi 657 pesawat yang didominasi oleh pesawat Boeing 737., sebanyak 231 buah. Selain itu, ada 182 pesawat lain milik sekolah penerbangan dan perusahaan perkebunan dan pertambangan.
“Selama ini pesawat yang beroperasi di sini baru 30 persen yang dirawat di Indonesia, sisanya diekspor ke MRO asing. Artinya, 70 persen itu harus kita kembalikan ke bengkel pesawat kita sendiri. pesawat dalam pelayanan harus diadakan danrenovasi sini,” kata Saleh.
Ketua Dewan Pimpinan IAMSA Richard Budihardianto mengatakan, perusahaan MRO di luar negeri terus meningkatkan kapasitas dan memberikan fasilitas. Dia menghitung, peluang bisnis MRO didapat dari anggaran perawatan masing-masing maskapai, yakni minimal USD 1 miliar atau sekitar Rp 13,2 triliun per tahun.
“Dengan peningkatan jumlah penumpang rata-rata 15 persen per tahun bahkan lebih, industri MRO nasional perlu meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya. Jika kita tidak membangunnya sendiri, orang asing akan mengambil kesempatan itu,” katanya Richard.
Ketua IAMSA mengatakan, pihaknya ikut berpartisipasi mencoba untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia industri perawatan pesawat terbang melalui penambahan politeknik penerbangan. Catatan IAMSA, Indonesiaekekurangan teknisi penerbangan karena sekolah teknisi penerbangan di Indonesia hanya menghasilkan 200 tenaga ahli per tahun, jauh dari kebutuhan hingga 1.000 orang per tahun.
Seiring pertumbuhan industri kedirgantaraan, IAMSA memperkirakan Indonesia membutuhkan 12-15 ribu tenaga ahli selama 15 tahun ke depan.
“Pendirian politeknik, termasuk perubahan politeknik umum untuk fokus pada teknik penerbangan, merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Makanya kita buru-buru dan optimis anak-anak kita bisa mengisi kesempatan kerja ini,” kata Richard.
Indonesia sedang membangun industri MRO yang terintegrasi
Di Indonesia, kawasan industri MRO terintegrasi saat ini sedang dikembangkan di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. PT Bintan Aviation Investment sedang membangun proyek Bintan Airport & Aerospace Industry Park dengan luas 800 hektar area bandara dan 510 hektar area industri.
“Bandara ini mengakomodasi bisnis penerbangan umum, fasilitas MRO, dan pusat logistik. Panjang runway-nya sekitar 3.000 meter dan bisa didarati pesawat berbadan lebar sehingga memungkinkan maskapai nasional dan internasional melakukan perawatan,” kata Direktur Utama Bintan Aviation Investment Frans Gunara.dalam pernyataan yang diterima Rappler.
Menurut Frans Gunara, Selain membangun landasan pacu, pihaknya saat ini sedang melakukan pembangunan tahap pertama, yakni terminal penumpang dan kawasan industri. Di masa depan, pelabuhan laut (pusat kelautan lepas pantai), pembangkit listrik, area bisnis komersial dan pemukiman akan dibangun.
Dermaga digunakan untuk mengangkut produk ke dan dari kawasan industri serta dermaga feri yang menghubungkan ke terminal feri Tanah Merah Singapura. Khusus untuk penyediaan energi, kini telah dibangun PLTU Batubara berkapasitas 21 MW dan berencana menambah PLTU berkapasitas 2×15 MW.
Bintan Investment sedang meletakkan batu pertama atau perintis Bandara Bintan atau tahun 2012. Pada dibangun pada tahun 2015 landasan pacu, taxiway, apron, MRO dan fasilitas terminal. Targetnya, Bandara Bintan akan dibuka pada kuartal II 2018.
“Kami juga akan mendirikan politeknik MRO khusus untuk mendukung pembekalan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia kami. Ada tiga pelatihan, yakni Pelatihan Dasar Perawatan Pesawat, Pelatihan Jenis Perawatan Pesawat dan Pelatihan Khusus,” ujar Managing Director Michael Bintan Investment Wudy.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan bisnis MRO merupakan industri yang strategis karena memiliki teknologi tinggi dan mempekerjakan tenaga kerja terampil.
“MRO merupakan industri yang memiliki karakteristik khusus karena padat modal pada suatu waktu padat karya. Perbaikan pesawat tidak bisa otomatis sehingga harus tersedia jumlah SDM dengan kemampuan yang unggul, salah satunya melalui pembangunan politeknik yang fokus pada industri penerbangan,” jelasnya.
Terkait kawasan industri MRO terintegrasi seperti di Bintan, Putu mengatakan industri perawatan pesawat berpotensi menjadi grup transportasi di kawasan terkait. Kedepannya, industri perawatan dapat menumbuhkan industri komponen pesawat dan lebih mendorong industri pesawat baru – Rappler.com
BACA JUGA: