Sidang Ahok dan Ancaman Intoleransi
- keren989
- 0
Dalam dua bulan terakhir, ulasan media asing terhadap Indonesia umumnya mempertanyakan apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara toleran beragama? Apakah istilah negara yang demokrasi dan Islam berjalan beriringan secara harmonis masih berlaku?
Menulis di halaman The Economist, merupakan analisis terkini mengenai keprihatinan global terhadap meningkatnya penyebaran intoleransi di Indonesia. Beberapa dari kita juga khawatir.
Parameter dalam tulisan terkait ancaman toleransi beragama di negeri ini adalah kasus dugaan penodaan agama yang menimpa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ahok yang saat ini mencalonkan diri pada Pilgub DKI Jakarta 2017 beragama Kristen dan merupakan calon gubernur pertama yang beretnis Tionghoa.
Beberapa pihak menyimpulkan jika Ahok terbukti bersalah menghina Islam, berarti Indonesia tidak lagi menerapkan pluralisme dan toleransi beragama. Sebaliknya, jika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menilai Ahok tidak melakukan penodaan agama, maka Indonesia bisa dikatakan cukup toleran.
(BACA: Timeline Kasus Dugaan Penodaan Agama Ahok).
Mengapa saya katakan cukup toleran? Sebab, sebelum pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada September lalu, sudah ada kekhawatiran akan ancaman intoleransi di Indonesia. Data terkini disajikan dari hasil survei yang dilakukan The Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia pada Agustus 2016. Survei dilakukan pada bulan Maret 2016 terhadap 1.502 responden di 34 provinsi. Tonton video rekamannya Di Sini.
Temuan survei menyebutkan bahwa dari 207 juta penduduk Muslim di Indonesia, wajah Islam Indonesia adalah Islam yang damai dan toleran. Sebanyak 72 persen responden menolak tindakan radikal yang mencakup kekerasan atas nama agama.
Terdapat 88,37 persen yang berpendapat bahwa setiap warga negara bebas memeluk agama dan kepercayaan sesuai pemikiran dan hati nuraninya. Survei tersebut juga menemukan bahwa 65,35 persen berpendapat negara harus melindungi setiap pemikiran yang berkembang di masyarakat.
Dukungan umat Islam Indonesia terhadap nilai-nilai Pancasila dan demokrasi nampaknya sangat tinggi. Sebanyak 82,3 persen responden menyatakan Pancasila dan UUD 1945 sangat cocok untuk Indonesia. Survei tersebut mencatat 67,3 persen menyatakan mendukung nilai-nilai demokrasi.
Masalahnya, selain angka-angka yang membangun rasa optimisme, survei juga menemukan adanya kecenderungan potensi intoleransi sosial dan agama yang semakin menguat. Jika tidak dikendalikan, hal ini dapat mengarah pada tindakan radikalisme kekerasan atas nama agama. Proyeksi statistik survei memperkirakan 600 ribu orang telah melakukan tindakan radikalisme atas nama agama. Sekitar 11 juta orang berpotensi melakukan hal tersebut jika diberi kesempatan.
Ada 600 ribu orang yang melakukan aksi radikalisme atas nama agama. Sekitar 11 juta orang berpotensi melakukan hal tersebut jika diberi kesempatan.
Tindakan radikalisme yang dimaksud dalam survei tersebut antara lain memberikan dukungan finansial atau material kepada organisasi radikal untuk melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain. Harap diingat bahwa ini adalah angka proyeksi potensial, bukan angka sebenarnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengumumkan pada akhir Juni 2016 adanya peningkatan jumlah pengaduan yang menuduh kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut Komnas HAM, hal ini merupakan indikasi meningkatnya intoleransi.
Selain survei dan rilis data sejumlah lembaga, diskusi di kelompok komunikasi dan status di media sosial juga menggambarkan kekhawatiran terhadap intoleransi. Benarkah Indonesia akan bergerak menjadi negara berdasarkan hukum Islam? Benarkah ada ancaman terhadap warga minoritas, baik agama maupun etnis? Sebenarnya ini nuansa perbincangan yang ekstrim, benarkah negara ini akan menjadi Indonistan? Indonesia dengan kehidupan seperti di Afganistan?
Pasca demonstrasi besar-besaran pada tanggal 4 November dan salat Jumat bersama pada tanggal 2 Desember, pertanyaan-pertanyaan di atas semakin menguat di kalangan sebagian masyarakat. Selain itu, yang tampak memimpin dua kegiatan dengan mobilisasi massa besar-besaran tersebut antara lain Rizieq Syihab, pimpinan Front Pembela Islam (FPI). Ormas ini menuai kontroversi atas aksi kekerasan yang dilakukannya selama ini.
Rizieq dinyatakan bersalah terkait Peristiwa Monas tahun 2008. Ini adalah kejadian yang bernuansa intoleransi. Kekhawatiran ini diperkuat di media sosial dan menjadi amunisi analitis bagi para pengamat dan media asing.
Pertanyaan kepada pemerintah
Bagaimana dunia melalui media menggambarkan tren menguatnya intoleransi ini, saya bertanya kepada empat narasumber yang hadir dalam pertemuan Forum Pemimpin Redaksi di sebuah hotel di Jakarta Selatan pada Rabu malam, 21 Desember. Pertemuan tersebut merupakan inisiatif bersama Forum Redaksi dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Rudi mengundang Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Menteri Agama Lukman Saifuddin.
Pertemuan ini relevan dan tepat waktu karena kontroversi “sosialisasi” fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang penggunaan atribut Natal secara paksa masih terus berlangsung.
Apakah Anda memiliki data intelijen yang menunjukkan bahwa kekhawatiran akan meningkatnya intoleransi adalah benar? Dan jika hal ini benar, langkah apa yang akan diambil pemerintah untuk mengekang meningkatnya intoleransi?
Pertemuan Forum Redaksi dengan narasumber sebagian besar menerapkan prinsip-prinsip aturan rumah chattam alias tidak untuk dipublikasikan. Namun, bagi sebagian orang, kami meminta agar informasi tersebut dipublikasikan. Nuansa yang saya tangkap: perasaan campur aduk.
Pembahasan tersebut sebenarnya membenarkan apa yang diungkapkan publik, terutama dalam dua bulan terakhir. Ada fakta di lapangan yang perlu dipertimbangkan. Terdapat peristiwa yang mengindikasikan potensi menguatnya intoleransi.
Pemerintah nampaknya ketar-ketir terutama dalam menyikapi fenomena informasi tsunami di media sosial. Tidak jarang mereka kehilangan pijakan dan/atau justru menimbulkan kontroversi baru – bagaimana media sosial menjadi media penting untuk mengamplifikasi konten-konten yang memuat ajakan ide-ide radikal melalui kekerasan dan penyebaran kebencian.
Ancaman terhadap Indonesia dan bangsa Indonesia juga turut dibicarakan, tidak hanya dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri. Situasi geopolitik di kawasan regional dan global, serta ancaman teroris yang semakin meluas dalam beberapa hari terakhir, menjadi perhatian penting. Hasil survei Wahid Foundation dan LSI di atas juga disebutkan.
Namun ada juga sedikit optimisme. Hei, Indonesia bukan hanya Jakarta. Kehidupan tidak hanya di ranah media sosial yang semakin hari semakin “panas” dan penuh dengan informasi palsu yang menyesatkan dan menimbulkan keresahan.
Tidak semua pengguna media sosial menggunakan media ini untuk melakukan perlawanan karena perbedaan pilihan politik atau perdebatan yang bernuansa agama. Banyak generasi muda yang memanfaatkan media sosial sebagai media untuk berkreasi, menciptakan inovasi, menghasilkan pendapatan halal dari kegiatan tersebut, membawa berbagai perubahan sosial, dan lain sebagainya.
Ada kawasan yang ketegangannya memanas akibat aksi main hakim sendiri yang dilakukan kelompok yang mengaku menegakkan fatwa MUI. Bagi yang melibatkan aksi kekerasan, polisi tak segan-segan menindak tegas. Suka aksi”menyapu” di Solo. Namun lebih banyak wilayah yang sebenarnya baik-baik saja. Kehidupan berjalan normal di sebagian besar 514 kabupaten dan kota di Indonesia.
Berbagai indikasi intoleransi yang ada tidak boleh kita remehkan, namun kita juga tidak boleh mendramatisasi keadaan. Kira-kira begitulah kesimpulan yang saya dapat dari pertemuan malam itu.
Sebab bersikap toleran berarti tidak hanya mengakui dan menghormati keberadaan mereka yang berbeda agama, suku, dan ras, namun juga berbeda pilihan politik.
Kemudian pembahasan mendalami peran media dan cara mengelola media sosial agar konten negatif dapat diimbangi dengan konten positif yang menenangkan, termasuk mengklarifikasi informasi berita bohong atau bohong.
Pada Rabu sore sebelum menghadiri pertemuan dengan keempat pejabat tersebut, saya mengikuti diskusi terbatas tentang masa depan media dan jurnalisme di era banjir informasi. Bagaimana media arus utama perlu berperan lebih besar sebagai kurator informasi palsu yang beredar di media sosial, dan justru ikut mengemas ulang dan menyebarkan informasi palsu yang ada karena alasan tertentu. Termasuk jika dikaitkan dengan afiliasi politik media yang bersangkutan.
Bagaimana dengan pengamanan Natal dan Tahun Baru, pasca ditangkapnya sejumlah terduga teroris dalam dua bulan terakhir? Pihak berwenang telah menyiapkan pengamanan ketat pada malam Natal dan Natal 2016. Polisi menyiapkan 85 ribu personel dan akan dibantu aparat TNI untuk memastikan Natal dan Tahun Baru. Seperti tahun-tahun sebelumnya, banser Nahdlatul Ulama akan membantu pengamanan kegiatan gereja saat Natal.
Pada tahap ini, situasi tampaknya telah dikelola dengan baik oleh pemerintah dan para pejabatnya. Berdasarkan data intelijen atau tidak, malam itu saya mengumpulkan informasi yang sejalan dengan temuan survei Wahid Foundation dan LSI. Mayoritas umat Islam di Indonesia menyukai perdamaian dan toleransi.
Bagaimana dengan puluhan analisis yang dihadirkan media asing? Pada pertengahan tahun 90an, kita membaca ratusan artikel yang menganalisis bahwa Indonesia, dengan kondisi ekonomi yang semakin memburuk dan korupsi yang merajalela, akan mengikuti apa yang terjadi di Eropa Timur. Balkanisasi. Negara tersebut terpecah menjadi beberapa negara baru. Faktanya, tidak. Sampai hari ini. TNI dan Polri menjamin komitmennya menjaga negara kesatuan Republik Indonesia. Seorang teman bercanda berkata: Harga tetap NKR. NKRI itu harga mati.
Tapi saya setuju bahwa kita tidak bisa menerima begitu saja. Proyeksi angka 11 juta orang yang akan melakukan aksi radikalisme atas nama agama jika diberi kesempatan sungguh memprihatinkan. Data usia pelaku aksi teroris yang semakin muda menjadi salah satu buktinya.
Berbagai rekomendasi telah diberikan oleh berbagai survei yang ada. Memastikan dunia pendidikan dan para pendidiknya tidak memunculkan paham-paham intoleransi dan radikalisme merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Mengatasi masalah kesenjangan ekonomi dan sosial harus menjadi prioritas.
Rasa ketidakadilan dapat menimbulkan sikap intoleransi, bahkan hingga tindakan radikal yang disertai kekerasan. Ketegasan pemerintah dan aparat, serta perlakuan adil dan setara terhadap setiap pelanggaran hukum menjadi kunci meredam tindakan intoleransi beragama.
Penggalangan semangat keindonesiaan juga dianggap sebagai jawaban utama. Indonesia beragam, dengan suku, agama, ras, dan pilihan politik yang berbeda. Nah, inilah tantangannya.
Sebab bersikap toleran berarti tidak hanya mengakui dan menghormati keberadaan mereka yang berbeda agama, suku, dan ras, namun juga berbeda pilihan politik. Jika kita bosan melihat proses politik di Jakarta, kita bisa melihat lebih jauh ke daerah lain. Karena Indonesia bukan hanya Jakarta. —Rappler.com