• April 28, 2025
Simalakama menyelenggarakan transportasi berbasis aplikasi online

Simalakama menyelenggarakan transportasi berbasis aplikasi online

Sistem carpooling dapat menghemat waktu perjalanan masyarakat dan mengurangi tingkat pengangguran

JAKARTA, Indonesia – Keberadaan angkutan umum berbasis aplikasi online masih kerap menimbulkan permasalahan. Meskipun disukai oleh konsumen, pesaing konvensionalnya telah mengajukan keberatan sehingga memaksa pemerintah untuk campur tangan.

Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 yang mengatur pembatasan kuota armada; tarif atas dan bawah; dan pengalihan kepemilikan kendaraan.

Ketiga klausul ini menambah rumit situasi, kata Presidium Persatuan Transportasi Indonesia (MTI) Muslich Zainal Asikin, Kamis 3 Agustus di Jakarta.

Ia melihat keberadaan aplikasi online penyedia layanan transportasi sebagai jalan keluar dari permasalahan konektivitas di Indonesia. Di Indonesia, konektivitas antara satu tempat dengan tempat lain masih rendah; Aksesibilitas juga cenderung sulit karena tidak semua wilayah dapat diakses oleh transportasi umum.

Untuk wilayah Jabodetabek, kualitas pelayanan angkutan umum di 40 persen wilayah tersebut masih kurang memadai. Tak heran, indeks konektivitas Indonesia hanya 2,01 persen berdasarkan Bank Dunia; atau terendah di ASEAN.

Faktanya, pada tahun 2020 diperkirakan lebih dari 30 juta orang akan pindah ke perkotaan karena alasan ekonomi. Waktu tempuh sendiri akan bertambah 1,9 menit untuk setiap pertambahan penduduk sebanyak 100 ribu orang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan AlphaBeta pada Mei 2017, setelah maraknya aplikasi seperti Uber, Grab atau Go-Jek, masyarakat dapat menghemat 10-38 persen waktu perjalanannya. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk bepergian di 33 provinsi jika menggunakan transportasi pulang pergi mencapai Rp498 triliun dan diprediksi meningkat 41 persen menjadi Rp703 triliun pada tahun 2020.

“Sistem tempat parkir mobil “Bisa dipangkas hingga Rp 138 triliun pada tahun 2020,” kata Muhclis.

Karena jumlah mobil yang beroperasi di jalan raya juga berkurang, hal ini dapat mengurangi kemacetan lalu lintas.

Potensi ekonomi

Direktur Institute for Development of Economics (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan, aplikasi online ini membantu perekonomian Indonesia. Sekitar 43 persen dari salah satu mitra aplikasi penyedia jasa transportasi yang disurvei sebelumnya tidak memiliki pekerjaan.

Begitu pula dengan penelitian Puskakom UI yang menemukan bahwa kemunculan aplikasi online ini turut menyerap tenaga kerja yang masih menganggur. Faktanya, 77 persen manajer yang disurvei juga menerima upah di atas rata-rata minimum nasional. Tak hanya itu, kemudahan akses transportasi juga dapat membantu perekonomian.

“Misalnya bisa membawa produk petani langsung ke konsumen akhir. Artinya, produk petani bisa kita bawa langsung ke konsumen akhir, seperti di daerah, kata Enny.

Perencanaan kota juga dapat terbantu karena transportasi online dapat membantu masyarakat mengakses transportasi umum. Lahan yang masih terjangkau seringkali masih jauh dari jalur angkutan umum terdekat.

Penelitian menemukan 4-15 persen perjalanan Uber dimulai atau berakhir 200 meter dari pusat angkutan umum; 24 persen perjalanan di Jakarta dan 42 persen di Bandung dilakukan di daerah pinggiran kota dimana transportasi umum langka; sedangkan di Jakarta, 30 persen terjadi antara pukul 22.00-02.00, saat tidak ada lagi angkutan umum.

“Kehadiran angkutan umum juga memungkinkan untuk menawarkan solusi penataan kawasan pemukiman. “Di daerah yang harga tanahnya masih terjangkau, seringkali fasilitas transportasinya kurang,” ujarnya.

Revisi aturan

Baik Muchlis maupun Enny mendesak pemerintah lebih terbuka terhadap moda transportasi baru ini. Penetapan kuota dan tarif yang lebih tinggi dan lebih rendah sebenarnya membatasi kesempatan masyarakat untuk bekerja.

“Harus ada kajian komprehensif mengenai penerapan tarif batas atas atau tarif batas bawah dengan melihat lebih banyak aspek,” kata Enny.

Menurutnya, jika setiap pelaku usaha transportasi mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta persaingan usaha berlangsung secara sehat dan adil, maka regulasi tersebut justru akan mendistorsi pasar.

Daripada protes, Muchlis menilai lebih baik penyedia jasa transportasi konvensional fokus mengembangkan diri. Misalnya, menghilangkan taksi dengan biaya tersembunyi, pelayanan buruk, atau yang menerapkan sistem harga ‘menembak’.

Mereka juga harus lebih aktif dalam memenuhi tuntutan masyarakat, seperti sistem pemesanan yang lebih mudah; atau identitas pengemudi yang mudah dibagikan sehingga penumpang merasa aman.

“Mereka juga harus mengembangkan dan meningkatkan diri, serta belajar berbagi dengan pemain baru. Apakah Anda ingin mendapat untung sendiri?” katanya.

MTI mendesak pemerintah segera meninjau kembali Peraturan Menteri Perhubungan 26/2017 karena justru mencoreng mukanya sendiri. Ketika negara-negara lain mulai membuat kebijakan yang mempermudah transportasi online, Indonesia malah mempersulitnya. Pemerintah sebaiknya lebih fokus pada pengaturan keselamatan, keamanan KIR, dan kelayakan pengelolaan transportasi online.

“Bisa dievaluasi kembali, setahun atau enam bulan, lalu peraturannya direvisi,” ujarnya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Pengeluaran Sidney