Sri Sultan melarang etnis Tionghoa memiliki tanah dan menggugat pengadilan
- keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia – Handoko, pengacara muda di Yogyakarta, menggugat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono Pria berusia 35 tahun itu marah karena pemerintah buatan sendiri melarang warga keturunan Tionghoa memiliki tanah.
Akar permasalahannya berasal dari instruksi Wakil Kepala Daerah DIY pada 5 Maret 1975. Dalam surat bernomor K.898/I/A/1975, pemerintah DIY menjelaskan proses pelepasan hak atas tanah kepada penduduk non-pribumi diatur. .
“Kebijakan ini berlaku secara internal dan tidak bisa diterapkan secara luas (di luar pemerintah daerah),” kata Handoko, Sabtu 20 Januari.
Meski terbatas pada pegawai dan pejabat rendahan pemerintah, Kantor Badan Pertanahan Nasional Daerah Yogyakarta juga menjadikan surat instruksi tersebut sebagai acuan penerbitan hak kepemilikan tanah kepada warga etnis Tionghoa. Nah, dalam gugatan yang diajukan ke PN Yogyakarta September 2017 lalu, Handoko juga menjadikan Kepala BPN DIY sebagai tergugat selain Gubernur DIY.
Dosen Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ni’matul Huda, pakar ketatanegaraan yang dihadirkan Handoko dalam sidang Kamis, 4 Januari mengatakan, kepala daerah bukanlah pejabat yang berwenang menentukan kepemilikan tanah bagi warga negara.
“Ini bukan domainnya,” katanya.
Sertifikasi tanah, kata Handoko, merupakan kewenangan BPN. Di daerah, BPN Daerah hanya tunduk pada BPN Pusat dan tidak terikat pada pemerintah daerah. Hubungannya dengan pemerintah daerah hanya sebatas koordinasi. Secara kelembagaan tidak terikat dengan peraturan kepala daerah.
“Kalau BPN melakukan itu (sesuai peraturan gubernur), berarti BPN bingung dengan kewenangannya,” ujarnya.
Sayangnya di Yogyakarta teori ini tidak terjadi dalam praktiknya. Dalam penelitian tanah di DIY beberapa tahun lalu, ia menemukan kekuatan unsur Itu normal kepada Sultan. Selain menjabat sebagai gubernur, Sultan adalah raja Keraton Yogyakarta.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, surat instruksi kepala daerah juga tidak memiliki dasar hukum. Ketika diterbitkan pada tahun 1975, sesuai dengan Ketetapan MPRS (No.XX/1966), instruksi tersebut merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Namun kini ketentuan itu tidak berlaku. Oleh karena itu, surat amanat tahun 1975 harus dipahami sebagai kebijakan.
Menurut dia, eksekutif bisa mengeluarkan kebijakan asalkan tidak mengabaikan keadilan. Diskriminasi diperbolehkan sepanjang positif dan tidak melanggar hukum. Misalnya kuota 30 persen perempuan di parlemen.
Di DIY, diskriminasi juga terjadi di pemerintahan. Kepala daerah tidak dipilih melalui pemilu. Raja Yogyakarta dan Adipati Pakualaman otomatis diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur.
“Tetapi arahannya (tahun 1975) adalah diskriminasi negatif,” ujarnya.
Suyitno, salah satu anggota Parampara Praja, dalam sidang 9 Januari lalu mengatakan, dikeluarkannya instruksi tersebut dilatarbelakangi oleh niat untuk melindungi kondisi perekonomian bangsa Indonesia dari investor besar. Parampara Praja merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah DIY dan bertugas memberikan nasihat kepada gubernur.
“Untuk mengentaskan kemiskinan di DIY,” ujar pria yang mengaku dosen luar biasa Fakultas Hukum UGM ini.
Meski bertentangan dengan undang-undang, kata dia, penerapan arahan tersebut tetap relevan. Penyebabnya, kemiskinan masih tinggi, kesenjangan ekonomi masih besar. Bahkan, DIY tercatat sebagai daerah kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa dengan rasio Gini yang besar.
Namun, dia yakin suatu saat gubernur akan mencabut surat amanah tersebut. Ketika kesenjangan ekonomi sudah tidak ada lagi, kekayaan merata di DIY, maka kebijakan ini tidak lagi relevan.
“Dari Mudah-mudahan lima tahun lagi,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan selalu membutuhkan waktu. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Harap bersabar darinanti jika kesenjangannya masih tajam setelah lima tahun dari dilanjutkan lagi.”
Negara ini tidak boleh rasis
Ini merupakan langkah hukum ketiga Handoko untuk mencari keadilan. Pada tahun 2015, pria kelahiran Yogyakarta tahun 1983 ini mengajukan peninjauan kembali tahun 1975 ke Mahkamah Agung. Permohonannya ditolak karena surat instruksi Wakil Kepala Daerah DIY tahun 1975 disebut tidak memuat peraturan perundang-undangan.
Ia gagal di Mahkamah Agung dan dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta pada tahun 2016. Sekali lagi usahanya gagal.
PTUN Yogyakarta tidak bisa menerimanya dengan alasan tidak mempunyai kewenangan mengadili. Surat Instruksi Tahun 1975 bukanlah keputusan tata usaha negara dan bukan pula keputusan tata usaha negara.
“Itu bukan peraturan perundang-undangan, bukan diskresi, tapi kenapa masih dijalankan,” kata Handoko mengaku heran.
Baginya, kegagalan bukan berarti kekalahan. Kegagalan dua gugatan yang diajukannya justru memperjelas kedudukan hukum surat tugas tersebut. Dalih penolakan MA dan PTUN menjadi amunisi Handoko mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Ia menyimpulkan Gubernur dan Kepala BPN telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Dia mengatakan dia tidak hanya ingin memenangkan gugatannya.
Saya mencari keadilan, katanya.
Setelah menempuh pendidikan hukum di Universitas Parahyangan Bandung, Handoko melanjutkan pendidikan magisternya di Universitas Diponegoro dan Universitas Soegijapranata, Semarang. Sejak masa kuliahnya, ia telah mendengar banyak surat instruksi yang mendiskriminasi warga etnis Tionghoa.
Saat membuka kantor hukum di Yogya pada tahun 2014, ia melihat sendiri diskriminasi rasial yang terjadi di sana.
Handoko adalah seorang pria keturunan Tionghoa. Kakek buyutnya bernama Han, tapi dia tidak pernah tahu detailnya. Mungkin juga ada nama Han padahal Handoko nama Jawa.
Baginya, kaya atau miskin bukanlah persoalan suku. Banyak orang Tiongkok yang sangat kaya, namun tidak sedikit pula yang miskin. Itu ada dimana-mana.
Juga sifat rasis yang selalu ada di setiap lapisan masyarakat. Apapun etnisnya.
Tapi kalau negara mengumbar sikap rasis, itu tidak benar, ujarnya. – Rappler.com
BACA JUGA: