Sudah waktunya bagi Indonesia dan AS untuk mengatakan kebenaran tentang pembantaian tahun 1965
- keren989
- 0
Human Rights Watch mengatakan sudah waktunya bagi pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat untuk berterus terang mengenai apa yang terjadi 50 tahun lalu, yang menyebabkan kematian sedikitnya 500.000 warga Indonesia.
JAKARTA, Indonesia – Sudah waktunya bagi Indonesia untuk mengatakan kebenaran tentang pembantaian tahun 1965.
Demikian pendapat Direktur Eksekutif Human Rights Watch (HRW) Kenneth Roth yang disampaikannya saat konferensi pers, Rabu, 13 April.
“Setelah 50 tahun, masih belum jelas berapa banyak orang yang mengetahui tragedi itu,” katanya.
“Meminta maaf atau memberikan ganti rugi boleh saja, tapi yang terpenting adalah kapan melakukannya, apalagi sebelum atau sesudah pemerintah mengatakan yang sebenarnya,” imbuhnya.
Setidaknya 500.000 orang tewas dalam pembersihan di seluruh kepulauan Asia Tenggara yang dimulai setelah Jenderal Suharto melakukan kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965. (BACA: ‘Indonesia harus berbuat lebih banyak untuk memberikan keadilan bagi korban pembantaian tahun 1960an’)
Pihak berwenang menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) atas upaya kudeta tersebut.
Pasukan keamanan, yang didukung oleh kelompok-kelompok lokal, menyerbu seluruh negeri, membantai ratusan ribu orang yang dicurigai memiliki hubungan lemah dengan PKI, dan memenjarakan banyak orang lainnya.
Pembantaian tersebut, terkadang disebut sebagai Genosida Indonesia, menargetkan komunis, etnis Tionghoa, dan tersangka kiri. Ini awalnya dimulai sebagai pembersihan anti-komunis, dimulai di ibu kota, Jakarta, dan menyebar ke Jawa Tengah dan Timur dan, kemudian, Bali.
Roth mengatakan Presiden AS Barack Obama harus menjadi bagian dari upaya untuk mengatakan kebenaran sejarah. “Sudah waktunya bagi Amerika Serikat untuk berterus terang tentang apa yang diketahuinya tentang pembunuhan di Indonesia tahun 1965-1966,” katanya, seraya menambahkan bahwa Obama telah mengakui bagian-bagian gelap masa lalu AS selama masa kepresidenannya.
“Presiden Obama telah mendeklasifikasi dokumen terkait Perang Kotor Argentina,” katanya.
Haris Azhar, perwakilan Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap upaya pemerintah Indonesia terkait hak asasi manusia.
Ada kemajuan, tapi belum cukup, kata Azhar. Dia mencatat, tidak ada perubahan signifikan sejak Presiden Joko Widodo menjadi presiden.
Simposium
Pernyataan HRW ini disampaikan sepekan sebelum Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) berencana menyelenggarakan simposium yang fokus pada pembantaian tahun 1965 di Indonesia. Namun, masih belum diketahui apa yang akan dibahas atau informasi apa yang akan diungkapkan.
Simposium ini akan dihadiri oleh sekitar 200 peserta, termasuk akademisi, pemimpin hak asasi manusia dan korban pelanggaran hak asasi manusia. Perwakilan partai politik dan organisasi masyarakat sipil juga akan berpartisipasi.
Namun sejauh ini tidak ada perwakilan tentara yang masuk dalam agenda tersebut. (BACA: Aktivis menuntut pemerintah Indonesia atas pembunuhan massal tahun 1960-an)
Azhar mengatakan menurutnya simposium tersebut tidak akan mampu membahas sepenuhnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah, terutama karena lebih banyak “kekerasan politik terjadi setelah tragedi tersebut, tidak hanya di bawah pemerintahan partai komunis.”
“Misalnya, kekerasan politik yang terjadi di Aceh, Timor Timur, dan Papua selama 30 tahun di bawah rezim militer,” ujarnya.
“Hal-hal yang sayangnya tidak akan dibahas atau dibahas dalam simposium.”
Agus Widjojo, purnawirawan jenderal bintang 3 yang menjadi ketua simposium, mengatakan simposium bukan untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar, melainkan untuk membahas hikmah dari peristiwa tersebut.
“Kami ingin mendengarkan suara para korban dan saksi. Kami akan mencoba mencari tahu apa yang terjadi kemudian,” katanya juga dalam konferensi pers terpisah, Rabu. “Ini untuk memastikan bahwa kita tidak mengulangi tragedi di masa depan.”
“Kami sudah mengundang perwakilan TNI dan kami mengharapkan respon positif,” kata Agus kepada Rappler.
Ia percaya bahwa tentara akan memainkan peran penting sebagai saksi, untuk mewakili bagaimana situasi pada masa sebelum pembantaian.
Apa yang ingin Anda diskusikan dalam simposium ini? Beri tahu kami di komentar di bawah. – Rappler.com