• November 28, 2024

Siapakah orang Rohingya dan mengapa mereka dipinggirkan?

JAKARTA, Indonesia – Imigran Rohingya kembali menjadi berita utama di media massa. Mereka dilaporkan menjadi korban konflik persaudaraan di Myanmar.

Akibatnya, sejumlah warga Muslim Rohingya mengungsi dari Myanmar ke negara terdekat, salah satunya Indonesia.

Kritikus menuduh negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) tidak peduli terhadap pengungsi Rohingya yang terdampar di laut untuk mencari suaka. Selama berbulan-bulan mereka menderita kelaparan dan kesulitan. Negara-negara ASEAN dituduh melepaskan tanggung jawab karena tidak ada satupun yang mau menerimanya.

Siapakah orang Rohingya? Mengapa mereka ada di laut? Berikut informasi penting yang perlu Anda ketahui:

1. Siapakah Muslim Rohingya?

Rohingya adalah minoritas Muslim yang berbicara dalam bahasa etnis Rohingya – bahasa Indo-Eropa yang mirip dengan bahasa Bengali. Mereka tinggal di Negara Bagian Rakhine Utara (sebelumnya disebut Arakan), sebuah kota pesisir di Myanmar.

Menurut Menteri Imigrasi dan Kependudukan Myanmar, Khin Yi, terdapat sekitar 1,33 juta warga Rohingya di negaranya.

Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO) menyatakan bahwa orang-orang ini telah tinggal di Myanmar “sejak dahulu kala”. Nenek moyang mereka berasal dari Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali dan beberapa Indo-Mongoid.

Sementara itu, para sejarawan dan penduduk setempat mengklaim bahwa etnis Rohingya adalah penduduk asli negara bagian Rakhine sejak abad ke-19, ketika Myanmar masih berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris.

Namun, Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara atau kelompok etnisnya. Hanya sekitar 40.000 orang yang diakui oleh pemerintah Myanmar dan diberikan hak kewarganegaraan.

2. Mengapa masyarakat Rohingya tidak diakui?

Presiden Myanmar Thein Sein menyebut Rohingya sebagai “Bengali” (Bangladesh) – menyiratkan bahwa mereka adalah penduduk asli Bangladesh dan karena itu dideportasi dari Myanmar. Namun, pemerintah Bangladesh juga tidak mengakui etnis Rohingya sebagai bagian dari mereka.

Pemerintah Myanmar bahkan tidak menyetujui kelompok yang menggunakan istilah “Rohingya”.

Zaw Htay, pejabat senior kepresidenan Myanmar, mengatakan: “Jika mereka menggunakan istilah ‘Rohingya’, kami tidak akan berpartisipasi karena kami tidak paham dengan istilah ini. Pemerintah Myanmar telah lama memprotes penggunaan kata tersebut.”

Pada tahun 1982, pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa rakyatnya adalah warga negara yang menetap di negara tersebut sebelum kemerdekaan pada tahun 1948. Kelompok minoritas yang ingin diakui secara resmi harus menunjukkan dokumen sebagai bukti bahwa nenek moyang mereka tinggal di Myanmar (saat itu disebut Burma). sebelum tahun 1823.

Masyarakat Rohingya mengaku nenek moyang mereka sudah ratusan tahun tinggal di Myanmar. Namun, mereka tidak memiliki dokumentasi yang tepat untuk membuktikan klaim tersebut.

Pada tahun 2014, Myanmar mempunyai rencana kontroversial untuk menyelesaikan masalah ini: Pemerintah akan memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya jika mereka mengubah etnis mereka menjadi orang Bangladesh. Hal ini berarti mengakui bahwa kelompok tersebut berada di negara tersebut secara ilegal, sebuah gagasan yang ditolak oleh sebagian besar komunitas Rohingya.

3. Mengapa mereka meninggalkan Myanmar?

Etnis minoritas Rohingya di atas perahu kayu yang kandas di Laut Andaman, dekat Malaysia, di Thailand selatan, pada 14 Mei 2015.  Foto oleh EPA

Rohingya telah mengalami diskriminasi dalam beberapa dekade terakhir, yang menyebabkan mereka berusaha meninggalkan Myanmar. Sebuah laporan New York Times mengatakan bahwa “kewarganegaraan mereka ditolak dan diusir dari rumah mereka, tanah mereka disita dan mereka diserang oleh militer.”

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mengakui bahwa masyarakat Rohingya merupakan salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.

Insiden besar yang melibatkan mereka terjadi pada tahun 2012 ketika Muslim Rohingya terlibat dalam pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Budha di Myanmar. Hal ini menyebabkan serangkaian pertempuran berdarah antara umat Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya. Menurut laporan, sedikitnya 90 orang tewas dan 3.000 rumah hancur akibat kekerasan tersebut.

Pemerintah Myanmar bertindak dengan mengurung ribuan warga Rohingya di kamp pengungsi yang dilapisi kawat berduri. Kamp-kamp tersebut hanya menerima sedikit sumber makanan dan bantuan medis, yang mengakibatkan kelaparan dan penyakit, bahkan kematian. Polisi setempat juga melarang warga Rohingya meninggalkan kamp.

4. Masalah apa yang mereka hadapi saat meninggalkan Myanmar?

Seorang anak Rohingya sarapan dan menerima perawatan medis di kamp pengungsi di Kuala Langsa, Aceh, Indonesia, pada 17 Mei 2015. Foto oleh Hotli Simanjuntak/EPA

Tampaknya masyarakat Rohingya lebih rela menyerahkan nasib mereka di tangan para penyelundup manusia daripada dibunuh oleh ekstremis Buddha di Rakhine.

Sebuah kamp perdagangan manusia ditemukan di hutan sepi di Thailand selatan pada bulan Mei 2015, di mana setidaknya 30 mayat ditemukan terkubur di lubang dangkal. Mayat lainnya ditemukan hanya ditutupi selimut dan dibiarkan di tempat terbuka.

Perhatian militer yang tiba-tiba setelah ditemukannya kamp perdagangan manusia menyebabkan para penyelundup mengambil taktik yang lebih hati-hati. Orang-orang Rohingya kemudian ditempatkan di perahu-perahu kaya, di tengah laut, dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil.

Tindakan militer ini membuat takut para penyelundup dan pedagang manusia untuk bersembunyi. Bahkan beberapa nahkoda kapal yang mengangkut warga Rohingya meninggalkan kapalnya sehingga menyebabkan warga Rohingya terdampar di laut selama berbulan-bulan.

Korban selamat dari insiden kapal tersebut pun berbagi kisahnya. Mereka diisolasi di kapal selama dua bulan dan berjuang untuk bertahan hidup dengan makanan yang terbatas. Beberapa orang Rohingya melompat dari perahu, termasuk perempuan dan anak-anak, sementara yang lain dilempar dari perahu untuk menghindari kepadatan yang berlebihan.

Selain itu, tidak ada satu pun negara tetangga yang bersedia menerima warga Rohingya dan khawatir akan terus masuknya migran.

5. Bagaimana tanggapan pemerintah negara-negara ASEAN terhadap permasalahan ini?

Kalangan terpelajar di Aceh menggelar aksi protes terhadap pemerintah Indonesia yang menerima warga Rohingya terdampar di laut pada 19 Mei 2015.  Foto oleh Hotli Simanjuntak/EPA

Sejak Agustus 2012, pemerintah Bangladesh telah melarang bantuan kemanusiaan untuk minoritas Rohingya, sehingga membuat mereka tidak berdaya dan rentan.

Negara-negara tetangga lainnya juga telah meninggalkan kebijakan tersebut. Thailand, misalnya, mengklaim angkatan lautnya menyediakan bantuan seperti makanan, air, dan obat-obatan kepada kapal-kapal tersebut. Namun, militer Pantai Gading Putih terus menolak mereka masuk karena penolakan pemerintah terhadap imigran.

Warga Rohingya juga beralih ke Malaysia karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun pemerintah Malaysia memerintahkan angkatan laut untuk mengusir mereka dari wilayah mereka.

Meskipun ribuan pencari suaka ditemukan di Indonesia oleh nelayan lokal, pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa pengungsi tetap tidak akan diterima dan mengeluarkan peringatan kepada nelayan untuk tidak menyelamatkan kapal Rohingya. —Rappler.com

Togel SDY